Sukses

Mahfud Md: Lebih Baik Punya DPR dan Parpol Jelek daripada Tak Ada Sama Sekali

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud Md angkat bicara soal pemugaran partai politik sebagai Instrumen Kaderisasi Kepemimpinan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud Md angkat bicara soal pemugaran partai politik sebagai Instrumen Kaderisasi Kepemimpinan. Hal itu dia sampaikan saat menjadi takmir masjid di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).

Menurut Mahfud Md, media, pascakehadirannya di Komisi III DPR RI saat buka-bukaan tentang aliran dana Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), publik tengah diramaikan dengan sikap anggota DPR yang harus tunduk dengan ketua partainya.

Sehingga, kata Mahfud, tidak sedikit yang menilai keberadaan wakil rakyat di Senayan sudah tidak berpihak pada akar rumput, tetapi ketua partai.

"Ada yang berteriak bubarkan parpol, juga bubarkan DPR. Kepada jemaah yang sebagian besar adalah mahasiswa dan dosen, saya sampaikan bahwa kita wajib punya DPR dan wajib punya parpol karena keduanya adalah instrumen demokrasi," ujar Mahfud seperti dikutip dari Instagram resminya @mohmahfumd, Selasa (4/4/2023).

Menurut Mahfud, memiliki partai politik (parpol) dan DPR yang jelek sekali pun adalah lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali. Maksudnya, kalau tidak ada parpol dan tidak ada DPR, berarti negara ini adalah negara otoriter, negara monarki.

"Di dalam negara monarki itu, potensi kesewenang-wenangan lebih mungkin terjadi," wanti Mahfud.

Mahfud memastikan, dirinya tidak ingin hal itu terjadi. Karenanya, yang harus dilakukan adalah pemugaran terhadap partai politik dan bukan peniadaan.

"Ini yg harus dihindari. Itu sebabnya, harus ada pemugaran Parpol, juga karena sekaligus sebagai instrumen kaderisasi kepemimpinan," Mahfud menandasi.

 

2 dari 4 halaman

Sebut Susah Ajukan Aspirasi-Aspirasi Baik, Pembangunan Hukum Selalu Mentok di DPR

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, dalam ceramahnya di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarya, mencurahkan isi hati soal sulitnya menyampaikan aspirasi kepada DPR.

"Kemarin saya bicara kok susah ya mengajukan aspirasi-aspirasi yang baik bagi pembangunan hukum tetapi selalu gagal (mentok) di DPR," ucap Mahfud yang disambut tawa jemaah, Minggu 2 April 2023.

Lantas Mahfud membandingkan era saat ini dengan era Sukarno, yang mana saat muncul aspirasi langsung ditindaklanjuti dengan pembuatan undang-undang.

"Zaman Pak Harto juga lumayan, sekarang ini undang-undang penting enggak bisa lahir. Parpolnya nolak, DPR-nya nolak, ketika ditanya DPR kok nolak. Bos (jawaban DPR)," katanya lagi, diikuti sorakan dan tawa jemaah.

Sambil menyebut apa yang diucapkannya adalah fiqih politik, Mahfud menambahkan, era sekarang Indonesia masuk pada demokrasi transaksional, di mana kepala daerah dibiayai oleh cukong-cukong.

"Sebanyak 84 persen kata KPK, KPK menyatakan resmi. Sebanyak 84 persen kepala daerah di Indonesia dipilih melalui cukong," katanya.

Dampaknya, menurut dia kepala daerah lalu diminta untuk memuluskan izin-izin, hingga pemenangan tender perusahaan milik cukong.

"Akibatnya banyak pertambangan liar, banyak IUP ganda (izin Usaha Penambangan), maka kemarin sangat mengagetkan ketika indeks persepsi korupsi turun anjlok," jelas dia.

 

3 dari 4 halaman

Respons Mahfud Md Usai Wamenkeu Sebut Catatan Transaksi Janggal di Kemenkeu sama dengan KemenkoPolhukam

Mahfud Md menanggapi pernyataan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang menyebutkan data transaksi keuangan janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sama dengan yang dicatat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Melalui unggahan di Twitter, Mahfud menulis kalau Wamenkeu mengakui tidak ada perbedaan data transaksi keuangan janggal di Kementerian Keuangan dengan yang disampaikan dirinya dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Akhirnya clear,kan?Wamenkeu mengakui tdk ada perbedaan data antar Kemenkeu dan Menko Polhukam/PPATK ttg dugaan pencucian uang. Angka agregat 449T- dgn 300 surat. Bedanya hanya cara memilah data. Itu yg saya bilang di DPR. Skrh tinggal penegakan hukumnya,' tulis dia di akun twitternya @mohmahfudmd.

"Ya,typo.Yg benar, Angka agregatnya sama Rp 349T, suratnya 300, dugaan korupsi di Kemkeu bukan 3,3T tapi 35T. Itu sama semua. Yg 189T berbeda, nanti kita jelaskan," sambung Mahfud.

Unggahan Mahfud Md itu telah diretweet 1.149 hingga artikel ini ditulis. Kemudian mendapatkan 4.730 tanda suka.

 

4 dari 4 halaman

Kata Wamenkeu

Dikutip dari Antara, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan pada dasarnya data yang dicatat terkait transaksi janggal di lingkungan Kementerian Keuangan sama, tetapi Menkeu dan Menko Polhukam berbeda dalam penyajiannya.

"Menteri Keuangan menyampaikan di Komisi XI, Pak Menko (Mahfud MD) menyampaikan di Komisi III, hari ini saya tunjukkan itu sama esensinya. Data itu klasifikasnya saja yang berbeda," ujar Suahasil.

Data yang dicatat oleh Kemenkeu dan Kemenko Polhukam sama-sama berasal dari rekap 300 surat laporan hasil analis (LHA) PPATK yang melibatkan transaksi keuangan janggal senilai Rp 349,87 triliun.

Adapun perbedaan terjadi karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selama ini tidak melakukan pencatatan 100 surat LHA PPATK yang dikirimkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH), sedangkan Kemenko Polhukam tetap klasifikasikan ke dalam transaksi keuangan janggal yang melibatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Adapun sebanyak 100 surat LHA PPATK yang dikirim ke APH itu melibatkan 126 pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Keuangan.

Rinciannya sebanyak 64 surat yang tidak tercatat tersebut berupa transaksi keuangan mencurigakan 103 ASN Kementerian Keuangan senilai Rp 13,07 triliun, sebanyak dua surat transaksi keuangan mencurigakan melibatkan 23 ASN Kementerian Keuangan senilai Rp 47 triliun, dan 34 surat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait kewenangan pegawai Kementerian Keuangan senilai Rp 14,18 triliun.

"Kami memang bekerja dengan data yang sama yaitu 300 surat dan keseluruhan itu nilai totalnya Rp 349,87 triliun. Sumber datanya sama yaitu rekap surat PPATK, cara menyajikannya bisa berbeda, tapi kalau dikonsolidasikan ya ketemu sama," tandas dia.