Liputan6.com, Jakarta PDI Perjuangan memastikan dukungan kepada kadernya Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Keputusan PDI Perjuangan ini merupakan sikap politik yang paling ditunggu oleh banyak pihak, terutama para elite partai politik yang harus menentukan sikap terkait calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung 2024 mendatang.
Baca Juga
Di balik sosok penunjukkan Ganjar tersebut, tentu ada peran sentral Megawati Soekarnoputri yang dianggap menunjukkan sikap bukan hanya sebagai seorang politikus, namun juga negarawan.
Advertisement
Megawati sebenarnya punya opsi menunjuk Puan Maharani, putri sulungnya yang kini menjadi Ketua Dewan Perwakilan rakyat (DPR) sebagai calon presiden. Pertimbangannya, Puan sudah memiliki rekam jejak, karier politik mentereng sebagai menteri, dan Ketua Parlemen.
Survei Puan juga menunjukkan tren positif, meski elektabilitasnya belum terlalu tinggi. Namun, Megawati memilih Ganjar Pranowo, dan tidak memaksakan ego pribadi. Pakar politik Universitas Bengkulu Sugeng Suharto punya penilaian tentang hal ini, dia menganggap, sikap Megawati ini sebagai bentuk kenegarawanan, yang tidak semua tokoh mampu melakukannya.
"Kalau Megawati egois, dia bisa saja menunjuk anaknya Puan Maharani, karena PDIP bisa mengusung pasangan capres sendiri, tidak perlu berkoalisi," kata Sugeng.
Penunjukkan Ganjar sebagai bakal capres ini juga menandakan Megawati seorang yang realistis. Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam menilai, Megawati sangat berhitung cermat terkait Pilpres 2024.
"Bu Mega tidak menyiapkan skenario gimik antara panasnya relasi Ganjar dengan Puan Maharani. Tapi Bu Mega realistis dengan hitung-hitungan matematika pilpres," jelas Surokim.
Surokim menyebut Megawati punya pengalaman panjang dalam merekomendasikan kandidat, baik di pilpres maupun di Pilkada. Dengan pengalaman itu, Megawati disebutnya sangat realistis dalam konteks pemilu.
"Jadi Bu Mega sangat memperhatikan peluang elektabilitas dan peluang keterpilihan kandidat. Mbak Puan akan ditempatkan pada posisinya yang lebih pas lagi tanpa menganggu kepentingan PDIP untuk hattrick pilpres," jelasnya.
Lebih lanjut Surokim menjelaskan pilihan pada Ganjar menandakan Megawati ingin PDIP kembali menang total dengan meraih elektabilitas tinggi.
"Memilih capres dari kader internal yang punya elektabilitas tinggi dan kompetitif, itu pilihannya sejauh ini ada di Ganjar. Terkait pasang surut relasi Ganjar dengan Puan memang itu menjadi bagian dari dinamika pendukung yang ada di internal partai," ungkapnya.
Keteguhan pada Ideologi Bung Karno
Sikap negarawan Megawati ini tidak hanya ditunjukkan pada saat ini. Pada Pemilu 2014 dan 2019, Ketum PDIP tersebut menunjuk sosok Joko Widodo sebagai calon presiden. Padahal saat itu, Megawati Soekarnoputri bisa saja mencalonkan diri sendiri sebagai calon presiden, bahkan dukungan kader begitu kuat di bawah kendalinya.
Namun, Megawati yang mempunyai hak prerogatif menentukan bakal capres yang diusung justru menunjuk Jokowi sebagai bakal capres yang diusung.
Pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Anwar Saragih menilai, keteguhan megawati pada ideologi pemikiran Bung Karno menjadikannya sebagai politisi perempuan yang mampu bertahan selama hampir empat dekade di tengah maskulinitas politik.
“Kemampuannya membaca arah politik dengan memajukan Capres lewat perenungan mendalam membuat Mega selalu menjadi rujukan utama ketika Pilpres akan berlangsung,” kata dia.
Menurutnya, keterpilihan Jokowi yang diusung PDI Perjuangan sebagai Presiden Republik Indonesia dua periode, yaitu 2014-2019 dan 2019-2024 adalah bukti kematangan politik seorang Megawati. Meski nama Mega menjadi salah satu Capres terkuat 2014 lalu, ia merelakan tiket tersebut dipakai Jokowi demi memajukan Indonesia untuk lebih baik.
Pun, ketika wacana presiden tiga periode muncul ke publik, Mega adalah sosok negarawan pertama yang menentang ide tersebut dengan pijakan argumen konstitusi bahwa masa bakti Presiden Indonesia dibatasi hanya dua periode.
Wacana tersebut perlahan hilang dari perdebatan publik setelah Mega menyampaikan sikapnya untuk menolak ide Presiden tiga periode.
Advertisement