Sukses

Kasus Libatkan Justice Collaborator, Pakar Sebut Vonis Richard Eliezer Jadi Acuan

Sejumlah pakar hukum mengapresiasi langkah hakim memberikan vonis 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Richard Eliezer yang berperan sebagai justice collaborator.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai seorang justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama memiliki risiko secara fisik seiring kemungkinan ancaman yang dihadapi. Dengan demikian, ia menilai, risiko tersebut harus dihargai.

Ia menilai, vonis terhadap terdakwa Richard Eliezer dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J menjadi tonggak sejarah untuk penegakan hukum terhadap justice collaborator.

"Justice collaborator itu ancaman fisik-nya seram. Para terdakwa lain pasti mengancam dia di luar (persidangan). Risiko itu yang harus dihargai,” ujar Abdul Fickar, dikutip dari Antara, Senin (20/2/2023).

Ia juga berharap vonis terhadap Richard Eliezer dapat menjadi contoh ke depan dalam kasus yang melibatkan justice collaborator.  "Hakim jangan takut lagi untuk memberikan kompensasi kepada justice collaborator. Putusan ini (vonis Richard Eliezer) menjadi preseden bagus ke depan yang mudah-mudahan juga bisa diikuti hakim-hakim yang lain,” ujar dia.

Abdul Fickar mengatakan, vonis tersebut juga akan membantu dalam pemberantasan kejahatan terutama kejahatan korupsi.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobodur Profesor Faisal Santiago menuturkan, vonis Richard Eliezer menjadi angin segar termasuk untuk kasus lain terutama narkotika dan korupsi.

“Saya pikir hukuman Bharada E menjadi angin segar, terutama untuk kasus-kasus lain, apalagi kasus narkotika dan tindak pidana korupsi,” ujar Faisal.

 

2 dari 3 halaman

Putusan Berani dari Hakim

Faisal menilai, putusan terhadap Richard Eliezer akan mendorong munculnya justice collaborator lain yang akan bantu penegak hukum untuk bongkar kasus besar. Hal ini terutama kasus yang memiliki tingkat kerumitan dan kesulitan tinggi seperti kejahatan kriminal yang terorganisir.

Selain itu, ada kemungkinan pelaku yang dapat ditangkap akan bekerja sama dengan apparat penegak hukum untuk ungkap pelaku utama atau the big fish.

“Karena kalau sudah di persidangan, itu sendiri-sendiri memikirkan bagaimana supaya hukumannya menjadi ringan. Tentu menjadi ringan itu tidak sembarangan, harus ada sesuatu yang menguntungkan dan bisa membongkar perkara yang sedang dihadapi,” kata Faisal.

Faisal juga menilai, vonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara kepada Richard Eliezer sebagai justice collaborator merupakan putusan sangat berani bagi hakim. “Karena memutuskan jauh di bawah tuntutan dari kejaksaan,” ujar dia.

3 dari 3 halaman

Sidang Kode Etik Jadi Penentu Masa Depan Richard Eliezer di Polri

Sebelumnya, usai putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan terhadap Richard Eliezer, kini ramai diperbincangkan apakah Bharada E bisa kembali menjadi anggota Polri.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan rekomendasi menjadi anggota Polri untuk Richard Eliezer bisa dilakukan saat sidang Kode Etik Profesi Polri atau KEPP.

"Kita minta sidang Komisi Etik Profesi Polri atau KEPP nanti merekomendasikan agar Eliezer dipertahankan berdinas di kepolisian," katanya.

Edi juga menurutkan pandangannya bahwa alasan Richard Eliezer layak dipertahankan menjadi polisi, yaitu vonis yang diterima Eliezer atas kasus pembunuhan Brigadir J di bawah dua tahun.

Pertimbangan lain adalah anggota Brimob ini sangat berani dan jujur mengungkapkan kebenaran walau memiliki risiko sangat tinggi.

"Walau Eliezer seorang polisi pangkat paling rendah, tapi dia berani menghadapi jenderal atasannya yang melanggar hukum," kata Edi seperti dikutip dari Antara, Senin, (20/2/2023).

Menurutnya, semua yang dilakukan Richard Eliezer agar terbongkar kejahatan Ferdy Sambo.

Sementara Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, putusan karier Richard tergantung kepada sidang kode etik yang akan berlangsung.

"Itu tergantung pada hakim sidang kode etik. Berbagai pertimbangan dan masukan pasti jadi referensi," kata Dedi di GBK, Jakarta Pusat, Minggu (19/2/2023).

Meskipun demikian, Dedi belum mengetahui kapan sidang kode etik tersebut akan dilaksanakan.

"Nunggu jadwal sidang. Mudah-mudahan minggu ini ada kabar dari Kadiv Propam," tambahnya.