Liputan6.com, Jakarta - Israfil (18) masih mengingat betapa mengerikannya gempa magnitudo 7,7 yang mengguncang Turki pada Senin, 6 Februari 2023 dini hari waktu setempat. Dia dan keluarganya berhasil menyelamatkan diri dan keluar rumah karena khawatir apartemen yang dihuninya roboh.
"Dua hari kami di luar kedinginan dan salju, karena belum ada tenda untuk tinggal," ujar Israfil mengawali kisahnya di sebuah kantin di Taman Ataturk, Karahmanmaras, Selasa (21/3/2023).
Baca Juga
Provinsi Karahmanmaras adalah salah satu daerah terdampak gempa cukup parah di Turki. Untuk menuju provinsi sini diperlukan waktu tempuh 12-13 jam bila menggunakan bus kota dari Istanbul dan 1,5 jam bila menggunakan penerbangan domestik dari Bandara Sabiha Gokcen, Istanbul.
Advertisement
Saya berada di Karahmanmaras bersama relawan kemanusiaan Bulan Sabit Merah Indonesia atau BSMI, yaitu Muhamad Rudi (Sekjen) dan Hafidz Muftisany (Humas), serta Muhamad Dilvan Hadir seorang mahasiwa di Universitas Karabuk, yang membantu menerjemahkan setiap percakapan kami dengan warga Turki.
Israfil mengisahkan getirnya suasana pascagempa. Dia harus berlari ke sana ke mari di tengah cuaca dingin hanya menggunakan sandal dan pakaian hangat seadanya. Suhu Kahramanmaras di malam hari mencapai minus 5-6 derajat Celsius dan siang mencapai 5 derajat Celsius. Kepanikan dan mobilitas tinggi saat pascagempa pertama membuat suhu dingin tidak terasa. Kahramanmaras adalah kota yang dikelilingi perbukitan dan gunung-gunung.
Beberapa jam setelah lindu mengoyang kotanya, dia berupaya mencari barang-barang yang dapat digunakan untuk bertahan didinginya suhu. Beruntung saat dia bisa mengambil beberapa barang kebutuhan selama bertahan di pengungsian karena rumah yang ditempatinya roboh total.
"Saya hampir saja tertimbun, tapi Tuhan berkehendak lain," ujar Israfil yang saat itu bersama temannya yang juga mengungsi di Taman Ataturk, yakni Onur (17) dan Serkan (17).
Tidak mudah untuk berbincang dengan para pengungsi untuk menceritakan bencana besar yang menimpa mereka Senin dini hari lalu. Sesekali kami selingi dengan candaan yang membuat kami tertawa dan menjadi pusat perhatian seisi kantin. Bak kisah sinetron, mereka bermimpi salah satu di antara mereka dapat memacari gadis tajir yang memiliki rumah tapak dan mobil lima, serta ibunya mau juga dipacari salah seorang dari mereka, sehingga pertemanan mereka tidak putus.
Serkan, teman Istafil dan Onur, terkena reruntuhan rumah yang mengakibatkan jari telunjuknya robek dan bengkak. Seluruh keluarga remaja ini selamat dari gempa besar 16 hari lalu. Kediaman Serkan dan Onur terdampak gempa. Namun, menurut mereka tidaklah parah. Meski demikian, mereka tetap diminta pindah oleh pemerintah setempat.
Teh dan Kehangatan Para Pengungsi
Waktu berbincang dengan Israfil cs selesai. Saya pun berjalan ke tenda pengungsian tempat kami menginap. Jaraknya sekitar 100 meter. Tapi tidak mudah mencari lokasi tenda kami yang dinomori 418 ini karena begitu banyaknya tenda dan kelok gang. Saya pun sempat tersasar karena gagal menemukan tenda.
Di tengah perjalanan saya berpapasan dengan seorang pengungsi. "Assalamualaikum," sapa saya sembari menempelkan telapak tangan kanan di dada kiri. "Waalaikumsalam," jawab pengungsi laki-laki yang mengenakan jaket hoodie kuning. "Come... Come... Come to my tent," dia ajak kami ke tendanya.
"Di dalam ada keluarga saya. Nama saya Abdul Karim," dia memperkenalkan dirinya pada kami.
Tenda terdiri dari tiga lapis, yakni teras, ruang utama, dan bilik. Di teras tenda terdapat tungku pemanas yang juga digunakan sebagai pemanas teh.
"Saya ambil gelas dulu," katanya dalam bahasa Turki. Kami duduk di teras tenda dengan penerangan lampu handphone. Karim menuangkan teh ke gelas kecil khas Turki.
Pembicaraan kami tidak berat-berat. Kami hanya memperkenalkan diri dan dari mana kami berasal. "Indonesia?" ujarnya.
Dia tidak tahu banyak soal Indonesia. Dia hanya mengetahui orang-orang berparas seperti kami adalah dari Jepang, Thailand, Malaysia atau Filiphina. Kami lalu menjelaskan singkat soal negara kami dengan keindahan alam dan beragam makanan khasnya. Diapun menganggukan kepala pertanda mengerti pun tidak.
Karim berusia 26 tahun saat ini. Dia bukan warga Asli Karahmanmaras, Turki. Dia berasal dari Suriah, tepatnya Allepo. Konflik bersenjata yang membuatnya harus meninggalkan Suriah. Dia tidak banyak bercerita ketika saya mengorek bagaimana mengerikannya konflik bersenjata di Suriah. Dia hanya mengangkat kedua telapak tangannya ke atas, tersenyum, dan mengeryitkan dahinya. Namun, saat ini dia sudah menjadi warga negara Turki. Harapan baru dia bangun di negara yang dia tinggalkan saat ini.
Kurang lebih 30 menit kami berbincang. Dua gelas teh hangat khas Turki tandas dari gelas di hadapan kami. Kami pun berpamitan untuk kembali ke tenda. Karim pun mengantar kami ke tenda tempat kami beristirahat. Tidak hanya mengantar, dia pun membantu kami menyalakan gas pemanas ruangan (mirip gas 3 kg) dan mencarikan kayu untuk tungku pemanas.
"Umur tidak penting, yang penting itu bermanfaat untuk orang lain. Jadi jangan sungkan minta bantuan bila ada apa-apa," kata Karim sembari berpamitan.
Advertisement