Sukses

KPK Ultimatum Eks Dirut Amarta Karya Catur Prabowo Kooperatif terhadap Proses Hukum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatun mantan Direktur Utama PT Amarta Karya Persero Catur Prabowo kooperatif terhadap proses hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatun mantan Direktur Utama PT Amarta Karya Persero Catur Prabowo kooperatif terhadap proses hukum.

Catur sejatinya dipanggil hari ini berbarengan dengan pengumumannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya Persero Tahun 2018 hingga 2020.

"KPK mengingatkan Tersangka CP (Catur Prabowo) agar hadir dipenjadwalan pemanggilan berikutnya dari tim penyidik," ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak di kantornya, Kamis (11/5/2023).

Catur Prabowo baru saja diumumkan sebagai tersangka korupsi bersama Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna. Untuk Trisna, KPK langsung menahannya di Rutan KPK pada Markas Komando Puspomal, Jakarta Utara.

"Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan TS (Trisna Sutisna untuk 20 hari pertama dimulai 11 Mei 2023 hingga 30 Mei 2023," kata Johanis.

Sebelumnya, KPK menetapkan dua mantan petinggi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Amarta Karya. Keduanya yakni mantan Direktur Utama (Dirut) Catur Prabowo dan mantan Direktur Keuangan Trisna Sutisna.

Keduanya dijerat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya Persero Tahun 2018 hingga 2020.

"Ditemukan adanya kecukupan alat bukti untuk dinaikkan pada tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan dua pihak sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2023).

2 dari 3 halaman

Awal Mula Kasus

Johanis menyebut kasus ini bermula pada 2017 saat Catur Prabowo memerintahkan Trisna Sutisna dan pejabat di bagian akuntansi PT Amarta Karya mempersiapkan sejumlah uang untuk kebutuhan pribadi Catur Prabowo. Sumber uang diambil dari pembayaran nlberbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.

Kemudian, Trisna Sutisna bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV.

"CV tersebut digunakan untuk menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan yang sebenarnya alias fiktif," kata Johanis.

Kemudian pada 2018, dibentuklah beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan Catur Prabowo dan Trisna Sutisna.

Johanis menyebut untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, Catur Prabowo selalu memberikan disposisi 'lanjutkan' dibarengi dengan persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani oleh Trisna Sutisna.

Buku rekening bank, kartu ATM dan bongol cek dari badan usaha CV fiktif dipegang staf bagian akuntansi PT Amarta Karya yang menjadi orang kepercayaan dari tersangka agar memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan Catur Prabowo.

3 dari 3 halaman

60 Proyek Disubkontraktorkan Secara Fiktif

Johanis menyebut diduga ada sekitar 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya yang disubkontraktorkan secara fiktif oleh Catur Prabowo dan Trisna Sutisna. Di antaranya yakni pekerjaan konstruksi pembangunan rumah susun Pulo Jahe, Jakarta Timur, pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Univesitas Negeri Jakarta, dan pembangunan laboratorium Bio Safety level 3 Universitas Padjajajran.

Akibat perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sekira Rp46 miliar.

"Saat ini tim penyidik masih terus menelusuri adanya penerimaan uang maupun aliran sejumlah uang ke berbagai pihak terkait lainnya," pungkasnya.

Atas perbuatannya, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.