Sukses

Sindiran JK soal Netralitas Politik Jokowi Tuai Beragam Reaksi, Apa Saja?

Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi netral terhadap Pemilu 2024. Bahkan, menurut dia, pertemuan Jokowi dengan para Ketum Parpol harusnya mengundang Ketua Umum NasDem Surya Paloh.

Liputan6.com, Jakarta - Manuver Presiden Joko Widodo atau Jokowi belakangan memang kerap menjadi sorotan banyak pihak. Tak sedikit yang menyebut bahwa Jokowi sudah mulai melakukan keberpihakan politiknya kepada salah satu kandidat calon presiden (Capres) untuk Pemilu 2024 mendatang.

Hal itu terlihat sejak kehadirannya dalam deklarasi capres PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo hingga mengumpulkan para Ketua Umum Partai Politik pro-pemerintah di Istana pada beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal itu, Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi netral terhadap Pemilu 2024. Bahkan, menurut dia, pertemuan Jokowi dengan para Ketum Parpol harusnya mengundang Ketua Umum NasDem Surya Paloh.

Politisi senior Partai Golkar ini juga menilai Jokowi seharusnya tidak terlibat lebih jauh dengan urusan Pemilu 2024. JK mencontohkan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di akhir masa pemerintahannya.

"Menurut saya, Presiden seharusnya seperti Ibu Mega, SBY, itu akan berakhir, maka tidak terlalu jauh melibatkan diri, dalam suka atau tidak suka, dalam perpolitikan. Supaya lebih demokratis lah," ujar JK.

Pernyataan itu lantas kemudian mendapat reaksi dari sejumlah pihak, salah satunya Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Menurut Hasto partainya tak mempermasalahkan kritikan yang disampaikan JK tersebut.

Namun, Hasto menyebut hal yang dilakukan Jokowi justru pernah dilakukan oleh presiden sebelumnya. Bahkan, kata dia, Jusuf Kalla juga pernah masuk dalam tim kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019.

"Ya sebenarnya secara empiris ini juga dilakukan sebelumnya oleh presiden sebelumnya, kemudian juga oleh pak JK sekalipun ketika berbicara dan beliau kan juga menjadi Dewan Pengarah di dalam tim kampanye dari Pak Jokowi-KH Ma'ruf Amin," jelas Hasto kepada wartawan di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan Jakarta, Senin (8/5/2023).

"Tetapi tentu saja pak JK berpendapat, ya beliau memang punya kebebasan menyampaikan pendapatnya," sambungnya.

Tak Bahas Pemenangan Pemilu 2024

Lebih lanjut, Hasto menuturkan bahwa Presiden Jokowi selalu mendengarkan masukan dan krtitikan yang disampaikan untuknya. Hanya saja, Hasto menekankan pertemuan enam ketua umum parpol sama sekali tak membahas soal pemenangan Pemilu 2024.

"Sekali lagi, saat itu berbicara tentang bagaimana soliditas pemerintah ini dibangun untuk keberhasilan di dalam menyiapkan pemimpin dalam pengertian kebijakan-kebijakan yang berkesinambungan pada tahun 2024 yang akan datang. Tidak berbicara tentang bagaimana memenangkan Pemilu tahun 2024," tutur Hasto.

Adapun terkait tak diundangnya Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam pertemuan, hal itu dikarenakan partai tersebut sudah mendeklarasikan dukungan untuk Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024.

"Mengapa dari Bapak Surya Paloh tidak diundang, sangat jelas penjelasan dari Bapak Presiden Jokowi, karena memang dari rekam jejak yang disampaikan oleh Bapak Anies Baswedan, itu kan juga menunjukkan hal-hal yang sifatnya berbeda," katanya.

 

 

2 dari 4 halaman

PPP Jawab Sindiran JK

Senada, Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi (awiek) menyebut tidak hanya Jokowi yang terlibat dalam Pilpres selanjutnya, Megawati Soekarnoputri pun pernah demikian.

“Sekedar mengingatkan, ibu Megawati itu waktu mengakhiri jabatan di 2004 dan maju lagi untuk periode berikutnya, beliau sudah barang tentu mengurus urusan pencalonan berikutnya,” kata Awiek pada wartawan, Senin (8/5/2023).

Awiek bahkan menuding JK ingin cawe-cawe mencari pengganti dirinya di posisi wapres.

“Pak JK tahun 2019 sebagai wapres sekligus menjadi dewan penasehat TKN Jokowi-Ma'ruf Amin. Apakah juga dapat dimaknai cawe-cawe untuk penggantinya di posisi wapres?,” kata dia.

Menurut Awiek, pertemuan ketum parpol koalisi di istana dengan tidak mengajak 1 anggota koalisi bukan kali ini saja, di era sebelum Jokowi juga terjadi meskipun dalam konteks berbeda.

“Pertemuan Presiden jokowi dengan 6 parpol itu lebih banyak bicara masalah ekonomi, bonus demografi dan middle income trap dan Indonesia emas 2045. Kalau kemudian ada yang menyerempet isu politik hal itu tak bisa dihindari. Namanya saja pertemuan ketum parpol,” kata dia.

Selain itu, Awiek menyebut pertemuan itu digelar di malam hari, di luar jam kerja.

“Sejauh yudak ada UU yang dilanggar ya boleh-boleh saja,” kata dia.

3 dari 4 halaman

Jokowi Berusaha Bentuk Koalisi Besar?

Sementara itu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyatakan sepakat terhadap pernyataan JK yang meminta Presiden Jokowi tidak terlibat jauh dengan urusan Pemilu 2024. Menurutnya, Pemilu 2024 adalah ranah Parpol bukan Presiden.

“2024 bukan domain Pak Jokowi lagi, itu domainnya parpol. Bu Mega sudah bagus sekali buat keputusan, KIB sudah rapi dan KIR lumayan, kami juga. Jadi biarkan itu tumbuh berkembang. Jangan ada upaya grouping-gruping (paslon) cuma berdua,” kata Mardani di Gedung KPU RI, Senin (8/5/2023).

Lebih lanjut, kata Mardani, pertemuan Jokowi dengan Ketum Parpol beberapa waktu lalu adalah bukti Jokowi tengah berusaha membentuk koalisi besar di Pilpres 2024.

“Pertemuan kemarin usahanya untuk membuat koalisi besar. Secara hukum tidak ada yang dilanggar, tapi secara etika beliau mesti paham sosok pribadi Jokowi dan presiden. Kalau presiden mestinya kumpulnya bahas tentang negara ngundangnya NasDem diundang aja,” kata Mardani.

Mardani meminta Jokowi membiarkan parpol berusaha sendiri membangun koalisi sehingga Jokowi tidak perlu melakukan intervensi.

“Enggak usah punya ide besar mengumpulkan koalisi besar, biarkan tunggu berkembang sendiri, kalau mau 3 atau 4, kan kalau koalisi besar nanti paslon cuma dua dan itu sangat bisa ditafsirkan negara intervensi, presiden dalam hal ini,” kata dia.

Apalagi, lanjut Mardani, apabila terbentuk koalisi besar maka berpotensi hanya ada dua paslon di Pilpres. Sementara dua paslon menurutnya berpeluang membuat kembali polarisasi di masyarakat.

“Kalau cuma dua nanti akan ada keterbelahan sosial seperti 2014, 2019 dan jangan salahin publik karena memang cuma dua. Kalau 3,4 kontestasi enak,” pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Demokrat Sebut Jokowi Bukan Negarawan

Senada, Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat menilai sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengumpulkan para ketua umum partai koalisi di Istana Merdeka, Jakarta, akan menjadi catatan legacy yang buruk dalam perjalanan demokrasi bangsa pasca reformasi.

“Kasak-kusuk Presiden Jokowi pada pengkondisian pencalonan pasangan tertentu dan upaya menjegal Paslon yang tak dikehendaki, menjadi tanda ia tak memiliki komitmen terhadap demokrasi dan jiwa politik kenegarawanan. Sejarah akan mencatat ini sebagai legacy yang buruk,” kata Kamhar pada wartawan, Senin (8/4/2023).

Kamhar menyebut Jokowi belum menjadi sosok negarawan. “Menjadi negarawan berarti menjadikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara sebagai yang utama dan diutamakan. Bukan kepentingan golongan atau kelompok tertentu saja,” kata dia.

Menurut Kamhar, Jokowi adalah petugas partai dan bukan petugas rakyat atau negarawan.

“Menjadi negarawan berarti menjadi petugas rakyat, bukan petugas partai. Seorang negarawan dan demokratis sejati senantiasa menjadikan daulat rakyat yang dipedomani dan dilayani, bukan daulat tuan,” kata dia.

Oleh karena itu, Kamhar meminta Jokowi mencontohkan sikap Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pilpres 2014.

“Takkan lelah kami mengingatkan Pak Jokowi untuk belajar dari Pak SBY pada 2014 yang lalu, berhasil menjaga kualitas pemilu yang berlangsung secara demokratis. Alhamdulillah sukses tercatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai seorang negarawan dan demokratis sejati,” pungkasnya.