Liputan6.com, Jakarta - DPR RI menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Keputusan Perppu Cipta Kerja disetujui menjadi undang-undang tersebut diambil dalam rapat paripurna DPR, Selasa (21/3/2023).
Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan tujuh fraksi yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PAN, dan PPP setuju Perppu Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Sementara Demokrat dan PKS menolak.
"Dua fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menyatakan belum menerima hasil kerja Panja dan menolak RUU tentang penetapan Perppu Cipta Kerja dilanjutkan dalam tahap pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR RI," ujar Puan.
Advertisement
Sebelum pengesahan, PKS menyatakan walk out dari paripurna lantaran menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja.
"Selanjutnya kami akan menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang undang?" tanya Puan.
"Setuju," jawab anggota Dewan.
Badan Legislasi DPR RI sebelumnya telah menyetujui untuk membawa Perppu Cipta Kerja ke rapat paripurna agar selanjutnya dapat disahkan menjadi undang-undang.
Tolak Perppu Cipta Kerja Jadi UU, Buruh Cemas Muncul Upah Murah dan Outsourcing
Buruh mengecam keras dan menolak sikap Badan Legislatif DPR RI yang setuju membawa Perppu Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang di dalam Sidang Paripurna. Sikap DPR itu dinilai bertentangan dengan keinginan masyarakat luas, termasuk di dalamnya kelas pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut, ada 9 poin yang disorot oleh kaum buruh terhadap isi Perppu Cipta Kerja. Pertama, terkait dengan upah minimum.
"Perppu kembali kepada upah murah dan tidak lazim. Di situ dikatakan upah minimum kabupaten/kota dapat ditetapkan oleh Gubernur. Kata dapat mengandung arti bisa ditetapkan, bisa juga tidak. Sehingga di sini tidak ada kepastian terhadap UMK," ujarnya, Kamis (16/2/2023).
Menurut dia, indeks tertentu di dalam pasal upah minimum tidak dikenal dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILOm. Yang dikenal adalah, upah minimum kenaikannya didasarkan pada living cost. Kedua, berdasarkan makro ekonomi, dalam hal ini inflansi, dan pertumbuhan ekonomi.
"Hal lain yang ditentang dari upah minimum adalah hilangnya Upah Minimum Sektoral (UMS) dan adanya pasal yang menganulir pasal sebelumnya, yaitu formula kenaikan upah minimum bisa berubah sesuai keadaan ekonomi," ungkap dia.
Kedua, mengenai outsourcing, di mana Iqbal Perppu Cipta Kerja menyebutkan jenis pekerjaan yang diperbolehkan outsourcing akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah. Ia mengklaim pemerintah telah melegalkan perbudakan modern, sekaligus menempatkan negara seperti agen outsourcing.
"Yang boleh menentukan jenis pekerjaan mana yang bisa di-outsourcing dan mana yang tidak boleh adalah pemerintah. Itu artinya, Negara menempatkan dirinya sebagai agen outsourcing. Seharusnya pembatasan outsourcing dilakukan melalui undang-undang," keluhnya.
Â
Advertisement