Liputan6.com, Jakarta - Pengamat ekonomi Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya, Rosdiana Sijabat, mendukung pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, yang menyebut tindakan Uni Eropa yang menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO) karena melarang ekspor bijih nikel sebagai bentuk penjajahan di era modern.
Menurutnya, Uni Eropa harus menghargai keputusan pemerintah Indonesia dimana semua negara punya kebutuhan untuk mengamankan kebutuhan energinya masing-masing dan meningkatkan nilai tambah secara ekonomi. Hal itu, dalam rangka mewujudkan investasi berkeadilan.
Baca Juga
“Bahwa produk-produk tambang mineral ini sifatnya kan tidak dapat diperbaharui sifatnya non renewable energy oleh karena itu ketika mulai memperhatikan dengan benar. Ini ada hubungannya dengan bagaimana kita mengelola perekonomian secara kesinambungan,” ujar Rosdiana, Kamis (16/2/2023).
Advertisement
Rosdiana mengatakan, gugatan Uni Eropa harus tetap dihadapi dengan melakukan lobi serta membangun argumentasi bahwa Indonesia melarang ekspor bijih mentah nikel itu karena Indonesia sedang melakukan transformasi ekonomi dan mengedepankan industri hijau di dalam negeri seperti membangun ekosistem baterai kendaraan listrik.
“Kita punya kepentingan yang sangat strategis karena pemerintah punya rencana agar kita bisa mengembangkan industri baterai kendaraan listrik. Kita akan menuju ke sana. Ini juga sama bagaimana kita melihat lingkungan bagaimana kita mengelola perekonomian kita,” jelasnya.
“Saya kira ini ada kaitannya dengan upaya pemerintah Indonesia juga untuk mendukung tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) salah satunya adalah kita harus berpikir sumber daya yang kita miliki ini dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi Indonesia,” sambung Rosdiana.
Menteri Bahlil Kutuk Keras
Sebelumnya, Bahlil Lahadalia selain mengutuk keras tindakan Uni Eropa. Ia juga menyampaikan keputusan pemerintah melarang bijih nikel agar memberikan nilai tambah bagi perekonomian dalam negeri. Terbukti, pada 2017 sebelum larangan, ekspor produk besi dan baja Indonesia hanya US$3,3 miliar. Lalu, setelah dilarang, ekspornya naik menjadi US$27,8 miliar di 2022.
"Ini kok masih ada negara seperti ini di dunia yang sudah merdeka, seperti penjajah baru. Ini nggak bener dengan alasan ini terjadi monopoli pasar. Padahal kan kita lakukan hilirisasi untuk mewujudkan SDG's," ungkap Bahlil.
Bahlil berpandangan kalau ekspor bijih nikel tidak dilarang pada 2020 lalu, maka nilai tambah ke perekonomian Indonesia juga tak terjadi. Kendati, dia menekankan tak takut dan gentar dengan gugatan tersebut.
"Sekalipun dibawa ke WTO nggak masalah, itu hak mereka, tapi kami nggak akan pernah gentar untuk melawan itu," tegas Bahlil.
Bahlil menilai harusnya Uni Eropa bisa menghargai keputusan yang diambil oleh Indonesia atau negara manapun. Sebab, semua negara memiliki strategi masing-masing untuk meningkatkan perekonomiannya.
"Enggak boleh negara A intervensi negara B. Negara ini semua di dunia ini sudah pada merdeka, kita hargai,"terang Bahlil.
Selain itu, mantan Ketua Umum HIPMI itu menegaskan Indonesia tidak akan gentar sedikit pun untuk menghadapi urusan gugatan WTO. Dia berkata, berbagai upaya akan dikerahkan demi meningkatkan nilai tambah industri di dalam negeri.
"Sampai di lubang jarum pun akan kita hadapi WTO ini dan kita harus berdaulat dan hilirisasi adalah harga mati untuk kita lakukan dalam rangka memberikan nilai tambah," tukas Bahlil.
Advertisement