Sukses

Merasa Ada Gangguan Kesehatan Mental? Jangan Diagnosis Diri Sendiri

Meskipun banyak informasi mengenai kesehatan mental di internet, masyarakat dianjurkan untuk mendatangi profesional ketika merasa ada permasalahan kesehatan mental.

Liputan6.com, Jakarta - Informasi mengenai gangguan kesehatan mental kini kian mudah didapatkan seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman. Informasi tersebut mudah ditemukan dengan mengetik kata kunci ditulis di internet. Berbagai artikel hingga video tentang kesehatan mental akan segera tersaji di layar.

Tak sedikit masyarakat yang langsung mendatangi pihak profesional karena adanya gangguan kesehatan mental. Namun, ada pula masyarakat yang mendiagnosis diri sendiri tanpa mengecek langsung kepada profesional.

Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo menyatakan fenomena mendiagnosis diri sendiri itu biasanya hanya berdasarkan sumber dari internet saja. Sebab terdapat sejumlah sumber yang menjabarkan secara garis besar mengenai hal-hal berkaitan dengan gangguan kesehatan mental.

"Jadi dengan adanya lebih banyak referensi, memang mengundang orang untuk membaca terus membandingkan, mulai mungkin pertamanya membandingkan dengan orang lain dulu, terus ke diri sendiri. Jadi memang muncul kecenderungan sekarang mendiagnosa diri sendiri atau self diagnosis," kata Vera kepada Liputan6.com.

Vera menyebut bahaya dari self diagnosis yaitu kesalahan diagnosis dari gangguan kesehatan mental yang dialami. Sebab diagnosa hanya dapat dilakukan oleh ahlinya, yaitu psikolog hingga psikiater. Proses untuk penegakan diagnosa juga membutuhkan waktu dan metode tersendiri.

"Butuh observasi dulu, butuh wawancara, butuh berikan beberapa tes. Dan itu ada jeda waktunya kita lihat dulu ya berapa lama, ini muncul lagi apa enggak, dan sebagainya. Jadi, butuh proses tidak semudah itu. Kalau mendiagnosa dari satu kali baca ternyata saya misalnya bipolar, oh saya OCD, enggak semudah itu," paparnya.

Vera menegaskan artikel atau bahkan video di internet bukanlah patokan untuk dapat mendiagnosa diri sendiri. Karena hal itu, dia meminta masyarakat untuk melakukan konsultasi dengan ahlinya ketika merasa ada gangguan kesehatan mental. 

Sebab perawatan atau treatment yang diterima setiap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental akan berbeda-beda. "Jadi bawa ini konsultasikan ke ahlinya untuk memastikan apakah benar saya seperti ini. Contoh misalnya kemarin ramai-ramai orang bilang depresi, terus dateng ke psikolog, ditanya, dicek, dikonfirmasi apakah mengalami ini, mengalami ini, mengalami ini, ternyata enggak. Ya bukan depresi dong namanya. Jadi memang belum tentu seperti yang dibaca itu diagnosanya," ujar Vera.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Depresi Melibatkan Gejala Emosional dan Fisik

Ada banyak mitos yang beredar seputar depresi. Bila mitos seputar depresi dianggap kebenaran maka bisa berimbas buruk. Misalnya bisa membuat seseorang memutuskan untuk tidak mencari bantuan profesional atau melakukan self diagnosis tanpa bantuan pakar. 

Beberapa orang mendiskreditkan depresi sebagai pilihan yang sengaja dibuat oleh seseorang dan menyebutnya bukan suatu kondisi nyata. Orang-orang melihat depresi sebagai ajang mengasihani diri sendiri, dibanding memandang sebagai sebuah kondisi kesehatan mental yang dapat diobati.

Faktanya, depresi merupakan suatu kondisi yang melibatkan gejala emosional dan fisik. Hal ini dinyatakan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) edisi kelima.

Seseorang harus memenuhi syarat dan melalui berbagai tahapan observasi oleh tenaga profesional untuk mendapatkan diagnosis kondisi kesehatan mental tertentu, dalam hal ini depresi. 

3 dari 3 halaman

Tidak Semua Jenis Gangguan Kesehatan Mental Butuh Obat

Faktanya, menurut peneliti buku Antidepressant, Zachary M Sheffler, tidak semua jenis kesehatan mental atau depresi membutuhkan antidepresan sebagai obat.

Penggunaan antidepresan juga menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dari pasien tersebut. Ada yang mengonsumsi selama 6 bulan, atau bahkan lebih. Namun, sangat jarang dokter yang meresepkan antidepresan untuk dikonsumsi seumur hidup oleh pasien.

Penghentian dan pengurangan dosis antidepresan ini juga tidak bisa secara mendadak. Ada tahapan dan proses tertentu untuk mengurangi penggunaan obat tersebut sampai kondisi pasien sudah membaik.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.