Liputan6.com, Timor Tengah Selatan: Sepintas, Desa Boti di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, sama halnya dengan desa lainnya di Provinsi Nusatenggara Timur: jauh dari kesan ramai dan mewah. Kehidupan keseharian warga di desa tersebut juga sederhana. Dengan kondisi alam yang agraris, warga Desa Boti lebih banyak mengandalkan perkebunan dan peternakan sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kehidupan mereka. Tapi, di balik itu semua, ternyata Desa Boti menyimpan sesuatu yang berbeda dengan desa-desa lain di NTT. Perbedaan itu muncul dari sejarah terbentuknya Desa Boti yang kabarnya berasal dari sebuah kerajaan kuno yang waktu berdirinya tak diketahui secara pasti.
Yang juga membuat Desa Boti unik, sisa-sisa megahnya kerajaan masih terpelihara hingga kini, baik dalam bentuk tradisi maupun hirarki masyarakat. Wujudnya, warga Desa Boti dipimpin seorang raja yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Usif. Seorang Usif tak cuma bertindak sebagai pemimpin semata, tapi juga sebagai orang sakti yang diyakini mempunyai ilmu supranatural. Selain itu, Usif menjadi sumber hukum dan kebijaksanaan bagi warga setempat. Usif tinggal dalam sebuah istana. Jabatan seorang Usif diperoleh secara turun menurun.
Bagi warga Desa Boti, para lelaki dewasa yang telah menikah diwajibkan untuk memelihara rambut hingga panjang. Ini kian mempertegas identitas yang membedakan mereka dengan lelaki di daerah lain. Tak cuma potongan rambut, warga Desa Boti juga menganut agama yang berbeda dengan masyarakat NTT pada umumnya. Mereka menganut aliran Halaika, yaitu suatu kepercayaan animistis-politeistis. Dalam ajaran ini, terdapat dua alam kehidupan manusia, yakni alam Uis Pah dan Uis Neno atau alam bumi dan langit. Kepercayaan Halaika juga mengajarkan warga Boti untuk selalu memelihara keseimbangan dan kelestarian alam. Tak heran, demi keseimbangan alam ini, mereka bahkan dilarang keras membunuh binatang liar di tanah Boti.
Uniknya lagi, warga Desa Boti mempunyai sistem penanggalan yang berbeda dengan masyarakat umumnya yang tinggal di bumi. Mereka percaya bahwa dalam sepekan ada sembilan hari. Setiap hari kesembilan tiba, warga Desa Boti biasa berkumpul di Istana Boti, tempat tinggal Usif. Kesempatan itu biasanya dimanfaatkan warga buat menggelar pertemuan sambil menunggu titah dari sang Usif. Jika sang raja tak bertitah, pertemuan ini digunakan para warga dengan mengisi kegiatan dengan membuat peralatan sehari-hari. Para pria membuat alat-alat, seperti makan dan minum. Sedangkan para wanitanya lebih menyibukkan diri dengan membuat kain tenun. Membuat kain memang diwajibkan bagi warga Desa Boti. Pasalnya, warga dilarang menggunakan kain selain buatan penduduk Desa Boti. Mereka menganggap kain buatan desa lain menggunakan pewarna kain dari bahan sintetis. Penggunaan bahan tersebut menjadi suatu hal yang diharamkan bagi warga Desa Boti.
Kadang, pertemuan yang digelar setiap akhir pekan ini juga dipergunakan untuk mencurahkan keluh kesah para warga. Di Desa Boti, tak ada masalah yang sifatnya pribadi. Semua problem harus dipikul sama-sama. Pada akhirnya, jika ada satu keluarga yang tengah dirundung masalah, semua warga spontan membantu.
Saat SCTV mengunjungi Desa Boti, beberapa waktu silam, ada satu keluarga yang bernama Lela Weno, yang tengah dibelit masalah. Mereka mengaku kesulitan buat menggelar Taipoitan Liat, sebuah upacara turun tanah untuk bayi yang telah berumur empat bulan. Semangat saling membantu di antara warga Desa Boti langsung kentara. Mereka juga segera menggelar pertemuan buat membicarakan upacara tersebut.
Singkat cerita, solusi dari kesulitan yang dialami keluarga Lela terpecahkan. Akhirnya, atas dukungan seluruh warga, keluarga Lela Weno diputuskan segera menyelenggarakan upacara itu. Pertemuan pun dilanjutkan dengan makan malam. Tak lama kemudian, perhelatan ditutup dengan bernyanyi dan menari bersama. Bagi warga setempat, bernyanyi dan menari sekaligus sebagai ungkapan kegembiraan mereka melepas lelah setelah delapan hari bekerja. Ungkapan kegembiraan yang menyiratkan optimisme warga Boti dalam menghadapi hari-hari mendatang.
Berdasarkan adat setempat, upacara Taipoitan Liat penting digelar karena pada usia empat bulan, sang anak harus melewati ritual peralihan yang pertama dengan menginjak tanah. Ini juga sebagai simbol penghormatan mereka terhadap bumi atau tanah yang mereka anggap sebagai sumber kehidupan. Bagi warga Boti, tanah atau bumi adalah unsur alam yang teramat penting. Tak heran, jika seorang anak manusia yang masih bayi harus diperkenalkan kepada tanah dengan cara menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Ritual ini juga menandai dimulainya fase sosialisasi seorang anak manusia. Uniknya, meski telah berumur empat bulan sang bayi ini masih belum diberi nama. Berdasarkan adat Boti, nama seorang anak akan diberikan berdasarkan kata pertama yang bisa dia ucapkan.
Sampai pada hari yang sudah ditentukan, upacara Taipoitan Liat pun digelar. Sebelumnya acara dimulai, ayah sang bayi menggelar tikar di depan Lopo atau tempat berlangsung upacara. Kemudian muncul sang ibu bersama dua orang gadis. Di gendongan sang ibu yang bernama Neo Sufa Laka, tampak sesosok bayi montok yang menjadi bintang upacara. Neo Sufa Laka terlihat mengenakan pakaian adat dan wajahnya ditutupi cadar berhiaskan manik-manik. Di pinggangnya terselip sebilah parang yang nantinya akan diserahkan kepada sang anak, sebagai simbol bekal hidup setelah dewasa. Secara bergiliran, warga desa yang berkumpul menatap wajah sang bayi sebagai simbol sosialisasi sang bayi dengan dunia sekitarnya. Tak lama kemudian, sang bayi pun dibasahi dengan air sebagai perlambang penyucian diri sebelum menyentuh tanah. Berbagai simbol sosial pun muncul dalam tahapan-tahapan upacara ini. Sirih dan pinang dibagikan kepada seluruh hadirin, sebagai simbol agar kelak sang anak bersedia melayani sesama, terutama mereka yang lebih tua. Sebaliknya para tamu pun memberikan pinang kepada sang anak, sebagai tanda kasih sayang generasi tua kepada generasi muda.
Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki bergantian dengan sang ibu memperagakan penggunaan parang yang kini telah menjadi milik sang bayi. Inilah parang yang kelak akan dipakai oleh sang anak untuk pergi ke ladang. Usai upacara Taipotan Liat, sebuah alat musik semacam okulele didentingkan. Seluruh warga menari bersama dalam kegembiraan dan kesederhanaan sebagai wujud rasa syukur mereka atas kehadiran anggota baru di Desa Boti. Keceriaan ini juga menjadi cara bagi warga desa untuk membangun kebersamaan dan menularkan nilai-nilai kehidupan kepada para pemuda dan anak-anak mereka.(ORS/Tim Potret)
Yang juga membuat Desa Boti unik, sisa-sisa megahnya kerajaan masih terpelihara hingga kini, baik dalam bentuk tradisi maupun hirarki masyarakat. Wujudnya, warga Desa Boti dipimpin seorang raja yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Usif. Seorang Usif tak cuma bertindak sebagai pemimpin semata, tapi juga sebagai orang sakti yang diyakini mempunyai ilmu supranatural. Selain itu, Usif menjadi sumber hukum dan kebijaksanaan bagi warga setempat. Usif tinggal dalam sebuah istana. Jabatan seorang Usif diperoleh secara turun menurun.
Bagi warga Desa Boti, para lelaki dewasa yang telah menikah diwajibkan untuk memelihara rambut hingga panjang. Ini kian mempertegas identitas yang membedakan mereka dengan lelaki di daerah lain. Tak cuma potongan rambut, warga Desa Boti juga menganut agama yang berbeda dengan masyarakat NTT pada umumnya. Mereka menganut aliran Halaika, yaitu suatu kepercayaan animistis-politeistis. Dalam ajaran ini, terdapat dua alam kehidupan manusia, yakni alam Uis Pah dan Uis Neno atau alam bumi dan langit. Kepercayaan Halaika juga mengajarkan warga Boti untuk selalu memelihara keseimbangan dan kelestarian alam. Tak heran, demi keseimbangan alam ini, mereka bahkan dilarang keras membunuh binatang liar di tanah Boti.
Uniknya lagi, warga Desa Boti mempunyai sistem penanggalan yang berbeda dengan masyarakat umumnya yang tinggal di bumi. Mereka percaya bahwa dalam sepekan ada sembilan hari. Setiap hari kesembilan tiba, warga Desa Boti biasa berkumpul di Istana Boti, tempat tinggal Usif. Kesempatan itu biasanya dimanfaatkan warga buat menggelar pertemuan sambil menunggu titah dari sang Usif. Jika sang raja tak bertitah, pertemuan ini digunakan para warga dengan mengisi kegiatan dengan membuat peralatan sehari-hari. Para pria membuat alat-alat, seperti makan dan minum. Sedangkan para wanitanya lebih menyibukkan diri dengan membuat kain tenun. Membuat kain memang diwajibkan bagi warga Desa Boti. Pasalnya, warga dilarang menggunakan kain selain buatan penduduk Desa Boti. Mereka menganggap kain buatan desa lain menggunakan pewarna kain dari bahan sintetis. Penggunaan bahan tersebut menjadi suatu hal yang diharamkan bagi warga Desa Boti.
Kadang, pertemuan yang digelar setiap akhir pekan ini juga dipergunakan untuk mencurahkan keluh kesah para warga. Di Desa Boti, tak ada masalah yang sifatnya pribadi. Semua problem harus dipikul sama-sama. Pada akhirnya, jika ada satu keluarga yang tengah dirundung masalah, semua warga spontan membantu.
Saat SCTV mengunjungi Desa Boti, beberapa waktu silam, ada satu keluarga yang bernama Lela Weno, yang tengah dibelit masalah. Mereka mengaku kesulitan buat menggelar Taipoitan Liat, sebuah upacara turun tanah untuk bayi yang telah berumur empat bulan. Semangat saling membantu di antara warga Desa Boti langsung kentara. Mereka juga segera menggelar pertemuan buat membicarakan upacara tersebut.
Singkat cerita, solusi dari kesulitan yang dialami keluarga Lela terpecahkan. Akhirnya, atas dukungan seluruh warga, keluarga Lela Weno diputuskan segera menyelenggarakan upacara itu. Pertemuan pun dilanjutkan dengan makan malam. Tak lama kemudian, perhelatan ditutup dengan bernyanyi dan menari bersama. Bagi warga setempat, bernyanyi dan menari sekaligus sebagai ungkapan kegembiraan mereka melepas lelah setelah delapan hari bekerja. Ungkapan kegembiraan yang menyiratkan optimisme warga Boti dalam menghadapi hari-hari mendatang.
Berdasarkan adat setempat, upacara Taipoitan Liat penting digelar karena pada usia empat bulan, sang anak harus melewati ritual peralihan yang pertama dengan menginjak tanah. Ini juga sebagai simbol penghormatan mereka terhadap bumi atau tanah yang mereka anggap sebagai sumber kehidupan. Bagi warga Boti, tanah atau bumi adalah unsur alam yang teramat penting. Tak heran, jika seorang anak manusia yang masih bayi harus diperkenalkan kepada tanah dengan cara menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Ritual ini juga menandai dimulainya fase sosialisasi seorang anak manusia. Uniknya, meski telah berumur empat bulan sang bayi ini masih belum diberi nama. Berdasarkan adat Boti, nama seorang anak akan diberikan berdasarkan kata pertama yang bisa dia ucapkan.
Sampai pada hari yang sudah ditentukan, upacara Taipoitan Liat pun digelar. Sebelumnya acara dimulai, ayah sang bayi menggelar tikar di depan Lopo atau tempat berlangsung upacara. Kemudian muncul sang ibu bersama dua orang gadis. Di gendongan sang ibu yang bernama Neo Sufa Laka, tampak sesosok bayi montok yang menjadi bintang upacara. Neo Sufa Laka terlihat mengenakan pakaian adat dan wajahnya ditutupi cadar berhiaskan manik-manik. Di pinggangnya terselip sebilah parang yang nantinya akan diserahkan kepada sang anak, sebagai simbol bekal hidup setelah dewasa. Secara bergiliran, warga desa yang berkumpul menatap wajah sang bayi sebagai simbol sosialisasi sang bayi dengan dunia sekitarnya. Tak lama kemudian, sang bayi pun dibasahi dengan air sebagai perlambang penyucian diri sebelum menyentuh tanah. Berbagai simbol sosial pun muncul dalam tahapan-tahapan upacara ini. Sirih dan pinang dibagikan kepada seluruh hadirin, sebagai simbol agar kelak sang anak bersedia melayani sesama, terutama mereka yang lebih tua. Sebaliknya para tamu pun memberikan pinang kepada sang anak, sebagai tanda kasih sayang generasi tua kepada generasi muda.
Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki bergantian dengan sang ibu memperagakan penggunaan parang yang kini telah menjadi milik sang bayi. Inilah parang yang kelak akan dipakai oleh sang anak untuk pergi ke ladang. Usai upacara Taipotan Liat, sebuah alat musik semacam okulele didentingkan. Seluruh warga menari bersama dalam kegembiraan dan kesederhanaan sebagai wujud rasa syukur mereka atas kehadiran anggota baru di Desa Boti. Keceriaan ini juga menjadi cara bagi warga desa untuk membangun kebersamaan dan menularkan nilai-nilai kehidupan kepada para pemuda dan anak-anak mereka.(ORS/Tim Potret)