Sukses

Niat Kerja Malah Jadi Korban TPPO di Myanmar, 20 WNI Diperintah Tipu Warga AS dan Kanada

Para korban TPPO di Myanmar yang berniat kerja halal malah dieksploitasi melakukan penipuan terhadap warga Amerika Serikat (AS) dan Kanada.

Liputan6.com, Jakarta Polisi menangkap dua tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terhadap 20 warga negara Indonesia (WNI) di Myanmar. Pada kasus tersebut, para korban TPPO yang berniat kerja halal malah dieksploitasi melakukan penipuan terhadap warga Amerika Serikat (AS) dan Kanada.

Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menyampaikan, sejak awal kasus perdagangan orang tersebut bergulir dan viral pun pihaknya bergegas melakukan penyelidikan dan penyidikan.

"Kami melaksanakan penyelidikan dan mendapatkan Laporan Polisi dari keluarga korban, di mana kita melaksanakan penyelidikan dan segera mengirim anggota penyidik ke Thailand karena kebetulan waktu itu mendapat informasi dari Thailand bahwa para korban sudah berhasil dibebaskan dari Myanmar," tutur Djuhandhani di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (16/5/2023).

Polisi kemudian menetapkan dua tersangka yaitu Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi. Belakangan diketahui ada lima korban WNI lainnya yang telah berhasil kabur, sehingga sebenarnya total ada 25 WNI korban TPPO di Myanmar.

Berdasarkan penelusuran, lanjut Djuhandhani, 16 korban di antaranya direkrut oleh tersangka Anita. Sementara sembilan orang lainnya ditangani terduga pelaku berinisial ER, yang masih dalam proses penyelidikan.

“Kemudian kami sampaikan bahwa alur perjalanan terhadap 20 orang ini berbagai macam dilakukan. Pertama melalui bandara Soetta langsung ke Bangkok, ada yang melalui pintu Malaysia kemudian ke Bangkok. Kemudian dibawa lewat samping, tidak melalui proses yang benar, kemudian ke wilayah Myanmar,” jelas dia.

Adapun para korban berangkat dalam jumlah kecil di rentang waktu September 2022 sampai dengan November 2022 dengan tanggal yang berbeda-beda. Setelah diberangkatkan dari Indonesia, mereka kemudian dijemput pihak yang sudah menunggu di Bangkok maupun Myanmar.

 

2 dari 3 halaman

Dijanjikan Jadi Marketing Operator Online dengan Gaji Rp 12-15 Juta per Bulan

“Dari proses penyidikan yang kita dapatkan bahwa perekrutan oleh pelaku dengan tawaran ke negara Thailand melalui kerabat, teman, kenalan, kemudian dibantu pengurusan paspor oleh pelaku dan diwawancara, ditampung di rumah dan apartemen pelaku, di mana rumah dana apartemen pelaku tempat kita melaksanakan penangkapan,” ujar Djuhandhani.

Menurut dia, modus operandi dalam kasus ini yakni para korban diberangkatkan tanpa menggunakan perusahaan pekerja migran, tanpa visa, dan dibekali surat tugas untuk mengelabuhi petugas imigrasi.

“Kemudian para korban pergi ke Bangkok dengan alasan untuk interview dan seleksi, korban dibekali tiket pulang pergi Jakarta-Bangkok, kemudaian berangkat secara ilegal ke Myanmar,” terang dia.

Djuhandhani menyebut, para korban dijanjikan pekerjaan sebagai marketing operator online dengan gaji Rp12 juta sampai Rp15 juta per bulan, dan bahkan akan ada komisi lebih apabila mencapai target. Selain itu, mereka diminta bekerja 12 jam sehari dan mendapatkan cuti 6 bulan sekali untuk pulang ke Indonesia.

“Para korban dieksploitasi, diberikan kontrak kerja namun berbahasa China yang tidak dimengerti para korban,” tuturnya.

 

3 dari 3 halaman

Sebagian Korban TPPO Tak Terima Gaji

Pada kenyataannya, para korban diminta bekerja mulai pukul 00.00 sampai 14.00 alias 18 jam dan tidak pernah ada pencairan gaji. Sebagian di antaranya menerima sekitar Rp3 juta, dan sementara yang lain tidak dibayar sepeser pun.

Bila tidak mencapai target, para korban akan dikenakan potongan gaji dan hukuman fisik seperti dijemur, squat jump, lari, bahkan beberapa di antaranya jadi korban pemukulan, disetrum, hingga dikurung.

“Para pekerja di Myanmar ini mereka bekerja dengan cara menggunakan medsos baik Facebook, Instagram, mencari sasaran-sasaran di mana sasarannya warga Kanada dan Amerika. Modusnya menghubungi korban lewat medsos, manakala korban mau divideo call kemudian diaajikan model dari Rusia, dari China,” ungkap Djuhandhani.

Meski tidak bisa berbahasa Inggris, para korban TPPO ini dibekali perangkat dan aplikasi yang dapat digunakan dengan mudah. Mereka tinggal menyalin dan menempel dari yang sudah ada sehingga komunikasi di sosial media berjalan lancar.

“Masih ada tersangka lain ataupun keterlibatan-keterlibatan mungkin kami dalami adalah oknum dan sebagainya, saat ini masih kita dalami,” Djuhandhani menandaskan.