Sukses

Soroti RUU Omnibus Law Kesehatan, Inilah Kekhawatiran APINDO

APINDO menyoroti Omnibus Law Kesehatan yang sudah diketok DPR RI pada tanggal 14 Februari 2023 lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan pendekatan metode Omnibus Law yang sudah diketok DPR RI pada tanggal 14 Februari 2023 lalu.

APINDO mencermati substansi RUU Kesehatan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur pelayanan kesehatan pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Pasal 423 RUU tersebut menyebutkan bahwa RUU Kesehatan mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru yang diatur dalam UU SJSN Nomor 40/2004, dan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Nomor 24/2011 yang dijabarkan dalam pasal 424 dan 425.

2 dari 4 halaman

Kekhawatiran APINDO

APINDO memiliki kekhawatiran bahwa pelayanan kesehatan bagi pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan terancam kualitas pelayanannya.

"APINDO mengkhawatirkan bahwa pelayanan kesehatan bagi pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan terancam kualitas pelayanannya akibat sejumlah pengaturan dalam RUU," kata Ketua Umum APINDO Hariyadi Sukamdani dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (1/3/2023).

Hal tersebut mengingat BPJS Kesehatan akan diwajibkan untuk menerima kerja sama yang diajukan Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang telah memenuhi perizinan sesuai undang-undang yang berlaku.

Substansi pasal tersebut bertentangan dengan prinsip sukarela kerjasama BPJS Kesehatan dengan Faskes (pasal 23 UU SJSN) sehingga membatasi BPJS untuk melakukan seleksi atas Faskes yang memenuhi syarat pelayanan.

"Akibatnya potensial terjadi Faskes tidak dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik bagi peserta karena terjebak dalam birokrasi pemerintahan," ujar Hariyadi Sukamdani.

3 dari 4 halaman

Biaya Penyelenggaraan Meningkat

APINDO juga melihat bahwa biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan potensial meningkat.

"Dunia usaha juga melihat biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan potensial meningkat yang dapat berujung pada kenaikan iuran peserta yang akan membebani pekerja dan pemberi kerja," kata Hariyadi Sukamdani.

Hal itu disebabkan karena tugas BPJS Kesehatan yang pada dasarnya untuk pelayanan yang bersifat promotif, kuratif, dan rehabilitatif harus juga melaksanakan penugasan-penugasan lainnya dari Kementerian yang membidangi Kesehatan, sementara dalam UU BPJS (pasal 13 UU BPJS) tidak terdapat pengaturan tersebut. 

"Penugasan dari Kementrian yang bukan merupakan tugas BPJS Kesehatan potensial membebani Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS," kata Hariyadi Sukamdani.

DJS merupakan milik peserta dapat tergerus untuk melaksanakan tugas tugas Kementerian yang semestinya dibiayai dari sumber APBN. Akibatnya, peserta yang harus menanggung biaya tugas tersebut melalui iuran yang dibayarkannya. 

4 dari 4 halaman

Ancam Kemandirian Peserta

APINDO juga melihat bahwa tata kelola BPJS yang diubah dalam RUU Kesehatan dapat mengancam kemandirian BPJS yang berpotensi pada tidak efektifnya kerja BPJS Kesehatan.

Selain itu, APINDO menyinggung terkait dengan berkurangnya keterlibatan masyarakat dalam bentuk keterwakilan unsur yang akan menjadikan BPJS kurang independen. 

APINDO juga menyoroti terkait dengan ketentuan yang mengatur bahwa BPJS tidak bisa menghentikan kepesertaan tanpa kekuatan hukum yang bersifat tetap dan atas permintaan peserta juga akan menyebabkan ketidakpastian.

"APINDO berharap agar klaster Jaminan Sosial yang dikeluarkan dari RUU tersebut agar lebih dapat menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada pekerja atau peserta dan tidak menyebabkan beban biaya tambahan bagi pekerja dan pemberi kerja," ujar Hariyadi Sukamdani.

 

(*) 

 

Video Terkini