Sukses

Sejarah Toko Buku Gunung Agung, Berdiri Sejak Jaman Kemerdekaan hingga Kini Harus Tutup

Rencana penutupan Toko Buku Gunung Agung yang berdiri sejak awal kemerdekaan ini berawal dari keterangan yang disampaikan oleh PT GA Tiga Belas, pada Minggu, 21 Mei 2023.

Liputan6.com, Jakarta Kabar penutupan Toko Buku Gunung Agung sontak menjadi perhatian banyak publik Tanah Air. Bagaimana tidak? Selama ini tak sedikit masyarakat yang kerap mendatangi salah satu toko buku besar di Indonesia tersebut.

Rencana penutupan toko buku yang berdiri sejak awal kemerdekaan ini berawal dari keterangan yang disampaikan oleh PT GA Tiga Belas, pada Minggu, 21 Mei 2023.

Sejumlah outlet yang nantinya ditutup antara lain, Jakarta, Bandung, Semarang, Gresik, Magelang, Bekasi, dan Surabaya. Ada pun alasan ditutupnya gerai-gerai tersebut lantaran hasil penjualan yang dinilai tidak mampu menutupi beban oprasional yang semakin besar setiap tahunnya. 

"Penutupan toko/outlet tidak hanya kami lakukan akibat dampak dari pandemi Covid-19 pada tahun 2020 saja, karena kami telah melakukan efisiensi dan efektivitas usaha sejak 2013," tulis direksi PT GA Tiga Belas.

Menilik sedikit kebelakang, tahukah Anda jika sebelum dikenal menjadi Toko Buku Gunung Agung, di awal kemerdekaan diperuntukkan sebagai toko rokok?

Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, permintaan terhadap buku-buku sangat tinggi. Melihat kesempatan tersebut, almarhum Tjio Wie Tay mencoba melebarkan bisnisnya untuk membangun sebuah kios sederhana yang menjual buku, surat kabar, majalah di pusat Jakarta.

Gayung pun bersambut. Masyarakat yang antusias sontak memberi keuntungan yang lebih besar dibanding penjualan rokoknya. Tjio Wie Tay lalu membeli sebuah rumah, tepatnya  di Jalan Kwitang Nomor 13, Jakarta Pusat. Dia bahkan membeli sebuah percetakan kecil dibagian belakang rumah tersebut. 

Melihat permintaan yang sangat tinggi usai kemerdekaan, Tjio Wie lalu membuka toko buku impor dan majalah.

Seiring keuntungan dari penjualan buku lebih besar ketimbang bisnis rokok dan bir, Tjio Wie Tay akhirnya menutup usahanya dan beralih ke toko buku. Untuk diketahui, saat masih menjual rokok dan bir, Tjio Wie Tay membentuk kongsi dagang dengan Lie Tay San dan The Kie Hoat. Kongsi ini bernama Tay San kongsie pada 1945. 

2 dari 3 halaman

Gedung Toko Gunung Agung di Kwitang Diresmikan Presiden Sukarno

Seiring perkembangan bisnis yang semakin besar di awal pasca kemerdekaan, Tjio Wie Tay mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan mengimpor buku, bernama Firma Gunung Agung.

Karena mendapat respons yang positif dari masyarakat, maka pada tahun 1954, pameran buku pertama di Indonesia pun dibuka dengan nama Pekan Buku Indonesia. Modal yang dikeluarkan saat itu sebesar Rp 500 ribu dengan jumlah buku yang dipamerkan sebanyak 10 ribu.

Pada pameran buku tersebut, Gunung Agung memulai tradisi penyusunan bibliografi.

Lewat pameran tersebut, Haji Masagung juga dapat berkenalan dengan dua tokoh yang dikaguminya, yaitu Sukarno dan Muhammad Hatta. Melalui perkenalan itu, Gunung Agung dipercaya untuk menggelar pameran buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa 1954.

Seiring bisnis yang semakin besar, didirikanlah gedung berlantai 3 di Jalan Kwitang Nomor 6. Gedung ini diresmikan langsung oleh Sukarno pada 1963. Tak lama setelahnya, pendiri Tjoe Wie Tay mengubah namanya menjadi Masagung.

3 dari 3 halaman

Pandemi Jadi Titik Tolak

Kini, setelah 70 tahun berlalu, kejayaan Toko Gunung Agung harus berakhir. Pandemi menjadi titik tolak sampai akhirnya pihak manajemen memutuskan untuk menutup sejumlah gerai toko bukunya.

Seperti diketahui, selama berdiri Toko Gunung Agung bisa dikatakan mampu menjawab semua kebutuhan masyakarat yang membutuhkan peralatan tulis, buku bacaan, kebutuhn sekolah, alat musik, dan banyak lagi. 

Menurut laporan ada sekitar 14 toko yang dibuka di 10 kota besar di Pulau Jawa. Sedangkan untuk di Jabodetabek sendiri jumlahnya mencapai 20 toko. 

Saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19, kondisi ini membuat bisnis memnburuk. Imbasnya sejumlah gerai harus ditutup. Mengalami kerugian akibat biaya operasional yang besar menjadi alasannya.Â