Sukses

Masalah Pajak Impor Emas Kembali Mencuat di Publik, Ini Kata Pengamat

Kasus impor emas batangan yang diduga merugikan negara hingga Rp4,7 triliun kembali mencuat ke publik. Kasus yang sempat mereda pada 2021 ini kembali menjadi perhatian publik.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus impor emas batangan yang diduga merugikan negara hingga Rp4,7 triliun kembali mencuat ke publik. Kasus yang sempat mereda pada 2021 ini kembali menjadi perhatian publik.

Namun, sejùmlah pihak berbeda pandangan mengenai impor emas ini. Ada yang menganggap impor emas batangan yang dilakukan delapan perusahaan ini sudah tidak ada masalah dan sesuai prosedur.

Ada pula yang memiliki pandangan sebaliknya. Delapan perusahaan itu adalah PT Jardintraco Utama, PT Lotus Lingga Pratama, PT Royal Rafles Capital, PT Viola Davina, PT Indo Karya Sukses, PT Karya Utama Putera Mandiri dan PT Bumi Satu Inti, dan PT Aneka Tambang.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengemukakan alasan perbedaan pandangan terjadi. Menurutnya, kasus ini terjadi karena aturan yang multi tafsir dan cenderung ambigu.

"Penentuan pajak bea masuk terhadap impor emas tidak bisa disamaratakan. Sebab, setiap emas batangan memiliki klasifikasi berbeda, termasuk juga nilai pajaknya," ujar Prianto melalui keterangan tertulis, Senin (29/5/2023).

"Emas dengan kode HS 7108.12.10 adalah klasifikasi emas batangan yang akan diolah kembali dalam bentuk bongkah, ingot, atau batang tuangan. Tarif bea masuknya adalah 0 persen," sambung dia.

Kemudian juga, lanjut Prianto, ada emas dengan klasifikasi HS 7108.12.90 selain dalam bentuk bongkah, ingot, atau batang tuangan, dengan tarif BM 5 persen.

Selain itu juga ada klasifikasi HS 7108.13.00 untuk emas bentuk setengah jadi lainnya, dengan tarif BM 5 persen, dan lasifikasi HS 7115.90.10 untuk emas batangan yang langsung siap dijual, dengan tarif BM 5 persen.

"Ini soal bagaimana kita melihat HS Code-nya, karena yang jelas HS code banyak banget ada yang 0 persen, ada yang 5 persen pajak bea masuknya, tergantung di peraturan. Jadi ini soal multi tafsir cara membaca kode HS," beber Prianto.

 

2 dari 3 halaman

Kode Berpengaruh

Menurutnya, cara membaca kode HS ini berpengaruh terhadap besaran pajak. Sehingga ia tidak heran jika Bea Cukai maupun Kementerian Keuangan melihat impor emas yang dilakukan delapan perusahaan tersebut tidak ada masalah.

"Jadi ada kemungkinan itu terjadi karena cara membaca kode tarif dengan rincian di HS code-nya. Misalnya gini, ada barang yang spesifikasi produknya bisa jadi tidak tertuang secara jelas, maka Bea Cukai menafsirkan dan mencocokkan dengan produknya. Sementara pihak lain yang memandang ada potensi kerugian negara memandang dari sisi lain," ucap Prianto.

Ia tidak menampik jika peraturan dalam penantuan harga impor emas ini perlu revisi. Hal ini untuk menghindari potensi adanya celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Peraturan secara umum itu akan mengalami peningkatan kompleksitas, karena dinamika perdagangan yang kompleks tidak mungkin tercapture di sebuah peraturan. Akibatnya peraturan itu harus mengalami revisi revisi, karena tidak bisa mengimbangi perkembangan. Apalagi juga ada pengusaha-pengusaha yang berusaha bermain dengan mencari celah dari peraturan yang ada," terang dia.

"Jadi memang peraturan itu ada celah dan itu tidak mustahil dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menghindari pembayaran pajak, termasuk bea masuk sehingga spesifikasi produknya ambigu ditafsirkan berbeda," sambung Prianto.

 

3 dari 3 halaman

Solusi yang Bisa Dilakukan

Solusi yang bisa dilakukan menurut Prianto, adalah dengan duduk bareng guna mencocokkan barang dengan HS-Codenya.

"Selain itu juga solusinya saya kira harus duduk bareng, karena Bea Cukai juga tidak sembarangan, karena Bea Cukai kan berjenjang dari petugas di lapangan sampai kasi, kepala bea cukai, kepala kantor pelayanan bea cukai, kepala kantor pelayanan utama, dan seterusnya. Itu kan berjenjang," pungkas Prianto.