Sukses

Wamenkumham: Ferdy Sambo Tetap Bisa Dieksekusi Mati Meski dengan KUHP Baru

Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo divonis hukuman pidana mati atas kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa. Namun apakah Sambo bisa bebas dari hukuman mati saat KUHP yang baru diberlakukan 2026 nanti?

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo tetap bisa dieksekusi mati meski KUHP Nasional berlaku pada 2 Januari 2026.

KUHP Nasional atau KUHP baru ini diundangankan pada 2 Januari 2023. KUHP Nasional ini berlaku efektif dalam tiga tahun, yakni 2 Januari 2026.

Menurut Eddy, sapaan karib Wamenkumham, perjalanan eksekusi mati Ferdy Sambo ini masih panjang.

"Bahwa putusan pengadilan negeri ini kan belum berkekuatan hukum tetap, ada banding, ada kasasi, bahkan kecenderungan kita setelah kasasi dia melakukan peninjauan kembali (PK), putusan MK itu menyebutkan PK bisa dilakukan lebih dari satu kali, tidak ada batasan, berapa kali orang boleh PK," ujar Eddy dalam keterangannya dikutip Kamis (16/2/2023).

Eddy menyebut, Ferdy Sambo bisa terus mengulur waktu eksekusi mati dengan terus mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Apalagi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terpidana boleh berkali-kali mengajukan upaya hukum PK tanpa adanya batasan.

"Ketika seorang terpidana mati melakukan PK atas putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap dirinya, itu sebagai salah satu alasan untuk menunda eksekusi, kalau tidak ada batasan itu bisa dilakukan berkali-kali," kata dia.

Eddy menyebut, jika Ferdy Sambo nantinya menggunakan KUHP Nasional yang berlaku efektif pada Januari 2026, menurutnya tetap tak bisa mudah bagi mantan jenderal bintang dua Polri itu lepas dari vonis mati.

Ferdy Sambo tetap harus memperlihatkan kelakuan baik dan sadar tak akan mengulangi perbuatannya seperti Pasal 100 KUHP Nasional atau KUHP baru.

 

2 dari 2 halaman

Vonis Mati dengan Masa Percobaan 10 Tahun

Dalam pasal 100 KUHP baru menjelaskan, hakim bisa menjatuhkan vonis mati dengan masa percobaan 10 tahun. Jika dalam 10 tahun terpidana berkelakuan baik dan menyesali perbuatannya, maka vonis mati diganti dengan penjara seumur hidup.

"Kalau seandainya sampai KUHP Nasional itu berlaku, berdasarkan pasal 3 KUHP Nasional, terperiksa, terlapor, tersangka, terdakwa terpidana harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan karena ada perubahan aturan perundang-undangan, maka yang menguntungkan adalah KUHP Nasional, masa percobaan 10 tahun. Nah masa itu dilihat kalau berkelakuan baik maka diubah pidana menjadi seumur hidup atau pidana sementara 20 tahun, kalau dia tidak berkelakuan baik, maka eksekusi pidana mati bisa dilakukan," kata dia.

Menurut Eddy, surat kelakuan baik juga tak bisa sembarangan diterima oleh terpidana. Surat kelakuan baik tidak hanya diterbitkan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakaratan (Kalapas).

"Bahwa kelakuan baik terhadap seorang terpidana mati penilaiannya itu tidak hanya dilakukan oleh petugas lapas. Kita harus memfungsikan apa yang namanya Kimwasmat, Hakim Pengawas dan Pengamat. Hakim Pengawas dan Pengamat ini sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHP. Apa fungsi Hakim Pengawas dan Pengamat? Fungsinya adalah untuk memastikan apakah vonis, apakah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terpidana itu dia bisa berlaku efektif ataukah tidak untuk memperbaiki si terpidananya," kata Eddy.

"Jadi tidak hanya petugas lapas semata yang memberikan baik-buruk dari seorang warga binaan, apalagi terpidana mati. Tapi kita juga melibatkan yang lain. Semua ini akan diatur dalam peraturan pemerintah terkait pelaksanaan pidana mati," ujar Eddy menandaskan.