Sukses

HEADLINE: Kapolri Beri Sinyal Richard Eliezer Bisa Balik ke Brimob dan Dilema Polri

Richard Eliezer masih menyimpan keinginan untuk kembali mengabdi di Korps Brimob Polri setelah divonis hukuman 1 tahun 6 bulan di kasus pembunuhan Brigadir J. Lantas, masih layakkah terpidana pembunuhan kembali berdinas di Polri?

Liputan6.com, Jakarta - Rynecke Alma Pudihang begitu optimistis anaknya, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E bisa kembali bertugas di Polri setelah menjalani hukuman pidana 1 tahun dan 6 bulan penjara atas kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yusua Hutabarat alias Brigadir J.

Vonis tersebut telah berkekuatan hukum tetap atau inkrach setelah jaksa penuntut umum (JPU) dan pihak terdakwa sama-sama tidak melakukan upaya banding atas putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Artinya, Richard Eliezer akan menjalani hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dipotong masa penahanan yang sudah dijalani.

Keinginan Richard Eliezer kembali menjadi bagian dari Polri terlihat secara tersirat dalam nota pembelaannya (pleidoi) yang dibacakan pada persidangan kasus pembunuhan Brigadir J. Dalam pleidoinya, Bharada E menunjukkan begitu bangga menjadi anggota Brimob Polri.

Baginya, menjadi anggota Brimob Polri adalah sebuah impian yang berhasil diraih dengan perjuangan yang tak mudah. Richard tak kenal menyerah meski berkali-kali gagal menjadi polisi. Dia bahkan sampai empat kali mengikuti tes, hingga akhirnya dinyatakan lulus dengan peringkat satu di Polda Sulawesi Utara.

Hal inilah yang membuat sang ibunda yakin Richard Eliezer tidak trauma menjadi anggota Polri meski sempat terjerumus dalam pusaran kasus pembunuhan Brigadir J yang didalangi atasannya sendiri, Ferdy Sambo, hingga membuat dirinya menjadi pesakitan.

"Enggak (trauma jadi polisi). Icad itu memang cinta polisi, dia memang cinta polisi karena dari awal kan dia cita-citanya itu dia berjuang mati-matian sampai tiga kali, empat kali dengan Angkatan Laut. Tiga kali di kepolisian dia ikut tes, ketiga dia lolos," kata Rynecke usai menyaksikan sidang vonis Richard melalui saluran televisi, Rabu (15/2/2023).

"Jadi enggak mungkin, dia enggak cinta apa yang sudah dia raih luar biasa dengan perjuangan yang luar biasa menjadi seorang anggota Brimob sampai peringkat satu itu luar biasa," sambungnya.

Dan asa itu masih ada. Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memberi sinyal baik untuk Richard Eliezer kembali menjadi keluarga Korps Bhayangkara. Kapolri menyebut, Bharada E masih punya peluang kembali menjadi anggota Brimob Polri.

"Ya peluang itu ada (balik jadi anggota Brimob)," kata Listyo Sigit kepada wartawan saat ditemui di Gedung The Tribrata, Jakarta Selatan, Kamis (16/2/2023).

Meski begitu, semuanya tetap harus menunggu hasil sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) yang sedang dipersiapkan oleh tim dari Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.

"Kita sedang lihat proses yang ada, dan kita minta untuk tim dari Propam untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa dilaksanakan (sidang etik)," ujar jenderal bintang empat Polri ini.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni menyambut baik sinyal yang diberikan Kapolri terkait peluang Richard Eliezer bisa kembali menjadi anggota Brimob. Menurut dia, Komisi Kode Etik Profesi perlu mempertimbangkan latar belakang kasus yang dialami Bharada E.

"Eliezer layak dipertimbangkan untuk kembali berdinas ya karena dia dalam kasus ini hanya menjalankam perintah komandannya, yang mana dalam prinsipnya anak buah harus mematuhi semua instruksi atasan," ujar Sahroni saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (17/2/2023).

Keberanian Richard Eliezer menjadi justice collaborator (JC) hingga berhasil membantu polisi membongkar skenario palsu Ferdy Sambo di balik kematian Brigadir J ini juga perlu diapresiasi. Tanpa keberanian dan kejujurannya, kasus pembunuhan berencana seorang ajudan yang didalangi jenderal polisi bintang dua ini akan sulit terungkap.

"Eliezer dengan berani menjadi justice collaborator sehingga kasus ini bisa terbuka seperti sekarang. Jadi saya rasa contoh kasus seperti ini memang layak dipertimbangkan," tutur politikus senior Partai NasDem ini.

Berbeda dengan kasus Raden Brotoseno yang menuai polemik saat kembali aktif menjadi anggota Polri setelah selesai menjalani pidana kasus rasuah. Bahkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo sampai merevisi Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

"Beda sekali dengan kasus korupsi. Itu jelas dengan kesengajaan, menggunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain, jelas merupakan rekam jejak yang sangat cacat dan tidak layak untuk kembali berdinas," ucap Ahmad Sahroni menandaskan.

Sementara itu, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, Propam Polri harus segera menggelar sidang KKEP setelah vonis Richard Eliezer berkekuatan hukum tetap. Hal ini untuk menentukan status Bharada E di Polri.

Berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, Richard Eliezer memang masih berpeluang kembali menjadi polisi.

Dalam aturan tersebut, sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) alias pemecatan bisa dilakukan untuk personel Polri yang mendapatkan ancaman hukuman pidana 5 tahun penjara dan divonis 3 tahun yang sudah inkrah.

"Tetapi Perkap tersebut bertolak belakang dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri yang hanya menyebut, sanksi PTDH berlaku pada personel yang divonis pidana tanpa batasan waktu," ujar Bambang saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (17/2/2023).

Hal inilah yang bisa membuat Polri dilematis terkait nasib Bharada E. Bambang mengatakan bahwa dalam tata perundang-undangan, PP lebih tinggi dibanding Peraturan Kapolri. Selain itu, bila tidak dilakukan PTDH terhadap Richard, maka Polri sebagai lembaga penegak hukum akan dianggap permisif pada tindakan pelanggaran hukum oleh anggotanya.

"Kita ingin membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional," ujarnya.

Bambang berpendapat, perintah atasan yang melanggar hukum tentu harus diabaikan oleh anggota karena bukan dalam situasi perang atau operasi keamanan. Artinya, dalam kondisi normal menjalankan perintah atasan tanpa berpikir pada aturan tetap tak bisa dibenarkan, sekalipun oleh anggota Brimob.

"Jadi sanksi etik dan disiplin ini akan menentukan pada nasib Eliezer. Pelanggaran berat tentu konsekuensinya adalah PTDH," ucapnya.

2 dari 4 halaman

Berintegritas, Richard Punya Peluang Besar Berkarier di Luar Polri

Sementara jika kembali ke Polri, Richard Eliezer sebaiknya tidak ditempatkan di polisi umum. Menurut Bambang, Bharada E relatif lebih aman bila kembali ke Korps Brimob, karena satuan tersebut memiliki mekanisme sendiri dalam melindungi anggotanya.

Peran Richard sebagai justice collaborator (JC) yang turut membongkar aib di internal Polri hingga membuat sejumlah pejabat dan anggota terseret dalam kasus kematian Brigadir J ini, tentu berdampak pada keamanan dirinya.

"Sebab dengan kultur yang ada sekarang, JC atau whistle blower untuk kasus-kasus pelanggaran hukum di internal, malah bisa dianggap pengkhianat," kata Bambang.

Namun begitu, dia menegaskan bahwa keputusan tentang nasib Richard Eliezer di Polri akan bergantung pada Sidang Komisi Kode Etik Profesi nanti. Para petinggi Polri tentu tahu apa dampak apabila Bharada E kembali berdinas di kepolisian, begitu juga sebaliknya.

"Jadi semua tergantung pada hasil sidang KKEP Polri nanti," ujar Bambang.

Meski demikian, secara pribadi Bambang menyarankan agar Richard Eliezer mempertimbangkan untuk memulai karier di luar kepolisian setelah bebas dari menjalani hukuman pidana.

"Sebab dengan pilihan mundur dari kepolisian, itu malah akan menjadi poin plus bagi dia sebagai pribadi. Artinya meski seorang prajurit muda di level bawah, dia rela mengorbankan kariernya demi nama baik institusi dan itu akan memudahkan almamaternya untuk melakukan pembenahan ke depan," ucapnya.

"Saya yakin, dengan integritas Eliezer yang tinggi, banyak pihak yang akan mengajaknya bergabung setelah menjalani hukuman pidana. Contohnya seperti intitusi pengamanan swasta," kata Bambang Rukminto menandaskan.

Berbeda dengan Bambang, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso justru menyarankan Polri agar bisa menerima kembali Richard Eliezer alias Bharada E bertugas di Korps Bhayangkara. Sebab, vonis yang diterima Richard di bawah 2 tahun.

"Bharada Eliezer dengan vonis 1 tahun 6 bulan dalam praktiknya akan bisa diterima kembali dalam tugas institusi Polri," kata Sugeng dalam keterangannya, Rabu (15/2/2023).

Menurut Sugeng, kembalinya Bharada E berdinas sebagai anggota Polri justru akan berdampak baik pada Korps Bhayangkara tersebut. Menurut dia, keputusan itu dapat menaikkan citra institusi Polri.

"IPW mendorong Polri menerima kembali Bharada Eliezer untuk bertugas. Karena itu akan dapat menaikkan citra Polri di depan publik," tuturnya.

Lebih lanjut, IPW juga turut mengapresiasi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dapat memutus hukuman delapan kali lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 12 tahun penjara.

"Putusan majelis hakim pada Terdakwa Eliezer Pudihang Lumiu 1 tahun 6 bulan yang memutus jauh di bawah tuntutan jaksa 12 tahun adalah sikap mengambil posisi menegakkan keadilan substantif yang memihak pada suara rakyat daripada keadilan prosedural. Ini adalah kemenangan suara rakyat," kata Sugeng menandaskan.

Sementara itu, Pengacara Richared Eliezer, Ronny Talapessy menyatakan bahwa kliennya berharap bisa segera kembali berdinas sebagai anggota Polri khususnya anggota Brimob. Hal ini disampaikan Ronny setelah majelis hakim menjatuhkan vonis ringan kepada Bharada E.

"Iya (mau jadi polisi lagi), Richard kan sampaikan bahwa dalam pleidoi pribadinya bahwa dia bangga menjadi anggota Brimob," ujar Ronny kepada wartawan di PN Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023).

Ronny menjelaskan alasan Bharada E ingin kembali menjadi anggota Polri, salah satunya lantaran dirinya merupakan tulang punggung dan menjadi satu-satunya harapan keluarganya.

"Itu (anggota Polri) adalah pegangannya dia. Richard ini adalah tulang punggung keluarga, harapan keluarga, tulang punggung keluarga. Kita harapkan adalah Richard (bisa) kembali menjadi anggota Polri," ucap dia.

Richard Eliezer sendiri dimutasi ke bagian Pelayanan Markas (Yanma) Polri karena terseret kasus pembunuhan Brigadir J. Sebelum dimutasi ke Yanma, Bharada E adalah anggota Resimen I Paspelopor Korbrimob Polri untuk BKO menjadi ajudan Kadiv Propam Polri.

3 dari 4 halaman

Status JC Richard Akan Jadi Pertimbangan di Sidang Etik Polri

Polri telah menjadwalkan persidangan Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap atau inkrach. Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Richard divonis hukuman pidana 1 tahun 6 bulan bui.

"Sudah dijadwalkan oleh Propam (sidang etik). Nanti apabila ada jadwal pastinya sudah ada, demikian proses sidang dan hasilnya juga sudah ada, InsyaAllah akan sesegera mungkin kita sampaikan kepada rekan-rekan media," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, Kamis (16/2/2023).

Dedi menjelaskan, sidang etik terhadap Bharada E bisa saja dilakukan di dalam tahanan. Hal ini mengingat sudah ada putusan dari pengadilan yang juga menjadi pertimbangan dalam sidang KKEP nanti.

"Bisa (dalam tahanan). Yang penting sudah ada keputusan dari pengadilan, dasar dari putusan pengadilan ini akan jadi bahan pertimbangan hakim komisi kode etik profesi yang akan mengambil keputusan secara kolektif kolegial," tutur mantan Kapolda Kalimantan Tengah ini.

Lebih lanjut, Dedi belum bisa menyimpulkan akan ditugaskan di mana Richard Eliezer apabila kembali menjadi anggota Polri. Dia menyatakan bahwa kembali tidaknya Bharada E ke Korps Bhayangkara baru akan diputuskan pada sidang KKEP nanti. 

"Kita tidak bisa mendahului, karena tetap harus menunggu dari hasil sidang kode etik profesi yang akan digelar Propam. Itu dulu, apabila nanti sudah ada hasilnya akan kita sampaikan," ungkapnya.

Dia menjelaskan, komisi kode etik profesi nantinya akan mengacu pada PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) Anggota Polri dan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik dan Komisi Kode Etik Polri.

Jenderal bintang dua ini juga memastikan, semua hasil dari persidangan pidana Richard Eliezer akan dipertimbangkan di sidang KKEP, termasuk soal status justice collaborator (JC).

“Keputusan ini menjadi salah satu pertimbangan daripada hakim Komisi Kode Etik Polri (KKEP) ketika akan mengambil keputusan. Contoh hakim memutuskan Richard Eliezer JC. Ini hal yang penting,” ucap Dedi.

Dedi melanjutkan, selain hasil persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, para hakim KKEP juga akan memanggil sejumlah saksi dan mendengarkan publik untuk memutus status keanggotaan Richard Eliezer di Korps Bhayangkara.

“Nantinya hakim komisi mendengarkan saksi ahli dan mendengarkan suara masyarakat. Ini Bapak Kapolri sangat pesankan kepada kami harus benar mendengarkan masyarakat guna memenuhi keadilan masyarakat,” kata Dedi menutup.

4 dari 4 halaman

ICJR: Vonis Richard Penting untuk Penguatan Sistem JC

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai vonis 1 tahun 6 bulan yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa Richard Eliezer alias Bharada E telah menjadi tonggak penguat sistem justice collaborator di Indonesia.

"Putusan ini adalah putusan penting untuk penguatan sistem JC di Indonesia," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangannya, Kamis (16/2).

Sebab, Erasmus menilai vonis 1 tahun 6 bulan Bharada E nyata lebih rendah dari terdakwa lain. Bahkan 8 kali jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yakni 12 tahun penjara, berkat buah kejujuran sebagai JC.

"Proses di pengadilan harus diapresiasi karena berhasil membongkar upaya rekayasa kasus dan obstruction of justice dalam perkara ini. ICJR secara khusus memberikan apresiasi kepada majelis hakim dengan putusannya yang secara tegas mengakui kedudukan Bharada E sebagai JC," katanya.

Di samping itu, kata Erasmus, peran dari jaksa penuntut umum (JPU) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah andil besar dalam melindungi Bharada E sebagai JC. Sehingga bisa menjadi gambaran ke depannya bagi JC dalam proses peradilan.

"ICJR berharap agar peradilan tetap terus konsisten memberikan perlakuan dan perlindungan khusus terhadap Bharada E sebagai JC sebagaimana yang dipraktikkan selama ini. Putusan majelis hakim pada kasus Bharada E ini merupakan praktik baik bagaimana pengadilan seharusnya memperlakukan JC.

"Dan harapannya juga dapat memotivasi JC-JC yang lain untuk berani membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana," tambah dia.

Sebelumnya, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Richard Eliezer alias Bharada E dalam perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Vonis yang dijatuhkan lebih ringan daripada tuntutan JPU, yakni 12 tahun penjara. Putusan ini menyimpan hal menarik, yakni dikabulkannya status Bharada E sebagai justice collaborator (JC) dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Sehingga layak terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, justice collaborator (JC) serta berhak mendapatkan penghargaan sebagaimana ditentukan pasal 10 a UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 13 tahun 2006," kata Hakim Anggota, Alimin Ribut Sujono, saat bacakan vonis di PN Jakarta Selatan, Rabu (15/2).

Keputusan hakim itu berbeda dengan sikap JPU yang memilih menolak permohonan yang dilayangkan LPSK tertanggal 11 Januari 2023 perihal rekomendasi pemberian hak dan penanganan khusus sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau JC.

"Majelis hakim melihat perkembangan keadilan di dalam masyarakat menghendaki bahwa whistleblower, saksi pelaku yang bekerja sama justice collaborator tidak semata mata didasarkan tindak pidana tertentu sebagaimana dalam SEMA nomor 4 tahun 2011," katanya.

"Akan tetapi mengacu pada tindak pidana pada kasus-kasus tertentu sebagaimana ditentukan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban," tambah dia.