Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkap modus dugaan korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu). Menurut Alex, modus korupsi pejabat di Bea Cukai yakni menerima suap demi membantu menyelundupkan barang ilegal.
"Ya sebetulnya (korupsi di Bea Cukai) ini mirip-mirip dengan perkara pajak. Kalau pajak lebih kurangnya wajib pajak itu umumnya ingin menurunkan beban pajak dengan melakukan negosiasi," ujar Alex dalam keterangannya, Kamis (8/6/2023).
Baca Juga
Alex menyebut modus korupsi di lingkungan Bea Cukai tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu. Menurut Alex, mereka sama-sama menerima suap untuk memuluskan keinginan beberapa pihak.
Advertisement
"Bagaimana Bea Cukai? Sebetulnya Bea Cukai itu penjaga pintu gerbang untuk menjaga, salah satunya mengamankan RI dari barang-barang selundupan. Dan ya memang itu menjadi sangat rawan ketika importir ingin memasukkan barang-barang yang sebetulnya dilarang di Indonesia, atau menurunkan bea masuk. Itu menjadi modus dari aparat atau pejabat di Bea Cukai," Alex menambahkan.
Atas dasar itu, Alex menyebut pihaknya akan menelusuri apakah modus yang diduga kerap dilakukan pejabat Bea Cukai ini pernah dilakukan mantan Kepala Kantor Bea Cukai Makassar Andhi Pramono atau tidak.
"Apakah ada kaitannya ini dengan pejabat yang kita sudah tetapkan, (Andhi Pramono), tersangka itu melakukan persekongkolan pihak importir atau eksportir dengan mengakali dokumen pemberitahuan impor barang atau ekspor barang, menurunkan tarif bea masuk, atau pajak-pajak lainnya sehingga yang bersangkutan menerima gratfikasi?," kata Alex.
"Tentu ini akan dilihat, sebetulnya dalam proses perizinan itu kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian negara. Misalnya tarif yang dibebankan kepada pihak importir atau eksportir lebih rendah dari ketentuan, pasti ada kerugian negaranya. Itu akan didalami penyidik bagaimana yang bersangkutan sehingga menerima gratifikasi atau suap. Ini akan didalami lebih lanjut," Alex menandasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Kantor Bea Cukai Makassar Andhi Pramono sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi di Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu).
Penetapan Andhi Pramono sebagai tersangka bermula dari pemeriksaan laporan harta kekayaannya yang dianggap tak sesuai profil. Dari pemeriksaan tersebut kemudian kini ditingkatkan menjadi penyidikan.
"Benar, dengan ditemukannya dugaan peristiwa pidana terkait penerimaan gratifikasi yang dilakukan oleh salah seorang pejabat di Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu RI dan diperkuat pula dengan adanya kecukupan alat bukti sehingga KPK meningkatkan perkara dimaksud ke tahap penyidikan," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).
Selain itu, Ali juga menyebut pihaknya sudah mengajukan pencegahan ke luar negeri terhadap Andhi Pramono. Tim penyidik sudah mengajukan pencegahan atas nama Andhi Pramono ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
"Cegah diajukan pada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI sejak 12 Mei 2023 untuk periode pertama dan dapat diperpanjang untuk periode ke-2 sebagaimana kebutuhan tim penyidik," kata Ali.
KPK Harap Andhi Pramono Kooperatif
Ali berharap dengan dicegahnya ke luar negeri, Andhi Pramono bisa kooperatif dan mempermudah proses hukum di lembaga antirasuah.
"KPK harapkan sikap kooperatif pihak yang dicegah tersebut agar tetap hadir ketika dipanggil tim penyidik," kata Ali.
Dikutip dari LHKPN KPK, Andhi Pramono memiliki kekayaan Rp 13.753.365.726 atau Rp 13,75 miliar. Dia menyampaikan LHKPN pada 16 Februari 2022 untuk laporan periodik 2021. Dalam LHKPN disebutkan, Andhi menjabat sebagai Kepala Kantor di unit kerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ia menduduki jabatan sebagai Kepala Bea Cukai Makassar.
Kekayaan Andhi Pramono sebesar Rp 13,75 miliar terdiri dari tanah dan bangunan senilai Rp 6,98 miliar. Aset kekayaan tanah dan bangunan itu berada di Salatiga, Karimun, Batam, Bogor, Jakarta Pusat hingga Cianjur. Tanah dan bangunan itu berstatus hasil sendiri dan hibah dengan akta.
Advertisement