Sukses

Mempertanyakan Legitimasi Audit KPK soal Kasus Helikopter AW-101

Kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland AW-101 mencuat kembali dalam diskusi #Safari24 yang diselenggarakan oleh Total Politik. Hasil diskusi menyebut, terdapat proses hukum yang dipaksakan sejak kasus ini dimulai tahun 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland AW-101 mencuat kembali dalam diskusi #Safari24 yang diselenggarakan oleh Total Politik. Hasil diskusi menyebut, terdapat proses hukum yang dipaksakan sejak kasus ini dimulai tahun 2017. Terutama dalam hal audit kerugian keuangan negara dalam kasus ini dilakukan internal KPK, bukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Saya tergelitik, audit harusnya dilakukan BPKP, bukan internal KPK. KPK tidak punya kewenangan melakukan audit. Kita tidak mau ada pemberantasan korupsi yang prosesnya di luar kewenangan. Begitu hukum bobrok, habis bangsa ini," ujar pakar hukum tata negara Margarito Kamis seperti dikutip Sabtu (18/2/2023). Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Budi Adi Putro dan Ari Putra ini juga menghadirkan narasumber Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP Wayan Sudirta, dan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Salah satu peserta diskusi, Pahrozi yang berprofesi sebagai pakar hukum mengatakan, Putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 tidak dapat dijadikan landasan hukum sebagai dasar KPK melakukan audit kerugian keuangan negara sendiri.

“Karena permohonan Nomor: 31/PUU-X/2012 amarnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak ada norma hukum baru atas putusan yang menolak permohonan tersebut,” ujar dia. Lebih lanjut, dia menjelaskan konteks permohonan Nomor: 31/PUU-X/2012 kepada MK adalah keberatan pemohon terkait ketentuan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sepanjang frasa BPKP, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara bertentangan dengan UUD 1945; artinya dengan ditolaknya permohonan a-quo tidak ada perubahan apapun terhadap norma yang diajukan pengujian tersebut. “Maka dengan digunakannya putusan MK Nomor: 31/PUU-X/2012 sebagai dasar untuk melakukan audit perhitungan kerugian negara, menunjukkan bahwa KPK memang tidak berwenang melakukan audit perhitungan kerugian negara sehingga berupaya mencari landasan hukum untuk melegitimasi audit tersebut, termasuk menjadikan peraturan internal KPK sendiri sebagai dasar hukum,” lanjut dia. Mendengar itu, Pakar Hukum Margarito Kamis sependapat. Menurut Margarito, KPK mengesampingkan prinsip-prinsip proses hukum yang baik. Sehingga ada kekhawatiran merugikan orang-orang yang tidak bersalah justru dipersalahkan karena ingin dinilai masyarakat menjalankan kinerja yang baik.

“Terkait nama baik yang tercemar karena proses hukum, suka atau tidak suka, penegakan hukum harus ditakar dengan prinsip-prinsip yang beres dulu. Jadi tidak boleh serampangan,” jelas Margarito. Menambahkan hal itu, ICW juga menyorot soal kekhawatiran masyarakat. Sebab KPK seperti menanggapi indeks persepsi korupsi atau IPK yang merosot tajam secara biasa saja.

“KPK tidak ada trust dari eksekutif, saya khawatir di internal KPK disibukan dengan prestasi-prestasi yang semu,” wanti Kurnia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Unsur Pemaksaan

Di kesempatan berbeda, pengamat militer dan pertahanan keamanan Connie Rahakundini Bakrie melihat ada unsur pemaksaan kasus oleh panglima Gatot Nurmantyo saat itu yang meminta KASAU Agus Supriatna menghentikan proses pengadaan Helikopter AW-101 karena perintah presiden.

Padahal saat itu yang berwenang menghentikan proses pengadaan adalah Kementerian Pertahanan (Kemhan). Panglima dan KASAU adalah sama-sama kuasa pengguna anggaran. “Ketika kepala staf mau mengadakan barang, dia tidak bisa memutuskan tanda tangan sendiri, begitupun Kemhan, dia punya jajaran yang harus approved, artinya sudah melewati banyak hal dan banyak tahapan yang harus dilalui. Ada uang rakyat yang dibelikan alutsista dan sudah diperhitungkan betul oleh TNI AU, Kemenhan bersama Presiden lalu tiba-tiba ada temuan korupsi," kata Connie.

"Pertanyaan saya, Panglima Gatot saat itu menemukan kasus korupsinya dimana? Apakah betul melibatkan keputusan politis saat itu atau tidak? Kalaupun ada korupsi dan kesalahan rekanan atau vendor, bukan keputusan strategis angkatan, kenapa uang rakyat yang dikorbankan sehingga helikopter tidak bisa beroperasi?,” ungkap Connie.

3 dari 3 halaman

Respons KPK

Sebelumnya, KPK angkat suara soal tuduhan bekerjasama dengan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

KPK dan Gatot dituduh sengaja mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU. Tuduhan dilayangkan tim penasihat hukum Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, terdakwa dalam perkara ini.

"Kami menyayangkan pernyataan penasihat hukum terdakwa tersebut. Sebagai penegak hukum yang punya peran penting, namun narasi yang dibangunnya di luar konteks yuridis," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (7/2/2023).

Meski demikian, Ali memastikan pihaknya tidak terpengaruh dengan pernyataan dari Pahrozi, penasihat hukum Irfan itu. Ali memastikan penanganan perkara ini sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

"Kami tidak terpengaruh dengan tuduhan semacam itu. Hal ini sudah biasa, kami memastikan seluruh proses penegakan hukum di KPK tidak lepas dari aturan hukum yang harus ditegakkan dan semuanya dapat terukur dan diuji secara terbuka," kata Ali.

Ali menyebut, KPK sudah memberikan kesempatan kepada Irfan dan tim kuasa hukumnya untuk memberikan pembelaan dalam proses penyidikan. Saat ini, Irfan juga diberikan kesempatan membela di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor.

"Kami memberikan kesempatan yang sama pada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan secara yuridis, namun bukan dengan cara serampangan membangun narasi kontraproduktif dengan penegakan hukum itu sendiri," kata Ali.

Diberitakan, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh dituntut 15 tahun penjara denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dalam kasus dugaan korupsi pembelian Helikopter Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU.

Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyatakan Jhon Irfan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

Jaksa menyebut Jhon Irfan bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana dakwaan kesatu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.