Liputan6.com, Jakarta - Saat ini marketplace sudah jadi bagian yang tak terpisahkan di era digital dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kemudahan satu sentuhan jari yang ditawarkan, membuat pengguna marketplace bisa mendapatkan beragam produk dengan mudah tanpa harus keluar rumah.
Di Indonesia, dari data survei Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2022 yang dilakukan NielsenIQ diketahui masyarakat masih sangat antusias menyambut momen belanja online yang dihadirkan beragam marketplace.
Baca Juga
Tercatat total transaksi yang tercipta mencapai Rp22,7 triliun, jumlah tersebut rupanya 6x lebih besar dari rata-rata belanja online perbulan di momen normal dan terbilang naik sebesar 26 persen dari tahun sebelumnya.
Advertisement
Dengan kemudahan yang diberikan, marketplace telah mendukung kehidupan masyarakat di era digital semakin terasa mulus dan simpel.
Meski terasa sederhana, marketplace sebenarnya dibangun melalui sistem yang kompleks.
Dari segi pemanfaatan marketplace merupakan satu wadah yang besar diisi oleh lebih dari ribuan pengguna baik itu pembeli hingga penjual.
Tidak berhenti sampai di situ, dengan besarnya ruang digital maka marketplace juga harus menyiapkan keamanan siber yang andal.
Secara lebih sederhana Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga menggambarkan bahwa marketplace itu layaknya sebuah mal atau pusat perbelanjaan.
"Platform e-commerce itu diibaratkan seperti mal, nanti orang berjualan di sana. Bedanya sama mal, platform itu yang jualnya ribuan, ya," kata Bima seperti dilansir Antara.
Cara kerja marketplace itu disebut dengan User Generated Content.
UGC artinya pengguna memiliki keleluasaan dan secara mandiri bisa mengunggah dan memasarkan produknya di marketplace untuk dapat dibeli oleh para pembeli.
Tentu ada syarat yang perlu dipenuhi agar pedagang bisa berjualan di marketplace seperti mengisi kelengkapan administrasi hingga menjual produk-produk yang aman untuk masyarakat.
Sistem dari marketplace pun sudah diciptakan dengan pengkategorian yang cukup detail sehingga pedagang diharapkan tidak sembarang menjual produk dan juga bisa memudahkan pelanggan dalam mendapatkan kebutuhannya.
Namun, tetap saja setelah adanya serangkaian pengkategorian dan kebijakan yang cukup ketat, terkadang ada celah yang dimanfaatkan beberapa pedagang nakal untuk menjual produk-produk terlarang maupun produk dengan izin edar terbatas.
Salah satu contoh kasus pedagang nakal yang dimaksud seperti yang pernah terjadi di 2022.
Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir Desember 2022 mengungkapkan lima pelaku pedagang narkotika yang mengelabui sistem di e-commerce mengaku menjual pakan binatang peliharaan.
Namun, dengan penelusuran dan penyelidikan lebih lanjut ternyata mereka menjajakan obat-obatan terlarang.
Dari contoh tersebut, kita bisa belajar bahwa keamanan dan kenyamanan di marketplace bukan hanya tanggung jawab pengelola, melainkan juga pihak lainnya yang terlibat, termasuk pengguna yang juga diharapkan dapat bertanggung jawab untuk menggunakan akunnya untuk berdagang secara daring.
Kolaborasi Semesta
Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam ekosistem marketplace maka untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan yang optimal dibutuhkan kolaborasi semesta, seluruh pihak yang terlibat.
Kerja sama itu artinya tidak hanya menghubungkan dua pihak, tapi, benar-benar melibatkan seluruh bagian dari ekosistem tersebut mulai dari pengelola marketplace, pemerintah, serta pengguna, dan pedagang yang memanfaatkannya pun harus saling bersinergi menciptakan ruang aman di marketplace.
Sebagai asosiasi untuk menciptakan ruang marketplace yang aman dan nyaman, idEA menekankan sosialisasi dan edukasi menjadi kunci untuk menciptakan marketplace sebagai ruang aman dari barang-barang terlarang.
Sosialisasi yang dimaksud ialah terkait regulasi dan kategori produk-produk apa saja yang dilarang seperti baju bekas, narkoba, kosmetik tidak memiliki izin edar, hingga obat ilegal.
"Sosialisasi itu tidak cuma ke pedagang-nya, tapi, juga ke pengguna, dan sosialisasi itu tidak cuma sekali dan dua kali saja dilakukan. Itu harus dilakukan dengan jangka panjang," kata Bima.
Bima mencontohkan untuk kasus thrifting baju bekas, sosialisasi yang dilakukan bukan cuma regulasi dan dasar pelarangan, tapi, harus juga berupa edukasi terkait dampaknya bagi kesehatan dan dampaknya bagi lingkungan.
"Sehingga masyarakat itu paham dan akhirnya minatnya menurun dan pasarnya bisa ditiadakan," kata Bima.
Selain menguatkan pengetahuan pada masyarakat, tentunya dari segi platform harus terus meningkatkan keandalan sistemnya untuk menindak temuan barang-barang terlarang yang berbahaya bagi masyarakat.
Salah satu contoh platform e-commerce yang cukup tegas untuk hal ini adalah Shopee. Shopee memiliki aturan tegas terkait jenis barang yang bisa dan tidak bisa dijual dan memiliki sanksi bagi Penjual jika melanggar aturan yang ada.
Bahkan mereka memiliki tim dan juga teknologi yang mengawasi penjual produk di platformnya, dan mereka akan menurunkan produk terlarang jika ditemukan di platformnya.
Ada juga sistem bernama "poin penalti", sistem berbasis poin tersebut dirancang Shopee untuk menghargai penjual dengan performa toko yang baik agar dapat menjadi pilihan utama para Pembeli dibandingkan Penjual dengan performa toko yang kurang baik. Penjual “nakal” juga akan dikenakan sanksi dan juga teguran melalui push notification hingga produk atau toko mereka terkena blokir, baik secara sementara maupun permanen.
Kebijakan seperti itu secara tidak langsung menyaring Penjual yang berkualitas dengan yang tidak sehingga Penjual terus diuntungkan karena transaksi bisa menjadi lebih terjaga.
Dari sisi asosiasi, idEA juga merangkul kementerian atau lembaga terkait di pemerintahan untuk lebih mudah menangani kasus peredaran produk terlarang.
Kerja sama yang sudah berjalan misalnya dengan BPOM, ketika BPOM mendapatkan laporan dari masyarakat terkait adanya toko yang menjual obat atau makanan terlarang.
BPOM dengan segera memberitahukan kepada idEA untuk menindak lanjuti kasus tersebut.
"Dalam waktu 1x24 jam kita terima laporan kita langsung tindak lanjuti. Ketika ada merchant yang melanggar aturan jika masih pertama kita minta mereka hentikan penjualan produknya secara mandiri. Tapi kalau terus berulang maka kami larang dan bahkan akunnya di-banned," ujar Bima.
Tentunya pemerintah maupun regulator juga harus menyediakan aturan yang tepat guna.idEA menilai untuk saat ini aturan dan hukum yang disiapkan Pemerintah untuk menindak pihak-pihak nakal tersebut telah cukup untuk memberikan efek jera apabila ditegakkan.
Dalam kolaborasi itu tentu masyarakat juga bisa mengambil bagian menghadirkan ruang marketplace yang aman dan nyaman bagi semua pihak. Masyarakat cukup memenuhi prinsip "Follow The Rule" secara aktif sehingga keamanan marketplace bagi banyak pihak bisa optimal.
Saat membeli produk masyarakat bisa melihat terlebih dahulu deskripsi dan ulasan yang sudah ada, setelah itu melihat apakah produk yang dijual sudah memiliki izin edar dan memang diperbolehkan untuk diperjualbelikan.
Dan apabila menemukan produk-produk terlarang dijajakan di marketplace, masyarakat bisa melaporkannya kepada pengelola dengan fitur pelaporan yang disediakan agar produk tersebut tidak lagi diperjualbelikan.
Tugas kolaborasi itu memang tidak mudah, namun yang jelas sesuai prinsip gotong royong karena dikerjakan bersama-sama tentu akan terasa ringan.
"Memang untuk membuat marketplace yang aman dan nyaman ini, langkah yang diambil adalah dengan mengepung hal terlarang dari semua arah. Itu akan lebih efektif karena kalau cuma menunggu satu pihak untuk menangani ini semua tentu akan sulit," kata Bima.
Advertisement