Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjawab tudingan Pasal 100 KUHP yang sengaja disiapkan untuk mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo yang divonis mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Eddy, panggilan Edward Omar tak mau ambil pusing dengan tuduhan tersebut.
Baca Juga
"Ya orang berasumsi, orang berprasangka buruk silakan saja, itu urusan mereka sendiri," ujar Eddy dalam keterangannya, Rabu (15/2/2023).
Advertisement
Dalam pasal 100 KUHP baru menjelaskan, hakim bisa menjatuhkan vonis mati dengan masa percobaan 10 tahun. Jika dalam 10 tahun terpidana berkelakuan baik dan menyesali perbuatannya, maka vonis mati diganti dengan penjara seumur hidup.
KUHP baru ini akan berlaku 3 tahun sejak disahkan. Artinya baru bisa dipakai pada 2026.
Namun, Eddy menjelaskan isi Pasal 100 KUHP yang baru ini sudah dibahas jauh sebelum Ferdy Sambo terseret kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
"Sebentulnya pertimbangan mengenai masa percobaan 10 tahun muncul lebih dari 10 tahun lalu, itu ada dalam pertimbangan MK, pada 2006 kalau tidak salah, pasal soal pidana mati diuji, pada saat itu putusan MK, 4 banding 5, jadi 5 (hakim MK) setuju untuk tetap mempertahankan pidana mati, yang 4 (hakim MK lainnya) tidak setuju, ingin pidana mati dihapuskan," kata Eddy.
Menurut Eddy, lantaran ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari para hakim MK, maka di situ tercetus bahwa pidana mati perlu mendapatkan masa percobaan selama 10 tahun. Jika dalam 10 tahun masa pidana sang terpidana berkelakuan baik, maka akan diubah menjadi pidana seumur hidup.
"Kalau sudah berkelakuan baik, maka bisa diubah dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup, atau pidana sementara waktu. Dan ini sesuai dengan visi KUHP Nasional yang disahkan pada 6 Desember (2022) yang kemudian diundangkan pada 2 Januari (2023) dengan UU Nomor 1 tahun 2023," kata dia.
Â
Visi KUHP
Eddy menjelaskan, salah satu visi KUHP Nasional adalah reintegrasi sosial. Menurut dia, visi ini memberikan kesempatan kepada pelaku kejahatan untuk memperbaiki diri dan tak mengulangi perbuatannya.
"Reintegrasi sosial itu setiap orang yang melakukan kejahatan pasti ada kesempatan kedua bagi dia untuk memeprbaiki diri, untuk tidak lagi mengulangi, jadi diharapkan ketika dia dijatuhi sanksi sembari mendapatkan pembinaan dari teman-teman di pemasyarakatan, dia akan menjadi baik, dia akan bisa diterima masyarakat, dia tidak akan mengulanginya dan bisa bermanfaat bagi masyarakat," kata Eddy.
Atas dasar itu, Eddy menolak dikatakan Pasal 100 KUHP yang baru ini sengaja dibuat untuk melindungi hukuman mati Ferdy Sambo. Menurutnya, Pasal 100 KUHP ini merupakan solusi bagi mereka yang pro dan kontra terhadap pidana mati.
"Saya ingin menegaskan bahwa kontruksi pasal 100 itu bukan tiba-tiba turun dari langit, tapi sudah 10 tahun lalu, dan ini sebagai jalan tengah, ini adalah cara Indonesia untuk mencari win win solution antara paham yang ingin tetap ada pidana mati dengan paham yang tak ingin ada pidana mati," kata dia.
Advertisement