Liputan6.com, Jakarta - Polisi telah menetapkan Mario Dandy Satriyo (20) sebagai tersangka atas kasus dugaan penganiayaan terhadap David Latumahina (17). Penganiaan yang dilakukan Mario Dandy tersebut menjadi sorotan.
Peneliti Psikolog Forensik dan Dosen Fakultasi Psikologi Universitas Airlangga, Margaretha menuturkan, penganiayaan yang dilakukan termasuk kejahatan penggunaan kekerasan. Ia menilai, penganiayaan tersebut menunjukkan kemampuan yang lemah dalam menyelesaikan masalah sehingga memilih kekerasan sebagai jalannya. Padahal menurut dia, penyelesaian masalah dilakukan bisa dengan negosiasi, kompromi, diskusi dan bermusyawarah.
“Kekerasan bukan penyelesaian masalah. Ini lemah kemampuan menyelesaikan masalah. Orang sombong bila punya kemampuan menyelesaikan masalah tidak serta melakukan kekekerasan,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (26/2/2023).
Advertisement
Margaretha menilai, penganiayaan yang dilakukan itu menunjukkan tidak matang untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, ia menilai aksi penganiayaan tersebut juga didorong sikap impulsif tanpa memikirkan dampak jangka panjang akibat perbuatan yang dilakukan. Sifat impulsif ini menurut dia lebih menunjukkan karakter dan kepribadian yang dipengaruhi lingkungan dan faktor genetika.
“Orang-orang impulsif, sifatnya secara biologis. Orangtuanya impulsif, tetapi lingkungan teratur dan tidak impulsif, ia akan kecenderungan rasional. Jika seseorang tidak impulsif, tetapi lingkungan berganti-ganti, tidak menemukan aturan yang sesuai, kemungkinan besar juga (jadi impulsif-red), besar pengaruh lingkungan,” kata Margaretha.
Dengan berkaca kasus penganiayaan Mario Dandy ini, Margaretha mengatakan, pentingnya seseorang terutama anak muda dibantu didampingi untuk mempunya keterampilan bagaimana menyelesaikan masalah dengan tepat. Faktor sekolah, keluarga, pertemanan, komunitas dalam hal ini masyarakat, menurut Margaretha berperan penting.
“Syaraf di otak masih terus berkembang hingga usia 24 tahun. Oleh karena itu, anak muda ini dalam perkembangannya perlu didampingi figur yang matang agar menjadi role model baik untuk menyelesaikan masalah,” ujar dia.
Margaretha menuturkan, mungkin seseorang hanya menyelesaikan masalah dengan kekerasan melihat selama ini lingkungannya menampilkan cara yang instan, cara yang menunjukkan kekuatan sehingga mengeluarkan tindakan dengan amarah, cara yang mudah, cepat, keluarkan emosi tanpa berpikir dampak atas tindakannya.
Faktor Lingkungan Juga Berperan Penting Bentuk Karakter
Margaretha menilai, hal tersebut juga menunjukkan gambaran di masyarakat. Selama ini apa yang diperlihatkan melalui tontona hiburan drama, komunikasi politik dan lainnya, menurut Margaretha menunjukkan orang yang kuat dan menang.
Demikian juga barang-barang mewah yang ditunjukkan, menurut Margaretha seperti menunjukkan sesuatu yang keren dari seseorang. Hal-hal tersebut juga yang ditampilkan di media sosial. Margaretha melihat, selebritas yang menampilkan kekayaan dan kemewahan tersebut dapat diserap anak muda yang bukan menjadi inspirasi. “Faktor lingkungan membentuk perilaku,” kata dia.
Oleh karena itu, ia mengutip dari pepatah “it takes a village to raise a chid”. Pepatah ini artinya seluruh komunitas dan masyarakat harus menyediakan interaksi positif untuk anak sehingga anak dapat memiliki pengalaman dan tumbuh di lingkungan yang aman dan nyaman. Margaretha menuturkan, seluruh komunitas jadi mengingatkan anak agar memiliki nilai yang sesuai nilai yang tepat sehingga harus ada yang mengingatkan. Hal itu membuat agar anak berpikir mengenai apa yang dilakukanya berguna atau tidak.
“Bukan hanya orangtua tapi seluruh komunitas. Guru, pendidik, masyarakat, termasuk pemerintah. Jadi di sekolah bukan hanya hafalan di kelas, tapi ada fase bermain, kerja kelompok, bernegosiasi, kompromi, musyawarah,” kata dia.
Selain itu, orangtua juga harus menjadi contoh buat sang anak. Ia menilai, orangtua harus memiliki sikap dan ucapan yang sesuai dilakukan dengan permintaan yang diberikan kepada sang anak.
Advertisement
Mario Dandy Anak Pejabat Pajak Dijerat UU Perlindungan Anak
Sebelumnya, polisi menetapkan Mario Dandy Satriyo (20), anak pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu sebagai tersangka atas kasus penganiayaan terhadap David (17), putra dari salah satu pengurus pusat GP Anshor.
Terkait kasus ini Mario dijerat dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak.
"Tersangka MDS kami terapkan atau kami sangkakan padanya Pasal 76c juncto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," ujar Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan, Kamis (22/2/2023).
Ade menerangkan, ancaman hukuman Pasal 76c junto pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. "Ancaman pidana maksimal 5 tahun," kata dia.
Disamping itu, Mario Dandy Satriyo juga dijerat Pasal 351 ayat 2 tentang penganiayaan berat. Ade Ary turut menyebut, ancaman hukuman pada pasal tersebut
"Ancaman pidana maksimal 5 tahun," ujar dia.
Bunyi Pasal 351 KUHP
Bunyi Pasal 76 huruf C:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Bunyi Pasal 80:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Sementara bunyi pasal 351 KUHP Ayat 2:
Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Advertisement