Sukses

Aturan Masa Berlaku SIM 5 Tahun Digugat di MK, Begini Respons Polri

Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tidak mempermasalahkan adanya gugatan terkait aturan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang hanya berlaku 5 tahunan. Gugatan ini diajukan oleh seseorang berprofesi advokat bernama Arifin Purwanto ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Liputan6.com, Jakarta Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tidak mempermasalahkan adanya gugatan terkait aturan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang hanya berlaku 5 tahunan. Gugatan ini diajukan oleh seseorang berprofesi advokat bernama Arifin Purwanto ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ya kan haknya orang, kamu mau gugat saya juga boleh, mau gugat siapa juga boleh. Kan haknya orang," kata Dirregident Korlantas Polri Brigjen Yusri Yunus saat dihubungi, Jumat (12/5/2023).

Menurut Yusri, kebijakan itu dibuat dengan adanya Peraturan Kapolri (Perkap) tahun 2012 yang menyebutkan masa berlaku SIM hanya lima tahun.

"Yang bilang enggak ada dasar hukumnya siapa? Kamu baca dong Perkap 09 tahun 2012. masa berlaku SIM itu 5 tahun. Yang bilang enggak ada dasar hukumnya siapa, dia aja enggak baca kali ya," ujar Yusri.

Ia menjelaskan, aturan dibuatnya masa aktif SIM yang hanya lima tahun sekali itu dengan adanya berbagai persyaratan. Seperti harus mempunyai surat keterangan dokter serta surat keterangan dari psikolog.

Hal itu dikarenakan seorang pengendara atau pengemudi harus dalam keadaan sehat ketika sedang membawa kendaraan. Menurutnya, tingkat berbahaya saat berkendara sangat tinggi ketika berada di jalan.

"Contoh, enggak lulus, enggak dapat surat kesehatan. Apa? Kenapa? Karena buta huruf atau buta warna, misalnya. Nah, buta warna suruh bawa motor, suruh bawa mobil, gimana coba. Nanti yang lampu merah, kuning, hijau itu hitam putih semua," jelas Yusri.

"Terus kemudian kenapa harus ada kesehatan? Misalnya dia minta bikin SIM, tetapi dia enggak punya tangan, cuma kaki tok, boleh enggak bikin SIM? Terus gimana pegang setirnya. Ini saya kasih ilustrasi kenapa persyaratannya harus punya kesehatan," sambungnya.

Kemudian, lanjutnya, terkait dengan adanya surat keterangan dari psikolog. Karena kejiwaan seseorang disebutnya kerap berubah-ubah dalam keseharian.

"Mungkin sekarang kamu baik, tapi mungkin tahun depan kamu jadi gila. Terus kamu bisa enggak bikin SIM lagi tahun depan? Itulah harus kita uji psikologinya. Kan harus ada surat keterangan. Ini baru uji kesehatan dan psikologi, karena ujian untuk mendapatkan SIM adalah kompetensi. Kenapa harus 5 lima tahun sekali," ungkapnya.

"Saya takutnya nanti umurmu sudah 120 tahun, karena kamu masih, hidup SIM-mu masih hidup juga, bawa mobil deh. Jalannya ngepley-ngpley nih. Iya dong, logika dong. Saya kan punya SIM, pak polisi. 120 tahun umur saya, mau saya enggak sehat kek, saya kan punya SIM seumur hidup. Itu lah," kata Yusri.

2 dari 2 halaman

Aturan SIM 5 Tahunan Digugat Jadi Seumur Hidup seperti KTP

Arifin Purwanto, seorang yang berprofesi sebagai advokat mengajukan permohonan perkara Nomo 42/PUU-XX/2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ. Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, pada Rabu (10/5).

Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ yang diujikan oleh Arifin menyatakan, 'Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang'.

Arifin mengaku, setiap lima tahun sekali ia harus memperpanjang SIM. Ia pun merasa dirugikan apabila harus memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) setelah masa berlakunya habis/mati yakni 5 tahun.

"Setiap perpanjangan SIM, misalnya lima tahun yang lalu saya mendapatkan SIM, setelah itu lima tahun habis saya akan memperpanjang kedua. Ini nomor serinya berbeda, Yang Mulia. Di sini tidak ada kepastian hukum dan kalau terlambat semuanya harus mulai dari baru dan harus diproses. Tentu berbanding terbalik dengan KTP. Jadi kalau KTP langsung dicetak," kata Arifin dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, yang dikutip dalam situs resmi MK, Jumat (12/5/2023).

Dalam permohonannya, Arifin menyebut, masa berlaku SIM yang hanya 5 tahun tidak ada dasar hukumnya dan tidak jelas tolok ukurnya berdasarkan kajian dari lembaga yang mana.

Kerugian lainnya, yakni pemohon harus mengeluarkan uang atau biaya serta tenaga dan waktu untuk proses memperpanjang masa berlakunya SIM setelah habis atau mati.

Sesuai dengan UU LLAJ, setiap pengendara wajib memiliki SIM. Bagi pengendara kendaraan bermotor yang akan memiliki atau mendapatkan SIM, tentu bukan perkara yang mudah terutama pada saat ujian teori dan praktik. Di mana hasil ujian teori tidak ditunjukkan mana jawaban yang benar dan mana yang salah namun hanya diberitahu kalau tidak lulus ujian teori.

Selain itu, tolok ukur materi ujian teori dan praktik tidak jelas dasar hukumnya dan apa sudah berdasarkan kajian dari lembaga yang berkompeten dan sah serta memiliki kompetensi dengan materi ujian tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Selama ini, sebelum mengadakan sebuah ujian tentunya ada pembelajaran terlebih dahulu. Namun, dalam memperoleh SIM, tidak pernah ada pelajaran baik teori maupun praktek tentang lalu lintas dan angkutan jalan dari lembaga yang berkompeten, tetapi langsung proses ujian.

Oleh karena itu, pengendara yang akan mencari atau mendapatkan SIM seringkali tidak lulus. Karena tidak adanya dasar hukum yang jelas, kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, misalnya calo.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Arifin meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang” tidak dimaknai “berlaku seumur hidup”.

Reporter: Nur Habibie

Sumber: Merdeka.com