Sukses

HEADLINE: Rapat Panas Menko Mahfud Md dengan Komisi III DPR, Berujung Pansus?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023). Rapat selama delapan jam itu berlangsung panas.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023). Rapat selama delapan jam itu berlangsung panas.

Anggota Komisi III DPR RI, Didik Mukrianto, menjelaskan, RDPU kemarin diharapkan bisa memberikan kejelasan dan memupus segala bentuk kesimpangsiuran informasi terkait dengan transaksi keuangan mencurigakan Rp349 triliun di lingkungan Kementrian Keuangan.

"Sayangnya Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) kemarin tidak hadir, sehingga klarifikasi, konfirmasi, validasi serta keterangan seputar temuan tersebut tidak kita tuntaskan. Justru sebaliknya, dari paparan yang disampaikan Pak Mahfud ada perbedaan dengan yang disampaikan Menkeu saat RDP dengan Komisi XI. Pak Mahfud menyebutnya, paparan yang disampaikan Menkeu di Komisi XI tidak sesuai fakta," kata Didik kepada Liputan6.com, Kamis (30/3/2023).

"Meskipun Pak Mahfud sudah membeberkan standing transaksi keuangan mencurigakan di lingkungan Kemenkeu dengan terang, tapi kami masih belum juga bisa meyakini kebenaran keterangan mana yang bisa kami pedomani," tambahnya.

Untuk itu, kata Didik, agar bisa mendapat informasi yang benar, Komisi III berencana mengagendakan RDPU kembali dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dengan memastikan kehadiran Mahfud MD, Ivan Yustiavandana (Kepala PPATK), dan Sri Mulyani.

"Saat ini kami sedang berkomunikasi dan mengatur waktu yang tepat. Segera setelah bisa disepakati waktunya, maka akan segera digelar RDPU kembali," tambahnya.

Usulan Pansus

Muncul wacana pembentukan panitia khusus atau pansus jika rapat dengar pendapat soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun dengan Menko Polhukam Mahfud Md tak menemui titik temu. Sejumlah Anggota DPR juga mengusulkan itu dalam RDPU. Namun, usulan ini ditentang fraksi PDIP.

Didik menjelaskan, Komisi III sedang fokus untuk mengejar kejelasan informasi. Jika informasinya sudah valid, maka akan bisa lebih firm lagi untuk mengambil langkah dan keputusan yang tepat.

"Namun, jika dari tindak lanjut atas temuan transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut berpotensi ada TPPU, dan pemberantasannya tidak dilakukan dengan semestinya, maka pengajuan hak kedewanan seperti Pansus Angket bisa kami lakukan," ucap Didik.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai usulan pembentukan pansus dalam mengungkapkan transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp349 triliun kurang tepat. Ia khawatir isu jadi dibawa ke politis.

"Pada dasarnya pansus oke saja, tapi ke mana arahnya? Bukannya jauh lebih penting kalau ini diserahkan ke aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti? Sebab, TPPU kan merupakan tindak pidana yang memiliki 26 jenis lebih tindak pidana asal menurut UU TPPU. Jadi, kenapa bukan ini saja yang ditindaklanjut?" kata Feri kepada Liputan6.com, Kamis (30/3/2023).

"Tidak fair kalau ini dibawa ke isu politis di DPR, lebih tepat bahwa ini ke aparat penegak hukum," tambahnya.

"Terkait perbedaan data, saya pikir sudah dijelaskan Prof Mahfud soal beda angka itu tentang tafsir melihat angka-angka. Jadi tidak terlalu signifikan. Kan sudah dijelaskan yang mana yang benar oleh Prof mahfud dan itu saja yang menjadi acuan dan dikonfirmasi oleh DPR ke Menkeu," tambahnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyampaikan fraksinya, NasDem, mengusulkan dibentuk pansus terkait TPPU Rp349 triliun.

"Walaupun tadi masih belum menemui kesepakatan, tapi kami terutama dari (Fraksi) NasDem, mengusulkan untuk dibentuk Pansus terkait kasus ini," kata Sahroni dalam keterangannya, Kamis (30/3/2023).

Sahroni menilai persoalan Rp349 triliun di Kemenkeu ini butuh penyelesaian cepat. Karena itu dia menyebut perlu dibentuk pansus.

"Sebab kita ingin kasus ini bisa mengalami percepatan penyelesaian," ucap Sahroni.

 

2 dari 4 halaman

Mahfud Bongkar Dugaan Pencucian Uang di Bea Cukai, Modus Impor Emas Batangan

Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengungkap dugaan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan dengan nilai total Rp349 triliun. Sebagian di antaranya diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Bahkan, menurut temuan Mahfud, ada transaksi janggal berupa manipulasi keterangan soal impor emas batangan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu. Nilainya mencapai Rp189 triliun, ini masih jadi bagian dari nilai total Rp349 triliun yang diungkap Mahfud.

Mahfud memulai cerita dengan menduga ada penutupan akses informasi yang seharusnya diterima Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ini berkaitan dengan adanya nilai transaksi sebesar Rp189 triliun.

Menurut Mahfud, yang dijelaskan oleh Sri Mulyani sebelumnya adalah mengacu pada data per 14 Maret 2023, setelah bertemu Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.

"Sehingga disebut yang terakhir itu, yang semula, ketika ditanya oleh bu Sri Mulyani, 'itu ini apa kok ada uang Rp189 (triliun)', itu pejabat tingginya yang eselon 1 (menjawab) 'Oh ndak ada bu di sini dak pernah ada, ini tahun 2020, ndak pernah ada'," tutr Mahfud MD mengisahkan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, ditulis Kamis (30/3/2023).

Namun, setelah diteliti, ternyata ada laporan dengan angka yang sesuai sebesar Rp189 triliun. Ini merupakan laporan dugaan TPPU di lingkup Ditjen Bea Cukai yang kata Mahfud melibatkan 15 entitas.

"Tapi apa laporannya, menjadi Pajak, sehingga kita diteliti, 'oh iya ini perushaaannya banyak hartanya banyak, pajaknya kurang.' Padahal ini Cukai laporannya ini. Apa itu? Emas," ungkap Mahfud.

Manipulasi

Temuan lainnya dikantongi Mahfud MD. Yakni soal manipulasi mengenai impor emas tadi. Menurut temuannya, dalam laporan cukai disebutkan emas mentah.

Padahal, yang diproses adalah emas batangan dengan nilai jauh lebih besar. Setelah ditelusuri, ada pengakuan dari oknum kalau pencetakan emas itu dilakukan di pabrik di Surabaya, yang kemudian tidak ditemukan buktinya.

"Impor emas, batangan yang mahal-mahal itu tapi di dalam cukainya itu dibilang emas mentah. Diperiksa, diselidiki dimana 'kamu kan emasnya sudah jadi kok bilangnya emas mentah?' 'Ndak, ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya,'. Dicari di Surabaya ndak ada pabriknya. Dan itu nyangkut uang miliaran saudara, ndak diperiksa," ungkapnya.

"Laporan itu diberikan tahun 2017, oleh PPATK bukan tahun 2020, 2017 diberikan tak pakai surat, tapi diserahkan oleh Ketua PPATK langsung kepada Kemenkeu yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu dan 2 orang lainnya, nih serahkan. Kenapa tak pakai surat? Karena ini sensitif, masalah besar," sambung Mahfud menjelaskan.

3 dari 4 halaman

Dibagi 3 Kelompok

Mahfud membeberkan duduk perkaran dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan. Bahkan dia membaginya menjadi 3 kelompok.

Masing-masing kelompoknya memiliki nilai transaksi mencurigakan yang melibatkan entitas di Kemenkeu. Mulai dari Rp35 triliun, hingga Rp200-an triliun, maka jika ditotal akan berjumlah Rp349 triliun.

"Nih, transaksi keuangan yang Rp349 triliun itu dibagi ke 3 kelompok. Satu, transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu, kemarin bu Sri Mulyani di Komisi XI (DPR RI) menyebut hanya Rp3 triliun, yang benar Rp35 triliun," bebernya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI.

Kedua, ada transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dengan nilai sekitar Rp53 triliun. Ketiga, transaksi keuangan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan tindak pencucian uang yang belum diperoleh data sebesar Rp260-an triliun.

"Sehingga jumlahnya Rp349 triliun, fix. Nanti kita tunjukkan suratnya," sambung Mahfud.

Mahfud menerangkan, kalau keterangan lengkap mengenai laporan itu belum sampai ke tangan Sri Mulyani. Dia juga menduga ada kesengajaan menghalangi informasi ke Sri Mulyani yang dilakukan pejabat dibawa Kemenkeu.

"Nah ketika ditanya bu menteri, bu menterinya kaget, karena tak masuk suratnya. Karena yang menerima surat (laporan lengkap transaksi janggal) by hand itu, ya orang yang ada di situ, yang bilang 'bu ndak ada surat itu'. 'Loh kata PPATK ini ada suratnya'. Baru dijelaskan tapi beda."

Perbedaan

Perbedaan yang dimaksud Mahfud adanya soal substansi dari laporan yang termuat. Dalam salah satu surat yang disampaikannya, berbicara mengenai perkara di lingkup Ditjen Bea dan Cukai. Namun, diterjemahkan oleh tim Kemenkeu adalah perkara di lingkup perpajakan.

"Ini laporannya pencucian uang di bidang Bea Cukai, lalu yang dihitung pajak, ya sedikit dong jadinya (angka yang muncul). Berapa yang terlibat? Nih, yang terlibat di sini jumlah entitasnya 491 orang," ungkap Mahfud MD.

Dia mengatakan hal ini membuat adanya perbedaan angka yang dijelaskan oleh Menkeu dan menurut temuannya. Mahfud bilang, banyaknya entitas yang terlibat berdasar pada perkara yang ada.

Jika masuk dalam TPPU, maka bisa jadi entitas yang terlibat bisa lebih banyak, maka tidak heran kalau angka dugaan transaksinya pun menjadi lebih besar. Dengan demikian, dia mewajarkan ada perbedaan angka antara data yang disampaikan Menkeu dan dimiliki olehnya.

"Kalau saya ketangkap korupsi, nih istri saya, anak saya, ayah saya, apalagi perusahaan cangkang itu kan banyak itu entitasnya. Nah yang kasus Rp 189 triliun itu saudara adalah ya, itu untuk 15 entitas tapi hanya dikeluarkan (dibahas) 1 entitas, padahal di laporan kami 15, Ini ini ini, lalu diambil 1, 'ini sudaha selesai (urusan) pajak,' katanya," kata Mahfud menganalogikan.

"Kenapa (angkanya hanya) Rp200 (triliun). Betul Rp200 (triliun) yang sampai ke kemenkeu. Karena yang Rp 100 (triliun), disampaikan ke LHA lain tapi terkait dengan pajak dan bea cukai cuma langsung ke LHA. Jadi 300 yang terkait dengan itu dimana salahnya? Kan tinggal kita katakan, ini ada yang diserahkan ke kemenkeu sebagai penyidik ada yang langsung ke polisi, KPK, ke Kejagung dan macam-macam," pungkas Mahfud MD.

4 dari 4 halaman

Mahfud MD Sebut Menkeu Salah Baca Data PPATK, Sri Mulyani Pilih Bungkam

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD menyebut Menteri Keuangan Sri Mulyani salah membaca data analisis transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan yang dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Pernyataan Mahfud MD mengenai kesalahan Sri Mulyani ini keluar saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR pada Senin 27 Maret 2023 terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dalam rapat tersebut, Mahfud MD membawa sejumlah berkas yang menjadi bukti berita acara serah terima dokumen-dokumen temuan PPATK sejak tahun 2017. Surat yang dibawa Mahfud merupakan berita acara yang ditandatangani oleh Kepala PPATK yang menjabat dengan pejabat Kementerian Keuangan.

“Datanya Bu Sri Mulyani salah ya. Ini datanya nih, suratnya yang asli semua by hand yang ditandatangani,” kata Mahfud.

Mahfud pun membeberkan sejumlah nama yang menjadi saksi dalam penyerahan berkas tersebut, antara lain Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dan Wakil Kepala PPATK, Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae. Sementara itu, dari pihak Kementerian Keuangan yakni Irjen Kementerian Keuangan yang saat itu dijabat Sumiyati dan Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi.

“Ini yang serahkan Ketuanya Pak Badaruddin, Pak Dian Ediana, kemudian Heru Pambudi dari Dirjen Bea Cukai, lalu Sumiyati irjennya," tutur Mahfud.

Ditemui di tempat terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani enggan memberikan tanggapan. Dia memilih diam saat awak media memberondong pertanyaan terkait pernyataan Mahfud MD.

Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani sejak 29 Maret 2023 lalu sedang menghadiri ASEAN Finance Minister and Central Bank Governors (AFMGM) di Bali pekan ini. Menurut jadwal pertemuan ini berlangsung hingga 31 Maret 2023.