Sukses

Fenomena Childfree Sudah Berkembang Sejak Abad Ke-16

Childfree merupakan istilah ketika seseorang atau pasangan suami istri atau pasutri memilih untuk tidak memiliki anak.

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena childfree ramai jadi pembahasan di media sosial belakangan ini. Hal tersebut lantaran sejumlah pernyataan seorang konten kreator terkenal yang menjadi perdebatan warganet.

Childfree merupakan istilah ketika seseorang atau pasangan suami istri memilih untuk tidak memiliki anak. Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyatakan, childfree bukanlah fenomena baru dan hal lumrah terjadi.

Kata dia, childfree mulai berkembang sejak abad ke-16 di Eropa. Selain itu hal tersebut juga didukung ketika adanya perkembangan industri yang menyebabkan orang lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

"Ketika industri bergerak lebih cepat, ekonomi juga kebetulan berputar dengan lebih masif membutuhkan waktu kerja yang tertata, profesional, dan sebagainya. Sehingga orientasi kehidupan banyak difokuskan pada upaya memenuhi kebutuhan ekonomi tadi, karena semua menjadi serba cepat," kata Devie kepada Liputan6.com.

"Kemudian membuat banyak orang secara sadar memilih bahwa memiliki anak itu bukan lagi menjadi sebuah pilihan yang tepat dengan tuntutan kehidupan yang seperti itu," imbuhnya.

Kemudian adanya dampak dari demokratisasi. Misalnya, pendidikan yang semakin membaik. Sehingga orang semakin memiliki cara pemikiran yang baru mengenai anak dalam sebuah hubungan keluarga.

"Anak itu sebuah pilihan, bukan sebuah kewajiban. Apalagi perempuan-perempuan yang memang menjadi pusat dari kelahiran manusia tadi kemudian juga makin banyak yang sekolah, makin banyak kesadaran baru, sehingga kemudian secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak dengan berbagai alasannya," papar dia.

Sementara itu Devie memperkirakan fenomena childfree akan berkembang di Indonesia. "Sangat mungkin kemudian kita menyusul negara-negara lain seperti Jepang atau Amerika Serikat dan sebagainya yang memang jumlah orang yang menganut keyakinan akan childfree itu sudah semakin banyak," tandas dia.

 

2 dari 2 halaman

Perencanaan Pernikahan

Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyikapi maraknya isu mengenai pilihan hidup 'childfree marriage' atau keinganan untuk tak memiliki anak setelah menikah di kalangan milenial. Hasto menyampaikan, BKKBN memandang isu yang viral di media sosial itu sebagai hal yang bisa mendorong publik untuk lebih mengenal hak-hak reproduksi baik pria maupun wanita, serta tanggung jawab suatu pasangan dalam satu keluarga.

Fenomena tersebut, menurut Hasto tentunya tidak bisa lepas dari perspektif sosial dan budaya yang terbentuk di masyarakat, di mana umumnya mereka telah memasuki usia dewasa akan menikah, dan selanjutnya memiliki anak.

"Di sinilah pentingnya setiap pasangan calon pengantin sebaiknya melakukan perencanaan pernikahan agak memiliki visi dan misi pernikahan yang sama,” kata Hasto.

Hasto menekankan, melalui perencanaan pernikahan yang kuat, termasuk dengan mengikuti kursus pranikah, calon pasangan dapat mengetahui konsep ideal pernikahan, mulai dari usia pernikahan ideal, kesiapan finansial, fisik, mental dan emosi, hubungan antarpribadi (interpersonal), keterampilan hidup (life skill), sampai dengan kesiapan intelektual.

“Berbagai bekal dalam perencanaan pernikahan melalui kursus pranikah itu dapat menjadi modal dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak atau tidak, serta hal-hal lain saat menjalani kehidupan berkeluarga. Namun, keputusan untuk memiliki anak atau tidak merupakan hak dan pilihan dari masing-masing pasangan,” kata dokter spesialis kebidanan dan kandungan lulusan Universitas Gadjah Mada itu.

Hasto menguraikan, penyebab seseorang atau suatu pasangan tidak ingin memiliki anak, dapat digolongkan dalam dua kluster besar.