Sukses

Usut Kasus Korupsi E-KTP Jerat Paulus Tannos, KPK Bakal Periksa Kepala Kantor Pertanahan Bekasi

Paulus Tannos merupakan salah satu buronan KPK yang masih menghirup udara bebas. Dia merupakan tersangka kasus megakorupsi e-KTP yang tinggal di Singapura. Paulus Tannos diduga turut terlibat dalam bancakan proyek senilai Rp 5,9 triliun.

Liputan6.com, Jakarta Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memburu para buronan kasus korupsi hingga saat ini terus digencarkan. Ada tiga orang yang dilaporkan kini masih tersisa. Selain Harun Masiku, satu di antaranya adalah Dirut PT Shandipala Arthaputra Paulus Tannos (PST) Paulus Tannos atas dugaan korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik alias e-KTP) .

Dalam mengusut kasus ini tim penyidik menjadwalkan memeriksa Kepala Kantor Pertanahan Kota Bekasi Amir Sofwan dan Notaris PPAT Petrus Suandi Halim.

"Pemeriksaan dilakukan di Kantor KPK RI, Jalan Kuningan Persada Kavling 4, Setiabudi, Jakarta Selatan," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (13/3/2023).

Paulus Tannos merupakan salah satu buronan KPK yang masih menghirup udara bebas. Dia merupakan tersangka kasus megakorupsi e-KTP yang tinggal di Singapura. Paulus Tannos diduga turut terlibat dalam bancakan proyek senilai Rp 5,9 triliun. Dalam perkara ini negara merugi Rp 2,3 triliun.

Paulus Tannos dijadikan tersangka oleh KPK pada Agustus 2019. Lantaran Tanos tinggal di Singapura, KPK sempat kesulitan dalam memeriksa Tanos.

Tak hanya itu, KPK sempat membeberkan kesulitan menemukan Paulus Tannos. Diduga Paulus Tannos mengubah identitasnya. Dirinya bahkan sempat pula terdeteksi berada di Thailand.

 

2 dari 3 halaman

KPK: Paulus Tannos Ubah Paspor di Luar Negeri

Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan Paulus Tannos mengubah paspornya di luar negeri. Namun, Ali tak menjelaskan secara rinci negara mana yang mengeluarkan paspor kepada Paulus Tannos.

"Ya betul, tentu ada paspor yang berubah dari negara lain. Tentu kami tidak bisa sebutkan saat ini, ya, negara mana yang kemudian menerbitkan paspor dari tersangka KPK yang saat ini DPO," ujar Ali di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 8 Februari 2023. 

Meski identitasnya diubah, Ali menyatakan pihaknya tetap melakukan pengejaran terhadap Paulus Tannos dan buronan lainnya. Setidaknya saat ini, ada empat DPO yang masih dalam pengejaran KPK.

"Upaya-upaya pengejaran itu kan ada dinamika, dan itu menjadi evaluasi ke depan tentunya ketika melakukan pengejaran terhadap para DPO KPK khususnya," kata Ali.

Terakhir kali KPK menetapkan empat tersangka baru kasus korupsi proyek e-KTP. Penetapan tersangka terhadap keempat orang ini dilakukan pada Agustus 2019.

Para tersangka e-KTP tersebut adalah mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Husni Fahmi, dan Dirut PT Shandipala Arthaputra Paulus Tanos.

Keempatnya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

 

3 dari 3 halaman

Terbukti Korupsi E-KTP, 7 Orang Dinyatakan Bersalah

Sebelumnya, KPK lebih dahulu menjerat tujuh orang dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Ketujuh orang tersebut sudah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi atas proyek senilai Rp 5,9 triliun.

Mereka adalah dua mantan pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto yang masing-masing divonis 15 tahun penjara, mantan Ketua DPR RI Setya Novanto juga divonis 15 tahun penjara, pengusaha Andi Narogong 13 tahun penjara, dan Anang Sugiana Sudihardjo seberat 6 tahun penjara.

Sedangkan Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Massagung masing-masing 10 tahun penjara. Sementara itu, politikus Partai Golkar Markus Nari divonis 8 tahun penjara dalam tingkat kasasi.

Namun dalam perjalannya, MA menyunat vonis Irman dan Sugiharto. Hukuman Irman dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun. Sementara, Sugiharto dari 15 tahun menjadi 10 tahun.