Liputan6.com, Jakarta - Memperingati 25 tahun tragedi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, Amnesty International Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi segera menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Tragedi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti tidak boleh diabaikan, apalagi kasus ini termasuk pelanggaran hak asasi manusia berat yang sudah diakui negara.
"Kami mendesak Presiden Joko Widodo segera membentuk pengadilan HAM Ad Hoc, sekaligus menginstruksikan Jaksa Agung untuk menyidik tuntas kasus tersebut. Karena hingga kini aktor utama di balik penembakan itu masih belum terungkap dan diadili," kata Usman dalam keterangannya, Jumat (12/5/2023).
Advertisement
Usman meminta pemerintah memberikan keadilan bagi para keluarga korban penembakan yang menuntut mundurnya Suharto dari jabatan presiden. Tak hanya korban tragedi Trisakti saja, melainkan untuk semua keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Para korban dan keluarga berhak mendapatkan keadilan atas apa yang mereka alami. Setiap hari keluarga korban bertanya-tanya sampai kapan negara akan terus menunda keadilan? Demikian pula keluarga korban dari tragedi serupa lainnya seperti Tragedi Semanggi I dan Semanggi II yang telah diselidiki secara paralel oleh Komnas HAM," kata dia.
Dia mencontohkan Bu Sumarsih, orangtua Wawan mahasiswa Atmajaya yang tewas ditembak saat Tragedi Semanggi I, sejak 2007 setiap Kamis bersama keluarga korban lainnya menggelar aksi diam sambil mengenakan baju hitam di seberang Istana Negara. Mereka mendesak negara mengusut dan menuntut pihak-pihak yang hingga kini masih melenggang bebas.
"Mengusut tuntas kasus ini, termasuk memenuhi hak korban dan menghukum pelaku secara efektif melalui pengadilan HAM, akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab selama 25 tahun. Bila kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi tidak diusut tuntas, pelanggaran HAM berat serupa akan terus berulang dan kebenaran tidak akan terungkap," kata dia.
Latar Belakang
Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 adalah peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti saat demonstrasi menuntut Suharto turun dari jabatan Presiden Republik Indonesia.
Pada saat itu, empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie meninggal ditembak aparat keamanan. Sementara korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Hingga kini, keluarga korban yang didukung mahasiswa dan pembela HAM terus mendesak negara mengusut tuntas kasus Tragedi Trisakti. Pasalnya, keluarga korban masih kecewa dengan proses hukum yang digelar pada tahun 1998 dan 2002 di Pengadilan Militer karena hanya mengadili perwira bawahan Polri yang diduga terlibat namun tidak menyeret pelaku utama ke pengadilan.
Pada 2001, Pansus DPR, yang dibentuk atas desakan keluarga korban dan mahasiswa, menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti, begitu pula dengan kasus Semanggi I dan Semanggi II, serta merekomendasikan penyelesaian melalui proses yang sedang berjalan di pengadilan umum atau pengadilan militer. Hasil itu mengecewakan keluarga korban.
Advertisement
Desak Komnas HAM
Keluarga korban dan mahasiswa juga mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan pada 2001. Dalam temuan Komnas HAM, berdasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran berat HAM dalam peristiwa Trisakti.
Hasil penyelidikan Komnas HAM itu diberikan kepada Kejaksaan Agung untuk segera dilakukan penyidikan sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000, pada April 2002. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut penyidikan dari Kejaksaan Agung.
Pada 11 Januari 2023 tragedi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti bersama peristiwa penembakan Semanggi I dan II dinyatakan sebagai satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui oleh pemerintah Indonesia.
Amnesty International Indonesia mengingatkan setiap kegagalan menyidik atau membawa mereka yang bertanggung jawab ke muka pengadilan memperkuat keyakinan para pelaku bahwa mereka memang tidak tersentuh oleh hukum.