Sukses

Dissenting Opinion, 1 Hakim Nilai Irfan dan Baiquni Harusnya Bebas di Kasus Brigadir J

Karena hanya satu hakim yang berbeda pendapat, maka terdakwa Irfan Widyanto tetap dijatuhi vonis hukuman pidana 10 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara Baiquni Wibowo divonis 1 tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan penjara dalam kasus obstruction of justice pembunuhan Brigadir J.

Liputan6.com, Jakarta - Sidang vonis terhadap terdakwa kasus obstruction of justrice penanganan perkara pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (24/2/2023) kemarin diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat hakim.

Salah satu hakim anggota menilai, terdakwa Irfan Widyanto dan terdakwa Baiquni Wibowo seharusnya dibebaskan dalam perkara obstruction of justice kasus Brigadir J. 

Adapun hal itu sebagaimana tertuang dalam perbedaan pendapat atau dissenting opinion atas vonis 10 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan yang telah dijatuhkan kepada terdakwa Irfan Widiyanto.

"Terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari hakim anggota satu Ari Muladi," ujar Ketua Majelis Hakim, Afrizal Hadi saat pembacaan sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (24/2).

Hakim Anggota Ari Muladi, kata Afrizal, berpendapat tindakan Irfan Widyanto yang mengambil dan mengganti DVR CCTV tidak memenuhi unsur dengan maksud melakukan perintangan penyidikan. Sehingga, dalam dissenting opinion itu hakim Ari meyakini Irfan seharusnya dilepaskan.

"Di mana hakim berpendapat terdakwa harus dibebaskan karena tidak terbukti memenuhi unsur-unsur dakwaan atau dilepaskan karena terbukti tapi bukan tindak pidana," ujar Afrizal.

Hal itu, karena Hakim Ari juga menilai peraih penghargaan Adhi Makayasa 2010 tersebut tidak memenuhi unsur sengaja maupun memiliki niat jahat ketika mengambil dan mengganti DVR CCTV untuk membuat terganggunya sistem elektronik.

"Hakim anggota satu berkesimpulan tidak ada niat jahat," ujar Afrizal.

Namun demikian, karena dua hakim yakni hakim Ketua Majelis Hakim Afrizal dan hakim Anggota M Ramdes tetap meyakini perbuatan Irfan turut melanggar hukum, maka vonis tetap dijatuhkan selama 10 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Irfan Widyanto oleh karena itu pidana penjara selama sepuluh bulan dan denda sejumlah Rp10 juta rupiah dan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa akan diganti dengan kurungan selama tiga bulan,” ujarnya.

Pertimbangan Vonis

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan ternyata turut memasukan prestasi Irfan Widyanto sebagai peraih Adhi Makayasa pada tahun 2010. Jadi hal meringankan dalam vonis 10 bulan penjara perkara obstruction of justice pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

"Hal yang meringankan, terdakwa telah mengabdi kepada negara dan pernah berprestasi sebagai penerima penghargaan Adhi Makayasa lulusan Akpol terbaik tahun 2010," ujar Ketua Majelis Hakim Afrizal Hadi saat sidang vonis di PN Jakarta Selatan, Jumat (24/2).

Diketahui bahwa Adhi Makayasa adalah penghargaan untuk lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) yang dinilai berprestasi dalam tiga aspek yakni akademis, jasmani dan kepribadian.

Selain itu, Hakim Afrizal juga memasukan beberapa hasil kinerja Irfan yang baik selama bertugas di kepolisian Irfan. Sehingga menjadi hal meringankan lain hingga masih memiliki tanggungan keluarga.

"Terdakwa dalam masa tugasnya tidak terdapat hal-hal yang bahwa terdakwa mempunyai kinerja yang bagus sehingga terdakwa dapat diharapkan mampu memperbaiki perilakunya dikemudian hari, dan dapat melanjutkan karirnya," tutur Hakim Afrizal.

"Terdakwa bersikap sopan dan terdakwa masih muda serta mempunyai tanggungan keluarga," imbuhnya.

Sementara hal memberatkan, Hakim menyebut seharusnya Irfan lebih memahami terkait tugas dan kewenangan dalam penyidikan dan tindakan terhadap barang-barang berkaitan dengan tindak pidana.

Hal itu karena mengingat Irfan sebagai salah satu penyidik aktif di Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri seharusnya menjadi contoh bagi penyidik lainnya.

"Namun terdakwa malah turut dalam perbuatan yang menyalahi hukum perundang-undangan yang menyebabkan sistem informasi tidak bekerja sebagaimana mestinya atau bertindak sesuai dengan ketentuan," tuturnya.

 

2 dari 2 halaman

Vonis Baiquni

Sementara itu, vonis 1 tahun dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan penjara majelis hakim PN Jaksel kepada terdakwa Baiquni Wibowo juga diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Baiquni dinilai tidak memiliki niat jahat ketika menyalin DVR CCTV ke dalam laptopnya.

Dissenting opinion disampaikan Hakim Anggota 1, Ari Muladi menyatakan, unsur dengan sengaja dalam dakwaan primair Pasal 33 UU ITE tidak terbukti. Karena, unsur dengan sengaja berlaku apabila Baiquni menghendaki akibat yang ditimbulkan terganggunya sistem elektronik.

"Bahwa keterangan Saksi Chuck Putranto, pada Selasa 12 juli 2022 sekira pukul 20.30 Wib. Terdakwa dihubungi Saksi Chuck Putranto merapat ke Komplek Polri Duren Tiga. Setelah bertemu Chuck meminta tolong dengan kata-kata 'Beg tolong lihat dan copy DVR CCTV'. Terdakwa menjawab 'Gak papa nih yakin'. (Kata Chuck) 'Yasudah saya sudah dimarahi, saya takut dimarahi lagi'," kata hakim saat bacakan dissenting opinion di PN Jakarta Selatan, Jumat (24/2).

Karena permintaan tersebut, esok harinya 13 Juli 2022 Baiquni menyalin file dan lalu menonton video rekaman tersebut bersama Chuck Putranto dan Arif Rahman Arifin. Dengan pada pokoknya menyaksikan rekaman Brigadir J masih hidup saat Ferdy Sambo datang ke rumah dinas.

Atas rekaman Brigadir J yang masih hidup, Arif Rahman kemudian menghadap ke Ferdy Sambo pada malam harinya. Lantas diperintah Ferdy Sambo untuk menghapus file rekaman CCTV dari laptop yang disampaikan kepada Baiquni

"Atas perintah Arif dari Ferdy Sambo tersebut, terdakwa menghapus dalam file dalam flashdisk dan laptop pribadi terdakwa. Namun terdakwa membuat backup rekaman cadangan untuk disimpan pribadi," beber hakim.

Sehingga, hakim Ari Muladi menyatakan mengacu dari keterangan ahli ITE menyalin rekaman DVR CCTV tidak menyebabkan rusaknya DVR CCTV. Maka tindakan Baiquni dianggap tidak memiliki niat jahat dan unsur dengan sengaja pun tidak terbukti.

"Bahwa oleh karena itu hakim anggota 1 berkesimpulan bahwa dalam diri terdakwa tidak ada niat jahat berupa terganggunya sistem elektronik dan atau sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya," sebutnya.

"Bahwa dengan demikian unsur dengan sengaja tidak terbukti dari perbuatan terdakwa," tambah dia.

Atas salah satu pendapat dissenting opinion tersebut, Hakim Ketua Afrizal Hady menjelaskan hal tersebut tidak turut membuat vonis hakim berubah. Sehingga vonis 1 tahun dan denda Rp10 juta subsider 3 bulan penjara tetap dijatuhkan kepada Baiquni.

"Menimbang bahwa walaupun terdakwa dissenting opinion dalam musyawara majelis tidak menjadikan putusan dalam majelis menjadi berbeda atas putusan yang akan diputuskan majelis. Itu adalah pendapat dari hakim anggota 1," jelasnya.

Vonis 1 Tahun

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 1 tahun terhadap terdakwa Baiquni Wibowo dalam perkara obstruction of justice pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Baiquni Wibowo oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim, Afrizal Hady saat sidang vonis di PN Jakarta Selatan, Jumat (24/2).

Selain vonis pokok, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Mantan Kasubbag Riksa Baggak Etika Wabprof pada Divisi Propam Polri sebesar Rp10 juta subsider 3 bulan penjara bila denda tidak dibayarkan.

"Dan pidana denda sebesar Rp10 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, diganti pidana kurungan selama 3 bulan," ucap Afrizal.

Adapun vonis kepada Baiquni dijatuhkan sesuai dakwaan primer Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

"Majelis hakim tidak menemukan alasan pembenar dan pemaaf. Maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas perbuatannya," sebut Hakim.

 

Reporter: Bachtiarudin alam

Merdeka.com