Sukses

Mengenal Pondok Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta yang Diasuh Shinta Ratri

Pada awal berdiri, tak banyak waria yang bergabung di pondok pesantren Al Fatah Yogyakarta ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pondok Pesantren (Ponpes) Waria Al Fatah Yogyakarta kehilangan sosok pengasuhnya. Shinta Ratri, pengasuh yayasan pondok pesantren tersebut meninggal dunia, Rabu, 1 Februari 2023.

Shinta Ratri dikabarkan meninggal dunia pada usia 60 tahun karena serangan jantung. Shinta Ratri meninggal dunia di RSUD Wirosaban, Yogyakarta.

Sosoknya tak lepas dari pondok pesantren khusus waria yang didirikannya pada 2008 bersama dua waria lainya. Ponpes Al Fatah Yogyakarta hadir untuk memberi kesempatan bagi para transpuan beribadah dan memperdalam agama secara nyaman.

Dikutip dari Merdeka.com, Shinta Ratri menilai, para waria terkadang merasa tidak nyaman dan seringkali mendapat penolakan dari warga. Meski tak selalu berupa kata-kata yang terucap pedas, namun juga tindakan.

"Ketika solat di masjid terkadang ada banyak penolakan. Tak selalu berupa kata-kata namun juga tindakan. Saat salat ternyata di sampingnya seorang waria, mereka kemudian pindah. Hal inilah yang membuat waria cenderung lebih nyaman salat di rumah," ujar Shinta waktu itu, Agustus 2021.

Berangkat dari kondisi itulah Shinta Ratri membangun pondok pesantren yang menurutnya adalah madrasah pertama untuk kaum transgender di mana pun di dunia.

Berbeda dengan pesantren pada umumnya dimana santri tinggal dan menetap, di pesantren Al Fatah, waria yang menjadi santri tinggal di rumah masing-masing.

Mereka mengaji dua kali per minggu, Ahad (Minggu) dan Rabu malam. Lantaran jadwal mengaji itu, pesantren waria ini disebut juga dengan pesantren Senin dan Kamis.

 

2 dari 3 halaman

Santri Bebas Memilih Perlengkapan Salat

Pondok pesantren Al Fatah memiliki beragam kelas. Berbagai pelajaran agama diberikan selama pengajian di pondok pesantren itu. Dari doa dan cara salat, membaca Alquran, mengaji fikih, hingga pemahaman beragama.

Pada awal berdiri, tak banyak waria yang bergabung di pondok pesantren ini. Kini, santrinya berasal dari dari beberapa wilayah di Indonesia dengan beragam latar belakang profesi. Ada yang menjadi pengamen di siang hari, bekerja di LSM, pegawai salon, membuka usaha sendiri hingga lainnya.

Ketika salat, para santri waria bebas memilih memakai sarung atau mukena. Tak ada paksaan, semua disesuaikan dengan keyakinan dan ketulusan hari mereka dalam menghadap Allah SWT. Terpenting tentu tetap berlandaskan niat. Beribadah guna mendapat pahala dan ketenangan batin masing-masing.

3 dari 3 halaman

Sempat Vakum

Ponpes Al Fatah sempat vakum karena pendirinya--Maryani--meninggal dunia. Shinta Ratri kemudian meneruskan mengelola dan mengasuh pesantren itu. Dia juga memindahkan lokasi pesantren yang semula di Notoyudan, menjadi di rumahnya.

Kehadiran ponpes itu juga sebagai upaya menghapus stigma negatif waria yang melekat di masyarakat. Para santri transpuan Ponpes Al Fatah terbukti mampu berbaur dan berhubungan baik dengan warga ekitar.

Berkat kerja kerasnya dan semangat mendampingi para waria, Shinta Ratri mendapat penghargaan pejuang hak asasi manusia mewakili Asia Pasifik dari Front Line Defenders pada tahun 2019.

Dalam laman resmi organisasi internasional untuk perlindungan pembela HAM yang berbasis di Irlandia itu disebutkan bahwa Shinta Ratri adalah pendiri sosok yang kuat dan inovatif. Shinta dapat mengakomodasi kebutuhan transpuan dengan menciptakan ruang aman untuk berdoa.

"Ia mengakomodasi kebutuhan individu trans dan menciptakan ruang yang aman bagi mereka untuk menjalankan agama mereka dan menjadi diri mereka sendiri," tulis organisasi itu di laman website Front Line Defenders.