Liputan6.com, Jakarta - Sore itu, Senin 24 September 2022, Ulya tengah fokus bekerja di kantornya tanpa ada firasat apa pun. Tiba-tiba, gawainya berdering. Dia mendapat kabar suaminya tiba-tiba pingsan di rumah.
Saat itu juga, sang suami langsung dilarikan ke rumah sakit (RS) terdekat di kawasan Jakarta Pusat. Ulya tak terlalu memikirkan untuk biaya RS, karena sudah beberapa tahun keluarganya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dengan iuran mandiri.
Sesampainya di RS, sang suami langsung masuk IGD. Hari berikutnya sang suami baru dipindahkan ke ICU untuk dilakukan observasi berkelanjutan. Karena tidak boleh dijenguk, semua informasi mengenai perkembangan sang suami didapatkan Ulya dari chat pihak rumah sakitnya.
Advertisement
Mulai dari pemberian obat, pemeriksaan dokter jaga, hingga dokter utama terkait penyakit sang suami. Namun, Ulya merasa penanganan yang diterima suaminya sedikit lambat.
"Soalnya kalau dibandingin misalnya kita bayar pribadi gitu, kayaknya sih cepat gitu ya penanganannya. Itu sih kemarin saya lihat itu aja langsung ke IGD untuk penanganan pertama, itu harus nunggu juga. Untuk dapat kamar ke ruangan ICU ngantre juga, ditanganinya juga oleh dokter jaga. Dokter utama hanya sesekali," kata Ulya kepada Liputan6.com.
Setiap pagi petugas ICU memberikan perkembangan mengenai kondisi suaminya dan Ulya harus tetap bekerja seperti biasa. Beberapa hari kemudian pada Rabu malam, Ulya dihubungi pihak RS untuk menginformasikan mengenai penyebab suaminya tak sadarkan diri. Diketahui pingsan suaminya disebabkan karena adanya pembuluh darah di otak yang pecah dengan ukuran 20mm.
"Itu baru hasilnya (observasi) aja sih, untuk penanganannya itu belum karena kan kalau dokter bilangnya nunggu keadaan pasien juga memungkinkan atau enggak," ucapnya.
Malam berikutnya, ibu dua anak itu kembali dihubungi oleh pihak RS mengenai perkembangan suaminya. Sang suami diharuskan untuk cuci darah. Ulya langsung lemas dan kembali lagi ke RS untuk melihat langsung kondisi suaminya.
Berbagai pertanyaan dilontarkannya kepada para petugas ICU. Sebab, pagi hari petugas RS menginformasikan sang suami menunjukkan perkembangan yang membaik.
"Terus ya udah lah, mungkin memang takdirnya gitu. Jadi Kamis, benar-benar kayak belum ada penanganan dari hasil pemeriksaan. Itu aja sih paling saya ngerasa (saat itu) kok enggak ditangani cepat. Apalagi ini kan terkait saraf, dan Jumat sore meninggal dunia," papar dia.
Selain merasa penanganan yang sedikit lambat, Ulya juga menilai informasi perkembangan suaminya kurang detail dan susah untuk diterima keluarga. Apalagi saat itu kondisinya kalut dan tidak paham dengan dunia kedokteran.
Sementara itu, Ulya juga menyebut sebelum suaminya tak sadarkan diri memang sudah seringkali mengeluh sakit kepala dan permasalahan buang air kecil. Beberapa kali ke Puskesmas sebagai faskes pertama dan diberikan obat. Karena dianggap tidak mendesak, suaminya tidak pernah diberikan rujukan ke RS untuk pemeriksaan lebih lanjut.
"Jadi kayak enggak ke-detect juga sih. Jadinya mikirnya bisa enggak ya pakai BPJS Kesehatan itu, seenggaknya bisa tiap tahun itu ada screening-lah. Seenggaknya tahu gitu ada penyakit dalam atau apa dari kita," tandas Ulya.
Cerita Aduan dan Keluhan Peserta BPJS Kesehatan
Keluhan sebagai peserta BPJS Kesehatan juga disampaikan oleh Salsabila warga Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Beberapa jam mengantre untuk diperiksa dokter, membuat sang ibu yang sudah lansia, tak ingin berobat kembali menggunakan BPJS Kesehatan.
Setahun yang lalu, sang ibu sempat jatuh di kamar mandi dan mengeluh kakinya sakit. Beberapa kali datang ke tukang pijit namun keadaannya pun tidak berubah. Akhirnya Salsa mengajak ibunya untuk berobat ke dokter menggunakan BPJS Kesehatan agar dapat dilakukan rontgen.
Keesokan harinya dia bersama ibunya datang ke klinik dekat rumahnya sebagai fasilitas kesehatan pertama untuk meminta rujukan. Namun, saat itu ibunya diberikan beberapa obat dan ternyata tidak ada perubahan kemudian pada pertemuan selanjutnya diberikan surat rujukan ke RS sebagai faskes dua.
"Sudah dirujuk ke RS, nah di RS juga enggak langsung diperiksa kan. Berharap kita langsung rontgen, ternyata di RS kita juga dikasih obat nyeri lagi sama dokternya dan diperiksa gitu. Minggu depannya kan dateng lagi pas check-up, baru tuh dilihatin ternyata masih sakit, ya udah disarankan untuk fisioterapi," kata Salsa kepada Liputan6.com.
Setelah menjalankan proses fisioterapi selama sebulan, sang ibu disarankan untuk kembali memeriksakan diri ke dokter sebelumnya. Karena antrean yang panjang untuk pemeriksaan dokter, Salsa mengaku ibunya menyerah. Dia mengaku capek dan lelah untuk mengikuti antrean.
Mulai dari pendaftaran pasien BPJS Kesehatan, pendaftaran dokter, hingga pengambilan obat di farmasi Salsa dan ibunya kira-kira membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 6 jam.
"Itu yang buat nyokap gue kayak udah nyerah aja pakai BPJS. Kayaknya merasa kita juga bayar enggak nunggak, jadi kayak prosesnya kok ribet sih ya, lebih kayak nunggunya capek berjam-jam gitu," ucapnya.
Selain itu Salsa juga mengaku sering kali meminta kepada tempatnya bekeja untuk work from home (WFH) agar dapat menemani ibunya ke RS. Bahkan setiap mendapatkan jadwal pemeriksaan pagi dia dan ibunya membawa bekal makanan dari rumah.
"Kalau makan itu kalau sudah selesai karena kita nunggunya kan maksudnya enggak mungkin kan makan di ruang tunggu. Jadi, selesai berobat baru makan. Karna lapar saking lama nunggunya, kita bawa bekal dua," jelas dia.
Ombudsman Terima Banyak Aduan dari Peserta BPJS Kesehatan
Ombudsman RI menerima banyak keluhan mengenai pelayanan yang tidak sesuai kepada peserta BPJS Kesehatan di berbagai pusat kesehatan ataupun Rumah Sakit (RS). Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng menyatakan ada ribuan aduan yang disampaikan para peserta BPJS Kesehatan setiap tahunnya.
"Dari kajian maupun laporan pengaduan masyarakat, saya mengklasifikasi dalam tiga fitur utama atau tiga dimensi utama dari problem atau tantangan BPJS kita khususnya di bidang kesehatan atau JKN. Itu adalah problem kepesertaan, pembiayaan, dan pelayanan di rumah sakit khususnya," kata Endi kepada Liputan6.com.
Untuk kepersetaan, terdapat beberapa hal yang seringkali dikeluhkan atau timbul permasalahan. Mulai dari penonaktifan peserta yang seringkali banyak diketahui ketika peserta menggunakan ke fasilitas kesehatan. Lalu proses reaktivasi peserta yang sudah non aktif di atas enam bulan.
Kemudian dalam hal pembiayaan, Endi menyebut masih banyak Pemerintah Daerah (Pemda) tidak menjalankan perintah Undang-Undang yang mewajibkan untuk mengalokasikan minimal 10 persen belanja APBD mereka untuk kesehatan. Anggaran tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Di sisi lain kami meminta Kemendagri untuk terus melakukan pembinaan, pengawasan terhadap Pemda-Pemda yang masih jauh dari kewajiban minimal mereka ini mandatory 10 persen untuk mengalokasikan itu. Kalau pun ada yang sudah 10 persen ini tidak semuanya juga untuk belanja program atau kegiatan bagi kesehatan," ucapnya.
Advertisement
Solusi Ombudsman untuk Pengawasan
Kemudian aduan mengenai pelayanan yang diterima oleh para peserta BPJS Kesehatan khususnya di RS. Misal maraknya diskriminasi dan pembatasan kuota baik dalam jumlah layanan, atau waktu pelayanan yang diberikan. Dalam batasan kuota tersebut seringkali merupakan peserta BPJS khususnya PBI atau yang dibayarkan oleh pemerintah menggunakan APBN ataupun APBD.
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng meminta pemerintah untuk menyusun strategi penanganan di tingkat fasilitas kesehatan tingkat satu hingga klinik penyedia layanan BPJS Kesehatan. Lalu sisi lain, pemerintah didorong untuk memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat terkait layanan tersebut.
"Per hari ini misalnya ada berapa pasien yang bisa dilayani di suatu RS misalnya, dan kemudian dijelaskan secara terbuka begitu, dan daftar urut atau nomor urut peserta atau pasien yang akan ditangani itu juga harus disampaikan. Jadi, rumah sakit kita minta untuk melakukan assessment, assessment kebutuhan dan kapasitas tiap harinya," ucap Endi.
Selanjutnya pihak pemerintah pusat, BPJS kesehatan, maupun Badan Pengawas Rumah Sakit juga dituntut untuk melakukan pengontrolan. Sebab diskriminasi yang diterima oleh para peserta BPJS Kesehatan di setiap layanan kesehatan dapat dianggap sebagai maladministrasi.
"Meskipun praktiknya biasa seperti itu, peserta BPJS-lah yang kemudian akan digeser ketika pasien non BPJS itu datang. Dan sisi lain juga ada praktik di mana sebenarnya pasien itu belum waktunya untuk pulang, tetapi kemudian dia pulang. Yang begini ini pihak BPJS dan pihak pemerintah, maupun juga Badan Pengawas Rumah Sakit harus dilakukan pembinaan, penindakan," paparnya.
Kemudian, Endi juga meminta agar fungsi pengawasan oleh Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan, BPRS, dan BPJS Kesehatan dapat dipastikan dilakukan secara optimal. Yaitu dengan memaksimalkan pengawasan self assessment, sehingga tidak ada lagi penolakan pemberian layanan terhadap pasien BPJS Kesehatan.
Keterbukaan Informasi di Fasilitas Kesehatan
Kemudian dia juga meminta agar pusat kesehatan atau fasilitas kesehatan (faskes) di seluruh Indonesia dapat menempatkan unit kerja informasi dan pengaduan untuk menangani berbagai keluhan para pasien. Atau dapat mengoptimalkan peran petugas pengelolaan pengaduan di faskes.
"Bahwa nanti yang menangani itu unit kerja teknis itu tentu operasionalnya, tetapi dia harus bisa menjelaskan secara komperehensif. Jangan pernah kemudian sekadar mencari informasi, sekadar mengadu, orang kemudian di ping-pong sana sini, enggak boleh. Harus satu titik akses di unit kerja informasi dan pengaduan itulah semua dia peroleh," dia melanjutkan.
Kemudian bagian unit kerja tersebut juga harus diisi oleh orang-orang yang memiliki empati hingga kematangan emosional. Sebab orang-orang yang mengajukan pengaduan rata-rata diselimuti rasa panik, cemas, hingga kemarahan.
"Jangan sampai kemudian orang yang mengisi unit kerja pengaduan kemudian juga orang yang membalas dengan kemarahan, wah itu tambah ramai itu. Jadi, kami meminta benar rumah sakit untuk tempatkan unit kerja pengaduan Anda, tempatkan unit kerja informasi diisi oleh orang-orang terbaik yang ada di sana," ucap Endi.
Menurut Endi, hal tersebut untuk memberikan kesan bahwa kehadiran fasilitas kesehatan merupakan tempat untuk melayani masyarakat dan memberi jaminan keselamatan kepada masyarakat. "Jadi rumah sakit, bisnis rumah sakit, bisnis kesehatan bukan bisnis biasa, bukan bisnis yang sama dengan urusan sektoral-sektoral yang lain, jauh sekali," ujar dia.
"Karena itu mereka yang bergerak di bidang kesehatan dari pemerintahnya, BPJS-nya, sampai pada fasilitas kesehatan, itu semua harus menyadari ini bahwa anda mengemban misi kemanusiaan, mengemban tugas penting negara memberikan jaminan keselamatan rakyat," sambungnya.
Sementara itu, Endi meminta antara rumah sakit swasta yang berposisi sebagai mitra bersama BPJS Kesehatan dapat melakukan perubahan bersama. Satu sisi BPJS Kesehatan harus melakukan reformasi pembiayaan dan klaim manfaat terhadap rumah sakit. Namun sisi lain untuk RS juga harus transparan dan terbuka informasinya.
Tak Semua Keluhan Pelayanan Tanggung Jawab BPJS Kesehatan?
Pihak BPJS Kesehatan sendiri mengakui, banyak masyarakat yang melakukan aduan mengenai sejumlah aspek. Mulai kasus diskriminasi dari pihak fasilitas layanan kesehatan hingga perlakuan tenaga kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menilai masyarakat sering kali salah persepsi mengenai beberapa aduan yang disampaikan. Sebab, terdapat sejumlah aduan masyarakat, tidak sepenuhnya masuk ranah dari BPJS Kesehatan.
Ghufron menyatakan, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah (Pemda), dan BPJS Kesehatan memiliki peran yang berbeda dalam pelayanan fasilitas kesehatan di Indonesia.
"Jadi kalau terkait dengan teori supply and demand, yang supply itu tentu tugas dan tanggung jawab Kementerian Kesehatan dan Pemda. Jadi, termasuk Kementerian Kesehatan bikin regulasi. BPJS itu dari sisi demand side, jaminan atas akses pelayanan kesehatan tanpa kesulitan keuangan," kata Ghufron kepada Liputan6.com.
Ghufron mencontohkan di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal atau 3T dan beberapa kota masyarakat peserta BPJS mengeluhkan akses pelayanan yang jauh, fasilitas kurang memadai, tidak ada ketersediaan obat atau kosong, sampai dokter tidak sesuai jadwal.
Dia menegaskan hal tersebut bukanlah tanggung jawab BPJS Kesehatan. Untuk aduan pelayanan administrasi atau antrean pasien, BPJS kesehatan akan terus melakukan perbaikan.
"Pelayanan kesehatan memang masih ada antrean, dulunya panjang sekali ya ada enam jam, lima jam, sekarang rata-rata dua sampai tiga jam dan kita sudah bikin antrean online," ucapnya.
Meskipun masih ada aduan dan keluhan para peserta BPJS Kesehatan, Ghufron mengklaim semakin lama tingkat kepuasan mengalami peningkatan dari 78 persen pada lima tahun sebelumnya dan saat ini sudah mendekati 90 persen.
Bagaimana Pengelolaan Dana BPJS Kesehatan?
Ghufron menyatakan, tantangan terbesar dalam pengelolaan dana BPJS Kesehatan adalah terkait pemahaman atau persepsi mengenai konsep dasar tata kelola. Sebab dana yang digunakan yaitu dari peserta dan untuk peserta.
Bukan, dari anggaran pemerintah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan anggaran dari APBN dipakai untuk membiayai Peserta Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat yang tidak mampu.
Lalu tantangan kedua yaitu mengelola kesinambungan Dana Jaminan Sosial atau DJS agar berkelanjutan dan dapat memberikan pelayanan yang semakin bagus. Selanjutnya yaitu agar tidak terjadi diskriminatif kepada para peserta BPJS Kesehatan.
Ghufron menyatakan BPJS Kesehatan tidak ada utang kepada RS dan kerapkali membayarkan uang muka terlebih dahulu sebelum ada tindakan. "Kita inginkan lebih cepat, lebih mudah. Atau kita sebutkan lebih mudah, lebih cepat, setara. Atau tidak ribet, tidak diskriminatif," ujar dia.
Sementara itu untuk tunggakan dana iuran BPJS Kesehatan banyak terjadi saat pandemi Covid-19. Untuk saat ini lanjut dia, jika diakumulasikan jumlah penunggak iuran tidak sampai 10 persen dari jumlah keseluruhan. Sedangkan jumlah peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai 253,1 juta per April 2023.
"Tapi, makin lama sudah semakin bagus karena collecting iuran itu sudah lebih dari collecting termasuk penunggakan itu, lebih dari 90 persen," Ghufron menandaskan.
Advertisement
Pasien Tidak Boleh Dibeda-bedakan
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi angkat bicara mengenai adanya aduan ataupun keluhan yang diterima dari peserta BPJS Kesehatan di sejumlah fasilitas kesehatan.
Kata dia, seharusnya setiap pasien tidak boleh dibeda-bedakan secara pelayanan di semua fasilitas kesehatan. Meskipun memang, terdapat standar yang berbeda untuk peserta BPJS berdasarkan kelas fasilitas yang diperoleh.
"Saat ini masih terbagi berdasarkan kelas, tapi untuk pelayanan seharusnya diberikan sama," kata Nadia kepada Liputan6.com.
Selain itu, menurut Nadia, BPJS Kesehatan sering kali melakukan evaluasi terhadap kerja sama dengan RS terkait setiap aspek yang ada. Tak terkecuali adanya keluhan dari peserta BPJS Kesehatan.
"Dan bila memang banyak keluhan dari peserta BPJS terhadap faskes tertentu, ini bisa menjadi bahan evaluasi perpanjangan kerja sama maupun masukan untuk Kemenkes dalam hal monitoring layanan yang diberikan kepada pasien BPJS," papar dia.
Nadia juga menegaskan, Kementerian Kesehatan juga terus melakukan evaluasi dan pengawasan. Salah satunya melalui berbagai survei indeks kepuasan pasien BPJS.
"Yang dilakukan Kemenkses secara random untuk menilai pelayanan yang diberikan RS baik kepada peserta BPJS maupaun pasien umun," ujar Nadia.
(Brigita Purnama)