Sukses

KPK Selisik Lukas Enembe soal Barang Bukti yang Sudah Disita

Gubernur nonaktif Papua telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh penyidik KPK terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi sejumlah proyek infrastruktur di Papua.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelisik soal barang bukti dan dokumen yang sudah disita penyidik dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di Provinsi Papua terhadap Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe.

Lukas diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada Senin, 30 Januari 2023 kemarin. Dia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk melengkapi berkas penyidikan Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka.

"Saksi (Lukas Enembe) hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan konfirmasi berbagai barang bukti dokumen yang sebelumnya telah disita oleh tim penyidik," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (31/1/2023).

Tim kuasa hukum Lukas Enembe, Petrus Bala Pattyona menyebut saat pemeriksaan, kliennya dicecar soal harta kekayaan selama menjadi pejabat di Papua.

"Tadi Pak Lukas juga di-BAP, diambil keterangan sebagai saksi. Pertanyaannya hanya enam poin saja yaitu soal harta kekayaan Pak Lukas sejak menjadi wakil bupati, bupati, dan gubernur dua periode," ujar Petrus di Gedung KPK, Senin (30/1/2023).

Sebelumnya, KPK telah memperpanjang masa penahanan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.

Penahanan Lukas Enembe akan diperpanjang selama 40 hari terhitung mulai tanggal 2 Februari 2023 hingga 13 Maret 2023 di Rutan KPK.

"Sebagai kebutuhan penyidikan agar pengumpulan alat bukti semakin memperkuat dugaan perbuataan Tersangka LE, tim penyidik memperpanjang masa penahanan untuk 40 hari ke depan," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (30/1/2023).

Ali memastikan tim penyidik akan berusaha melengkapi berkas penyidikan Lukas Enembe. Nantinya, saat berkas penyidikan lengkap, maka akan dilimpahkan ke tim jaksa penuntut umum.

"Kami pastikan proses penyidikan perkara tetap berjalan sesuai dengan prosedur hukum dan tetap memperhatikan hak-hak tersangka termasuk di antaranya untuk perawatan kesehatan," kata Ali.

 

2 dari 3 halaman

Diduga Terima Uang Rp10 M

 

Untuk diketahui, KPK menetapkan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Lukas Enembe diduga menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp10 miliar.

Selain itu, KPK juga telah memblokir rekening dengan nilai sekitar Rp76,2 miliar. Bahkan, KPK menduga korupsi yang dilakukan Lukas Enembe mencapai Rp1 triliun.

Kasus ini bermula saat Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mendapatkan proyek infrastruktur usai melobi Lukas Enembe dan beberapa pejabat Pemprov Papua. Padahal perusahaan Rijatono bergerak dibidang farmasi.

Kesepakatan yang disanggupi Rijatono dan diterima Lukas Enembe serta beberapa pejabat di Pemprov Papua di antaranya yaitu adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14 % dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.

 

3 dari 3 halaman

3 Proyek di Papua

Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.

Dari tiga proyek itu, Lukas diduga sudah menerima Rp1 miliar dari Rijatono.

Dalam kasus ini, Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.