Â
Liputan6.com, Jakarta Menkopolhukam, Mahfud Md, memerintahkan Polri membuka kembali pengusutan kasus dugaan pemerkosaan yang dialami pegawai Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan menengah (Kemenkop UKM).
Baca Juga
Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto, pun memerintahkan Polda Jawa Barat segera melakukan gelar perkara atas kasus pemerkosaan pegawai Kemenkop UKMÂ tersebut.
Advertisement
"Kan keputusan rapat dengan Pak Menkopolhukam kan sudah diputuskan untuk dilanjutkan. Kalau belum sampai sekarang nanti kita akan minta untuk digelar," kata Agus kepada wartawan, Jumat (20/1/2023).
Dia menjelaskan kasus kekerasan seksual pegawai perempuan Kemenkop UKM berinisial ND diduga dilakukan oleh empat rekan kerjanya, terjadi pada 6 Desember 2019. Kasus itu sempat diusut Polresta Bogor tapi dihentikan.
"Ya kan sudah dicabut awalnya kan. Kemudian ternyata pihak yang korban sekarang ini merasa wanprestasi dengan janjinya sehingga sekarang minta dilanjutkan," kata Agus.
"Kemarin rapat dengan Pak Menkopolhukam sudah diputuskan bahwa akan dibuka tapi kan dari informasinya belum. Tapi saya suruh cek kalau memang belum saya minta digelar di Bareskrim untuk dipertimbangan dibuka," tambah dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md meminta Polri memeriksa personel penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara kekerasan seksual dialami pegawai Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan menengah (Kemenkop UKM).
"Rakor tadi meminta Divisi Propam Polri untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara ini yang sejak awal sangat tidak profesional," kata Mahfud dalam video pernyataan pers yang dirilis Rabu (18/1) malam.
Â
Alasan Pertama Kasus Patut Dilanjutkan
Mahfud menjelaskan setidaknya ada dua alasan mengapa Rakor Kemenko Polhukam meminta pemeriksaan terhadap penyidik Polresta Bogor tersebut. Pertama karena telah mengeluarkan surat penghentian penyelidikan perkara (SP3) dengan dua surat yang berbeda ke alamat berbeda disertai alasan berbeda.
"Surat pemberitahuan SP3 kepada jaksa menyatakan perkara di-SP3 karena restorative justice, tetapi surat pemberitahuan kepada korban menyatakan SP3 dikeluarkan karena tidak cukup bukti. Satu kasus yang sama diberi alasan yang berbeda kepada pihak yang berbeda," kata Mahfud.
Menurut dia, pernyataan restorative justice atau keadilan restoratif telah dilaksanakan sekalipun sudah menyalahi aturan yang berlaku saat kasus terjadi. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, ada syarat yang harus dipenuhi agar penyelesaian secara keadilan restoratif bisa dilakukan.
"Menurut Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, yakni di dalam pasal 12 yang berlaku ketika kasus ini diproses bahwa kasus-kasus yang bisa diberi restorative justice adalah kasus yang kalau diberi restorative justice tidak menimbulkan kehebohan, tidak meresahkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mendapat penolakan dari masyarakat. Syarat ini tidak dipenuhi," jelas Mahfud.
Â
Advertisement
Alasan Kedua
Alasan kedua, penyidik memberikan keterangan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bogor pencabutan SP3 berdasarkan hasil rakor di Kemenko Polhukam. Padahal, rakor Kemenko Polhukam hanya menyamakan persepsi penanganan perkara yang salah.
"Sedangkan projustitia-nya dibicarakan melalui gelar perkara internal di Polresta Bogor itu dilakukan," katanya.
Mahfud mengaku bahwa Kemenko Polhukam mendapatkan informasi proses di internal Polresta Bogor untuk melaksanakan keputusan rakor tersebut sudah dilakukan.
"Sehingga pencabutan SP3 itu tidak langsung karena ada keputusan rakor di Kemenko Polhukam melainkan hasil rakor itu sudah dituangkan di dalam proses-proses yang formal di internal Polresta Bogor," ujar Mahfud.
Sekedar informasi, kasus kekerasan seksual yang menimpa pegawai perempuan Kemenkop UKM berinisial ND oleh empat rekan kerjanya terjadi pada 6 Desember 2019 yang sempat diusut Polresta Bogor tapi terhenti sebelum hasil penyidikan dinyatakan lengkap atau P21.
Â
Viral
Kasus itu ihentikan setelah keluarga pelaku yang merupakan pejabat Kemenkop UKM mendatangi orang tua korban, meminta berdamai, menikahkan korban dengan salah satu pelaku, serta mencabut laporan. Akan tetapi kasus kembali mengemukan setelah pelaku yang dinikahkan dengan korban NB meminta bercerai dan menjadi viral hingga mendapat perhatian dari Kemenkopolhukam.
Bahkan, para tersangka mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Bogor.
Gugatan praperadilan yang terdaftar dalam Sistem Informasi Penanganan Pengadilan (SIPP) Negeri Kota Bogor dengan Nomor Perkara 5/Pid.Pra/2022/PN Bgr dan putusannya ditetapkan pada Kamis (12/1).
Dalam amar putusan, hakim yang mengadili perkara itu menerima gugatan dan mengabulkan permohonannya. Sehingga, status tersangka kasus kekerasan seksual terhadap ketiganya menjadi gugur.
Â
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka
Advertisement