Sukses

HEADLINE: Tuntutan Pidana Mati Irjen Teddy Minahasa dalam Kasus Narkoba, Efek Jera Polisi Nakal?

Tuntutan pidana mati terhadap Teddy Minahasa diharapkan memberi efek jera bagi yang lain. Namun banyak terpidana narkoba sebelumnya yang divonis pidana mati, dan itu tidak memberikan rasa takut. Benar kah munculkan efek jera?

Liputan6.com, Jakarta - Mengenakan baju batik bercorak warna warni, Irjen Teddy Minahasa langsung beranjak dari kursi sidang usai mendengar amar putusan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia terlihat bersikap biasa saja setelah JPU menuntutnya dengan hukuman mati terkait kasus penjualan barang bukti narkoba jenis sabu.

"Menjatuhkan terhadap terdakwa pidana mati dengan perintah terdakwa tetap ditahan," ujar salah satu Jaksa  di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis 30 Maret 2023. 

Tak ada kegundan dan kegelisahan di raut wajah mantan Kapolda Sumatera Barat itu. Bahkan dirinya melontarkan senyum sambil melambaikan tangan ke awak media.

Usai bersalaman dengan tim kuasa hukumnya, Teddy Minahasa langsung meninggalkan ruangan dan kembali ke ruang tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengungkapkan, Jaksa meyakini bahwa tuntutan pidana mati terhadap Teddy Minahasa sudah sesuai dengan keadilan di masyarakat. 

"Jaksa melihat begitu dibuktikan di persidangan ternyata memang sudah terbukti, kemudian jaksa juga mencoba mengambil perasaan keadilan di dalam masyarakat, Nah kejahatan seperti ini hukumannya bagaimana, nah sampailah kesimpulannya pada mati. tapi ini belum selesai karena hakim belum memutuskan," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/3/2023).

Fickar menambahkan, selain berasaskan keadilan di masyarakat, tuntutan itu juga sudah sesuai dengan pasal yang menjerat Teddy Minahasa. Yang mana ia dijerat dengan pasal yang ancaman hukumannya pidana mati.

"Apakah tuntutannya itu sesuai? Secara hukum itu sudah sesuai karena pasal yang didakwakan itu ancaman hukumannya memang mati dan seumur hidup juga. Jadi memang sudah sesuai, dan itu menurut jaksa sudah sesuai dengan perasaan peradilan di masyarakat," dia menandaskan.

Adapun Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menyoroti tentang hukuman mati yang berlaku di Indonesia. Menurutnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM  Eddy O. S. Hiariej telah menegaskan bahwa ketentuan pidana mati dalam KUHP baru yang memuat masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati dapat diterapkan sejak undang-undang tersebut disahkan meskipun pemberlakuan undang-undang tersebut secara efektif baru akan mulai pada 2 Januari 2026.

"ICJR mengapresiasi dan sepakat dengan pandangan Wamenkumham RI tersebut yang merupakan salah satu asas utama hukum pidana yaitu asas “in favor reo”, yang juga berhubungan dengan asas “in dubio pro reo” apabila nantinya muncul keragu-raguan dalam pemeriksaan perkara," kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari kepada Liputan6.com, Jumat (31/3/2023).

Dalam hukum pidana materil,  dia menjelaskan, kedua asas ini mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP Lama yang masih berlaku saat ini, yang menyatakan bahwa “Jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.

"Dengan demikian, berdasarkan prinsip hukum pidana, jika terjadi perubahan hukum ketika perbuatan pidana telah dilakukan sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan undang-undang yang lama atau yang baru, maka harus dipilih ketentuan yang lebih meringankan bagi pelaku," ujar dia.

Dia kemudian mengutip buku R. Soesilo yang diterbitkan ulang pada 1995. Dia menjelaskan bahwa yang dimaksud lebih meringankan termasuk dalam konteks ringannya hukuman, bagian/elemen peristiwa pidana, jenis delik (aduan atau bukan), salah tidaknya terdakwa, dan sebagainya.

"Ketentuan pidana mati dalam KUHP Baru jelas lebih meringankan bagi terdakwa jika dibandingkan dengan KUHP Lama, sebab pidana mati dalam KUHP Baru tidak lagi dikategorikan sebagai jenis pidana pokok melainkan pidana yang bersifat khusus," terang dia.

Iftitah Sari menerangkan, sifat kekhususan pidana mati, yang di antaranya secara otomatis dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun untuk kemudian dilakukan assessmen komutasi/perubahan hukuman menjadi penjara seumur hidup sehingga dalam periode tersebut eksekusi wajib ditunda, merupakan kondisi yang lebih meringankan bagi terdakwa.

"Konsekuensi perubahan hukum tersebut tentu akan berdampak pada seluruh terpidana mati yang saat ini ada dalam deret tunggu eksekusi mati (death row), baik yang baru diputus dan terutama yang sudah lebih dari 10 tahun di dalam deret tunggu," ujar dia,

Kebijakan ini tentu bukan hanya baru diputuskan sekarang. Kondisi yang lebih meringankan ini sudah diputuskan jauh sebelum pengesahan KUHP baru.

"Adanya ketentuan masa percobaan 10 tahun untuk terpidana mati bahkan sudah ada di draft KUHP sebelum dikirim ke DPR pada 2015 oleh Presiden Jokowi. Ketentuan yang sama juga sudah ada bahkan jauh di era sebelum Presiden Jokowi," kata Iftitah Sari. 

Ketentuan mengenai pemberian masa percobaan untuk pengubahan hukuman dari pidana mati menjadi pidana jenis lain sudah tercantum pada draft-draft awal RKUHP. Dalam draft awal RKUHP itu, pencantuman masa percobaan 10 tahun tidak bergantung pada putusan dan pertimbangan Hakim, melainkan mekanisme terpisah seperti yang saat ini ada di KUHP baru, yaitu otomatis diberlakukan.

"Berdasarkan keterangan ahli Prof. Mardjono Reksodiputro, yang dimuat dalam Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, konsep pidana mati dalam draft RKUHP versi ke-2 tahun 1999-2000 merupakan titik temu perdebatan dari pihak yang pro dan kontra terhadap pidana mati yang bahkan telah muncul sejak penyusunan draft RKUHP versi ke-1 sebelum 1993 (Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 hal. 283-288)," ujar dia.

Meskipun ICJR merekomendasikan penghapusan pidana mati dalam KUHP Baru, namun ICJR tetap mengapresiasi Pemerintah dan DPR yang berani mengambil langkah progresif dengan memastikan syarat percobaan 10 tahun pidana mati akan diberlakukan secara otomatis dalam KUHP Baru.

"Hal ini sesuai dengan catatan sidang pembahasan di DPR dan komitmen yang diambil oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini juga menjadi komitmen Pemerintah Indonesia dalam berbagai sidang PBB yang menyatakan akan mengambil langkah-langkah progresif terkait eksekusi mati di Indonesia," dia menandaskan.

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai, hukuman mati diperlukan untuk menghilangkan kejahatan yang sudah berjalan secara sistemik. Ia pun menilai tuntutan terhadap Teddy Minahasa sudah tepat. 

"Dalam hukum pidana dikenal asas kejahatan yang sudah sistemik dapat dimusnahkan dengan hukuman mati (azas crimina morte extinguuntur) karenanya tuntutan hukuman mati bagi TM sudah tepat mengingat apa yang dilakukannya dengan sengaja:, dan menyalahgunakan jabatannya sebagai Kepala kepolisaan daerah ( Kapolda Sumbar)," kata Azmi kepada Liputan6.com, Jumat (31/3/2023).

Ia berharap, kasus yang menjerat Teddy Minahasa dapat menjadi peringatan  bagi para pimpinan aparat penegak hukum lainnya agar menghindari tindakan penyalahgunaan kewenangan alias abuse of power.

"Apa yang dilakukan TM adalah sangat bertentangan dengan kewajibannya serta di dalam persidangan dianggap TM berbelit, banyak membantah perbuatannya dan tidak mengakui perbuatannya, mengingat kondisi Indonesia sudah darurat narkoba, tidak ada jalan lain selain menerapkan hukuman mati bagi pelaku dengan karakteristik yang menyalahgunakan jabatannya. Ini juga menjadi alasan pemberat hukuman bagi pelaku," ucap dia.

Di saat pemerintahan sedang berusaha membangun peradaban bangsa, memberantas narkoba justru perilaku aparatur mencoreng muka sendiri, membuat masyarakat hilang kepercayaan pada lembaga hukum.

"Harapanmya dengan tuntutan hukuman mati pada TM akan memunculkan efek jera, ancaman bagi para calon pelaku lainnya, agar tidak main-main dengan narkoba. Apalagi jika mereka aparat penegak hukum," Azmi menegaskan.

Meski demikian, perlu kebijakan yang mengiringinya agar pidana mati ini benar-benar dapat memberikan efek jera terhadap yang lain. Menurutnya, langkah itu berupa peningkatan integritas dan aparat hukum agar semakin tangguh. 

"Akuntabilitas pejabat negara dan pengawasan aparatur hukum juga harus semakin ditingkatkan," ujar dia.

Sedangkan Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto mengaku setuju dengan hukuman pidana mati yang dituntut oleh JPU. Menurutnya, perilaku Teddy Minahasa tersebut sudah di luar batas dan merusak citra institusi Polri 

"Berdasarkan fakta yang terungkap di pengadilan, memang sangat memalukan dan keterlaluan apa yang dilakukan oleh terdakwa TM yang berpangkat pati bintang dua. Apa yang dilakukan sangat merusak citra Polri dan dampaknya sangat serius," ujar dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (31/3/2023).

"Wajar kalau JPU menuntut hukuman maksimal yaitu hukuman mati karena  tidak ada faktor yang meringankan. Masalah peredaran gelap narkoba sangat serius daya rusaknya bagi anak cucu kita sehingga perlu sanksi hukum seberat-beratnya sampai hukuman mati," dia mengimbuhkan.

Adapun Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan, siapa pun orangnya, jika mereka melakukan kesalahan sangat berat, dan membahayakan anak bangsa maka bisa dijatuhi hukuman mati. Hal ini disampaikan Anwar menyikapi tuntutan mati yang diajukan jaksa terhadap tersangka Teddy Minahasa.

“Jika mereka melakukan kesalahannya sangat berat, karena merusak hidup dan kehidupan anak- dan warga bangsa, maka untuk kemashlahatan dan kebaikan, siapapun dia maka dia oleh hakim bisa dijatuhi hukuman mati,” kata Anwar, Jumat (31/3/2023).

Menurut Anwar, hukuman itu tujuannya bukan hanya untuk membuat si pelaku menjadi jera, tapi juga untuk tegaknya keadilan. "Kapan sesuatu itu akan dikatakan adil kalau hukuman yang diberikan kepada pelakunya setara dan seimbang dengan yang dia lakukan,” ungkap dia.

Mengenai negara lain yang sudah menghapus hukuman mati, Anwar Abbas merasa heran dengan negara lain yang selama ini bicara menghormati hak asasi manusia (HAM) tapi ternyata mereka tidak menghormati hak-hak asasi dari manusia lain.

"Mereka hanya menghormati hak asasi dari orang yg telah menghilangkan nyawa orang tapi dia tidak menghormati hak hidup dari orang yang telah mereka bunuh dan hancurkan hidupnya,” ungkap Anwar.

Dia mencontohkan kejadian di Selandia Baru. Brenton Tarran telah membunuh 60 orang yang sedang melaksanakan sholat jumat tapi si pelaku hanya dijatuhi hukuman seumur hidup. "Adilkah itu?’ tanya Anwar.

Menurut Anwar, hal itu sangat tidak adil. Keadilan ada jika hukumannya seimbang dan setara dengan yang diakukannya.

2 dari 3 halaman

Tuntutan Pidana Mati Teddy Minahasa Sudah Tepat

Sementara itu Pakar pidana Universitas Jenderal Soediman, Hibnu Nugroho menilai langkah jaksa menuntut Teddy Minahasa dengan pidana mati sudah tepat.

“Saya menilai tuntutan hukuman mati dari Jaksa Penuntut Umum sudah tepat,” kata Hibnu, Kamis (30/3/2023).

Dalam tuntutan jaksa, tidak ada hal meringankan yang dicatat jaksa penuntut dalam tuntutannya tersebut. Sebab, jenderal bintang dua kepolisian ini adalah seorang penegak hukum yang notabene mengetahui dan sadar akan perbuatannya tersebut.

“Dia perwira tinggi lagi,” kata Hibnu.

Hal memberatkan lainnya adalah manakala Teddy Minahasa tidak mengakui perbuatannya. Sehingga, kata Hibnu, dia tidak membantu kelancaran jalannya persidangan.

“Dia tidak memperlancar jalannya pemeriksaan,” ungkap pakar pidana ini.

Teddy juga dinilai Hibnu tidak mendukung pemberantasan nakotika di Indonesia. Padahal Indonesia saat ini sedang dalam kondisi darurat nakotika. Ini dibuktikan dengan isi penjara hampir 70 persen kasus nakotika.

“Teddy tidak bisa memberikan keteladanan terhadap polisi yang lain,” kata Hibnu.

Hal yang tidak kalah penting, lanjut Hibnu, adalah perbuatan Teddy Minahasa telah membuat citra kepolisian rusak.

Mengenai banyaknya tuntutan agar hukuman mati dihapus, Hibnu mengatakan bahwa ada perbedaan perspektif dalam penegakan hukum dan penegakan HAM.

“Dari kaca mata hukum, mudah-mudahan hukuman mati akan memunculkan efek jera bagi para calon pelaku lainnya, agar tidak main-main dengan narkoba. Apalagi jika mereka aparat penegak hukum,” kata Hibnu.

Sedangkan Pengamat Kepolisian Alfons Loemau menyebut Irjen Teddy Minahasa sebagai pengedar narkoba diragukan kebenarannya. Menurut Alfons, jika Teddy benar-benar pemain dalam bisnis haram tersebut, maka harusnya tidak seamatir itu.

"Kalau Teddy Minahasa itu pemain, dia tidak akan amatir seperti itu," kata Alfons, seperti dikutip Kamis 30 Maret 2023.

Alfons justru lebih melihat Teddy sebagai korban dari bandar besar narkoba yang ingin menghancurkan karirnya.

Ia menggambarkan Teddy seperti pentolan kecil yang dikorbankan untuk menyamarkan jejak bandar besarnya dengan memanfaatkan Linda Pudjiastuti yang diduganya berperan sebagai “cepu” atau informan.

"Ini ibaratnya, pentolan kecil yang kemudian dikorbankan disorot jadi begini dengan pion yang dorong itu di perempuan tetapi bandar besarnya sedang samar-samar atau sedang tidak terungkap atau bandar besarnya lawan berat,” jelasnya.

Berdasarkan pengamatan Alfons, bisnis peredaran narkoba tidak dijalankan secara tunggal, banyak kelompok-kelompok besar yang mengendalikannya.

“Bermain obat terlarang narkoba ini satu rangkaian besar. Gerbongnya banyak, gerbongnya besar,“ kata Alfons.

Di sisi lain, Alfons juga menyebut keberanian Linda mengumbar aib di persidangan disinyalir karena ada jaminan dari seseorang.

"Linda tidak akan mempunyai keberanian membongkar aibnya dengan Teddy apabila tidak ada jaminan dari seseorang," pungkasnya. Oleh sebab itu, Alfons mendesak pihak kepolisian untuk mencari tahu siapa yang berani menjamin keamanan Linda di persidangan.

Jaksa Penuntut Umum menuntut Irjen Teddy Minahasa hukuman mati dalam kasus peredaran sabu yang tak lain adalah barang bukti sitaan kepolisian.

Adapun Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai bahwa keterangan 5 polisi dari Polres Bukittinggi sebagai saksi pada tanggal 13 Maret 2023 sangat bisa dipercaya. Kelima polisi itu memberi kesaksian di persidangan kasus narkoba Teddy Minahasa bahwa tidak ada penukaran sabu dengan Tawas.

Reza menilai bahwa kesaksian lima polisi tersebut sangat tinggi karena hadir bukan sekedar sebagai saksi biasa pada umumnya. Mereka hadir sebagai saksi yang bersentuhan langsung dengan kejadian atau objek yang menjadi pokok persoalan yaitu, mengalami dan bersentuhan langsung dengan objek dan kejadian yang sedang jadi pokok perkara, adakah penukaran sabu dengan tawas.

"Salah satu yang paling merusak proses penegakan hukum itu kalau kita bicara tentang keterangan saksi. Kenapa, karena mengandalkan daya ingat. Tapi beda kisah kalau kita bicara para saksi yang tadi disebutkan (5 Polisi dari Polres Bukittinggi)," kata Reza Indragiri dikutip dari Youtube Bravos Radio Indonesia Kamis 30 Maret 2023.

"Saya memandang mereka berbeda karena mereka bersentuhan langsung dengan objek yag sedang jadi pokok persoalan. Jadi bukan sebatas menyaksikan tapi mereka mereka bersentuhan langsung dengan objek itu. Maka menurut saya derajat kepercayaan yang kita berikan pada keterangan mereka itu lebih tinggi dari saksi pada umumnya," sambung Reza.

Seperti diketahui 5 polisi dari Polres Bukittinggi ini adalah Heru Prayitno, Syafri, Rinaldi alias Anang, Syukur Hendri Saputra, Alexi Aubedilah, Arif Hadi Prabowo. Mereka dihadirkan sebagai saksi yang menyaksikan langsung pemusnahan 35 kilogram di Polres Bukittinggi.

Sebelumnya dalam persidangan kuasa hukum Teddy Minahasa, Hotman Paris mendapatkan keterangan bahwa tidak adanya perintah dari Teddy untuk menukar barang sabu dengan tawas.

"Semua saksi dari Bukittinggi, penyidik-penyidik, tidak ada satupun melihat, utuh semua, rapi, tidak ada bukti penukaran," ujarnya saat jeda sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 13 Februari 2023.

3 dari 3 halaman

Teddy Minahasa Dituntut Hukuman Mati

Jaksa menuntut Irjen Teddy Minahasa Putra dengan pidana mati terkait kasus penjualan barang bukti narkotika jenis sabu. Mantan Kapolda Sumatera Barat ini dinilai telah mengkhianati perintah Presiden dalam upaya negara memberantas narkoba. 

"Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika," kata Jaksa di PN Jakbar, Kamis (30/3/2023), saat membaca tuntutan.

Jaksa dalam surat tuntutan membeberkan beberapa hal yang memperberat hukuman. Jaksa menerangkan, terdakwa telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan narkotika jenis shabu. Kemudian, terdakwa merupakan anggota Kepolisan Republik Indonesia dengan jabatan Kepala Polisi Daerah Provinsi Sumatera Barat.

Di mana sebagai seorang penegak hukum terlebih dengan tingkat jabatan Kapolda seharusnya terdakwa menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran gelap narkotika.

"Namun terdakwa justru melibatkan dirinya dan anak buahnya dengan memanfaatkan jabatannya dalam peredaran gelap Narkotika sehingga sangat kontradiksi dengan tugas dan tanggung sebagai Kapolda dan tidak mencerminkan sebagai seorang aparat penegak hukum yang baik dan mengayomi masyarakat," kata Jaksa.

Lebih lanjut, Jaksa mengutarakan perbuatan terdakwa telah merusak kepercayaan publik kepada Institusi Kepolisian Republik Indonesia yang anggotanya kurang lebih 400.000 personil. Selain itu, perbuatan terdakwa telah merusak nama baik Institusi Kepolisian Republik Indonesia.

"Terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Terdakwa menyangkal dari perbuatannya dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan," ujar dia.

Sementara itu, hal-hal yang meringankan tidak ada. "Tidak ada," tandas Jaksa.

Atas tuntutan Jaksa tesrebut, Pengacara Irjen Teddy Minahasa, Hotman Paris Hutapea memastikan, kliennya akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi atas tuntutan pidana mati terkait kasus peredaran narkoba. Menurut Hotman, isi pleidoi Teddy Minahasa akan berfokus pada pelanggaran hukum acara.

"Jadi pleidoi kami akan fokus ke arah pelanggaran hukum acara yang serius," kata Hotman Paris di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (30/3/2023).

Hotman menilai, salah satu pelanggaran yang dilanggar dalam persidangan ini adalah bukti chat Whatsapp yang dipenggal-penggal dan hanya kurang dari 10 persen yang diajukan ke persidangan. Menurutnya, hal itu jadi salah satu bukti adanya pelanggaran hukum acara dalam kasus yang menjerat kliennya itu.

"Salah satu contohnya adalah WA dari Teddy Minahasa tanggal 24 September, menyatakan musnahkan, tidak pernah ditunjukan ke saksi manapun. Untuk penyerahan 3 Oktober dan sebagainya, Teddy Minahasa sudah perintahkan musnahkan. Semua saksi juga menyatakan musnakahkan. Ahli bahasa tidak ditanyakan. Banyak hal-hal yang bisa menjadikan bahwa dakwaan tersebut batal demi hukum," tutur Hotman.

Atas dasar itu, kata Hotman, ia memohon tuntutan terhadap Teddy Minahasa bisa batal demi hukum. "Menurut Undang-undang hukum acara tidak boleh dilanggar. Akibatnya dakwaan batal demi hukum," ucap Hotman.

Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bahwa terdakwa Teddy Minahasa merupakan pelaku intelektual dalam perkara tersebut, sehingga sudah selayaknya mendapatkan tuntutan pidana lebih berat dibanding terdakwa lainnya.

“Salah satu pertimbangan Jaksa Penuntut Umum yaitu terdakwa adalah pelaku intelektual alias intelectual dader, atau pelaku utama dari seluruh perkara yang ditangani di Kejaksaan sehingga hukumannya harus lebih berat daripada terdakwa lainnya,” tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Kamis (30/3/2023).

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar), lanjut Ketut, JPU membacakan amar tuntutan yang pada pokoknya yaitu menyatakan terdakwa Teddy Minahasa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. 

“Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, menjadi perantara dalam jual beli, menukar dan menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman, yang beratnya lebih dari lima gram,” jelasnya.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Juncto Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, sesuai Dakwaan Pertama JPU. Kemudian, amar tuntutan meminta majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap Teddy Minahasa dengan pidana mati, dan perintah agar terdakwa tetap ditahan.