Liputan6.com, Jakarta - Publik tengah heboh soal angka Rp300 triliun yang diduga sebagai transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hal ini berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan, bahwa angka Rp300 triliun adalah temuan transaksi mencurigakan yang disampaikan PPATK dari tahun 2009 hingga 2023 dengan total 647 orang di Kemenkeu.
Baca Juga
Mahfud Md menegaskan, transaksi di lingkungan Kemenkeu ini bukanlah merupakan korupsi yang didefinisikan mengambil uang negara.
Advertisement
“Jadi tidak benar kalau isu berkembang di Kemenkeu ada korupsi Rp 300 T, bukan korupsi!,” kata Mahfud Md saat jumpa pers di kantornya di Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Meski bukan berupa korupsi, Mahfud menduga hal itu berasal dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang jumlahnya lebih besar dari tindakan korupsi itu sendiri.
“Memang tidak ngambil uang negara, bukan ambil uang pajak, mungkin juga ambil uang pajaknya tapi sedikit. Namun pencucian uang itu lebih besar dari korupsi,” urai Mahfud.
Mahfud lalu menjelaskan, bagaimana tindak pidana pencucian uang bisa lebih besar nilainya dari korupsi. Contoh, seorang pelanggar melakukan tindak gratifikasi Rp 10 miliar namun setelah uang itu dicuci maka efeknya bisa berkali lipat.
“Korupsinya itu sedikit, mungkin Rp 10 M atau berapa gitu tetapi pencucian uangnya yang banyak misal dia terima Rp 10 M tapi di dalam ilmu intelijen keuangan di belakang dia anaknya punya rekening berapa? perusahaan berapa? uangnya dari mana? istrinya kekayaan apa? kok sampai punya 6 perusahaan dan macam-macam,” ucap Mahfud menjelaskan.
Rafael Alun Trisambodo dipecat sebagai ASN Direktorat Pajak, Kemenkeu, karena terbukti melakukan pelanggaran disiplin berat. Sementara itu Menkopolhukam yang juga Ketua Tim Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang, mengungkap temuan mengejutkan dana...
Negara Berhak Curiga, Penegak Hukum Bisa Turun Tangan
Mahfud melanjutkan, dengan adanya indikasi kejanggalan dari seorang penyelenggara negara, contoh dalam kasus Rafael Alun yang berpangkat eselon tiga namun harta kekayaannya mencapai Rp56 miliar, maka negara berhak curiga.
Ketika negara curiga, Mahfud menegaskan, PPATK bisa menelusuri hal itu dan menyampaikannya kepada aparat penegak hukum (APH) seperti KPK, Kejaksaan dan Polri.
“Laporan ke KPK melalui LHKPN Rp 56 M mengagetkan kita, karena hanya eselon 3 dan saya tanya ke PPATK itu benar? Lalu dibuka ada surat 2013 yang ditemukan indikasi yang bersangkutan melakukan pencucian uang dan sesudah itu diteliti lagi ternyata jadi Rp 500 M,” ungkap Mahfud.
“Jadi saya tadi berpikir kalau misal ada permintaan ke kementerian untuk diselidiki TPPU, saya harus kasih itu ke APH, KPK, Kejaksaan dan Polri,” Mahfud menandasi.
Advertisement