Liputan6.com, Jakarta - Literasi tak hanya mencakup mengenai minat baca. Namun juga mencakup kemampuan untuk menangkap dan mencerna informasi. Hal tersebut disampaikan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Arys Hilman Nugraha kepada Liputan6.com.
"Sehingga kita bisa mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan kemudian itu memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas hidup kita. Itu adalah literasi," kata Arys.
Baca Juga
Dia mengakui, tingkat literasi di Indonesia sangat rendah berdasarkan hasil dari berbagai survei internasional dan nasional. Survei yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain, menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara terkait minat baca.
Advertisement
Menurut Arys, salah satu indeks literasi adalah kemampuan membaca atau dalam arti lain melek huruf. Sedangkan di Indonesia tidak memiliki persoalan mengenai kemampuan membaca.
"Sekitar 96 persen masyarakat Indonesia itu bisa membaca. Demikian juga bahwa kita memiliki perpustakaan yang sangat banyak di sekolah, di perguruan tinggi, maupun perpustakaan umum. Jadi seharusnya akses terhadap bahan bacaan juga bagus. Padahal akses terhadap bahan bacaan adalah salah satu yang meningkatkan indeks literasi," papar dia.
Arys melanjutkan, persoalan yang dihadapi Indonesia adalah kebiasaan membaca masyarakat yang masih rendah. Karena itu, kata dia terdapat beberapa hal yang harus dilanjutkan setelah masyarakat melek huruf.
Salah satunya yaitu adanya akses terhadap bahan bacaan. Contohnya yakni adanya bacaan yang menarik orang untuk datang ke perpustakaan.
"Tentu kita juga harus meningkatkan alternatif-alternatif informasi agar masyarakat bisa mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi. Indeks literasi yang rendah ini berbahaya karena sudah dibuktikan oleh berbagai survey. Indeks literasi yang rendah itu juga berhubungan dengan kemampuan untuk membedakan fakta dan opini. Jadi tidak heran, tidak heran ya kalau misalkan pada saat ini begitu mudah masyarakat kita oleh oleh hoaks," ujarnya.
Mendikbudristek Sebut Rendahnya Membaca Kurang Tersedia Buku Bacaan
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar Episode Ke-23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia. Kebijakan ini hadir untuk melengkapi berbagai program penguatan literasi yang selama ini telah berjalan.
Merdeka Belajar Episode Ke-23 berfokus pada pengiriman buku bacaan bermutu untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) yang disertai dengan pelatihan untuk guru.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa terobosan Merdeka Belajar Episode ke-23 diluncurkan untuk menjawab tantangan rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia akibat rendahnya kebiasaan membaca sejak dini.
“Penyebab rendahnya kebiasaan membaca adalah masih kurang atau belum tersedianya buku bacaan yang menarik minat peserta didik,” ujar Mendikbudristek di Jakarta (27/2/2023).
Kata Nadiem, program pengiriman buku ke sekolah bukanlah kebijakan yang baru dilakukan. Namun pihaknya mengaku menghadirkan terobosan untuk sejumlah hal. Mulai dari jumlah eksemplar, judul buku, jenis buku yang dikirimkan, pendekatan dalam pendistribusian, hingga pemilihan sekolah penerima.
Tahun 2022, Kemendikbudristek menyediakan lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu disertai pelatihan dan pendampingan untuk lebih dari 20 ribu PAUD dan SD yang paling membutuhkan di Indonesia.
“Ini adalah program pengiriman buku dengan jumlah buku dan jumlah penerima yang terbesar sepanjang sejarah Kemendikbudristek. Dan yang paling penting adalah bagaimana kami saat ini menyediakan pelatihan dan pendampingan untuk membantu sekolah memanfaatkan buku-buku yang diterima,” tuturnya.
Dengan pelatihan yang diberikan, Nadiem berharap guru-guru dan pustakawan sekolah bisa benar-benar memahami kegunaan dan kebermanfaatan buku yang diterima, sehingga tidak akan ada buku yang menumpuk di perpustakaan karena tidak dimanfaatkan.
Advertisement