Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan putusan atau vonis hukuman mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Adapun vonis hukuman mati itu lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hukuman seumur hidup.
Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso membacakan vonis tersebut di ruang sidang Pengadilan Negeri, Senin, 13 Februari 2023.
Baca Juga
“Menyatakan Ferdy Sambo telah terbuksi secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana, dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya yang dilakukan bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana mati,” kata Hakim Wahyu, dikutip dari Kanal News Liputan6.com.
Advertisement
Wahyu menuturkan, Ferdy Sambo terbukti bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ferdy Sambo juga dinilai terbukti melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 KUHP.
Dengan vonis hukuman mati, bagaimana dengan proses eksekusi Ferdy Sambo?
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Pelita Harapan Jamin Ginting menuturkan, eksekusi vonis hukuman mati tidak bisa langsung diterapkan. Hal ini lantaran ada upaya hukum antara lain kasasi, banding, peninjauan kembali (PK) dan grasi.
“Baru bisa dieksekusi. Itu pun diberikan benar-benar waktu siap dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Jadi tidak bisa langsung eksekusi,” kata Jamin, saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (19/2/2023).
Selain itu, Jamin mengatakan, vonis hukuman mati yang diberikan kepada Ferdy Sambo juga memakai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lama. Lantaran KUHP baru berlaku tiga tahun mendatang sejak disahkan, berarti sekitar 2026. “Masih pakai KUHP lama (vonis Ferdy Sambo-red),” kata dia.
Dalam KUHP baru Pasal 100 ayat (1) ada mekanisme masa percobaan 10 tahun sebelum eksekusi dilakukan. Hal itu mempertimbangkan rasa penyesalan dan peran terdakwa. Adapun masa percobaan tersebut juga perlu putusan pengadilan. Meski demikian, Jamin menuturkan, KUHP baru itu sulit diterapkan untuk vonis Ferdy Sambo. Hal ini lantaran KHUP baru tersebut berlaku tiga tahun setelah disahkan.
“Tidak mungkin (KUHP baru berlaku untuk Ferdy Sambo-red). Ada KUHP baru tiga tahun yang akan datang (berlaku-red),” ujar dia
Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati
Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Terdakwa Ferdy Sambo dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat atau Brigadir J, dengan hukuman mati.
Vonis tersebut dibacakan langsung oleh ketua majelis hakim, Wahyu Iman Santoso di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
"Menyatakan Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana, dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya yang dilakukan bersama sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana mati," ujar Hakim Wahyu Iman Santoso.
Wahyu menyatakan, Ferdy Sambo terbukti bersalah melanggar Pasal 340 KUHP junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, Ferdy Sambo juga terbukti melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik junto Pasal 55 KUHP.
Sebelum mendapat vonis hakim, jaksa penuntut umum menuntut mantan Kadiv Propam Mabes Polri Ferdy Sambo dengan tuntutan penjara seumur hidup.
"Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa pidana seumur hidup," ujar jaksa di PN Jakarta Selatan, Selasa, 17 Januari 2023.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menimbang sejumlah hal yang memberatkan terdakwa Ferdy Sambo yakni menghilangkan nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat dan luka mendalam bagi keluarganya. "Terdakwa berbelit dan tidak mengakui perbuatannya dan memberikan keterangan di persidangan," ujar JPU, Selasa, 17 Januari 2023.
Jaksa juga menilai, apa yang dilakukan Ferdy Sambo tidak sepatutnya dilakukannya sebagai aparat penegak hukum. Terlebih, Ferdy Sambo saat itu menjabat sebagai Kadiv Propam Polri.
"Akibat perbuatan terdakwa, menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang luas di masyarakat. Perbuatan terdakwa tidak sepantasnya dilakukan dalam kedudukanya sebagai aparatur penegak hukum dan petinggi Polri," tutur jaksa.
Advertisement
Coreng Institusi Polri
Jaksa menilai, perbuatan Ferdy Sambo telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional. "Perbuatan terdakwa telah menyebabkan banyaknya anggota Polri lainnya turut terlibat," kata jaksa.
Jaksa juga mengatakan, tidak ada hal yang dapat meringankan Ferdy Sambo terkait kasus yang menimpanya. "Hal-hal yang meringankan tidak ada," tutur dia.
Tuntutan penjara itu berdasarkan dakwaan premier Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa menilai unsur pembunuhan berencana, merampas, nyawa orang lain dan unsur lain dalam Pasal 340 terpenuhi. Dengan demikian, dakwaan subsider tidak perlu dibuktikan.
Mengaku Tak Ada Ruang Pembelaan
Ferdy Sambo dalam menyampaikan nota pembelaan yang berjudul 'Setitik Harapan Dalam Ruang sesak Pengadilan’, Sambo mengatakan, dirinya dan keluarga menerima hinaan, caci-maki, olok-olok serta tekanan luar biasa dari semua pihak selama menjalani pemeriksaan dan persidangan perkara ini.
Sambo merasa, tidak ada ruang sedikitpun untuk menyampaikan pembelaan dan bahkan sepotong katapun. "Berbagai tuduhan bahkan vonis telah dijatuhkan kepada saya sebelum adanya putusan dari Majelis Hakim," ujar Sambo.
Sambo mengatakan, selama 28 tahun bekerja sebagai aparat penegak hukum dan menangani berbagai perkara kejahatan termasuk pembunuhan, belum pernah menyaksikan tekanan yang begitu besar terhadap seorang terdakwa sebagaimana yang dialami hari ini.
"Saya nyaris kehilangan hak sebagai seorang terdakwa untuk mendapatkan pemeriksaan yang objektif, dianggap telah bersalah sejak awal pemeriksaan dan haruslah dihukum berat tanpa perlu mempertimbangkan alasan apapun dari saya sebagai terdakwa," ucap Sambo.
Sementara, dalam pembelaannya Sambo juga memohon kepada Majelis Hakim untuk berkenan memberikan keputusan yang adil.
"Selanjutnya melalui pembelaan ini, saya memohon kepada Majelis Hakim yang Mulia berkenan memberikan keputusan yang adil berdasarkan hukum dan penilaian yang objektif atas fakta dan bukti yang telah dihadirkan di persidangan ini.