Sukses

Soal Penjegalan Anies Baswedan Jadi Capres 2024, Hasto: Belajar dari Sejarah, PDIP Tak Akan Melakukannya

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (Sekjen PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan tuduhan oleh kubu bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan terkait penjegalan dan hambatan adalah hal yang tidak benar.

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (Sekjen PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan tuduhan oleh kubu bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan terkait penjegalan dan hambatan adalah hal yang tidak benar. Ia memastikan PDIP bukan partai yang menjegal lawan politik.

"PDI Perjuangan tidak pernah menghambat karena kami belajar dari sejarah," ujar Hasto Kristiyanto di sela Rakernas III PDIP hari ketiga, Kamis (8/6/2023),.

Hasto menjelaskan maksud belajar dari sejarah, yakni ketika Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri dihambat kepemimpinannya di PDIP di era pemerintahan Orde Baru. Saat itu bahkan hingga kantor partai di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat diserang pada 27 Juli 1996.

Namun dari pengalaman Megawati meski dihambat, pemimpin tetap bisa maju bila pemimpin itu bergerak dengan keyakinan kepada rakyat. Oleh karena itu, menurut Hasto, bila Anies mau bergerak mengakar ke rakyat, seharusnya tak perlu ada ketakutan akan penjegalan.

"Ketika pemimpin bergerak dengan keyakinan mengakar ke rakyat, seluruh hambatan tidak mampu menggulung keyakinan dari pemimpin. Itu pelajaran terbaik. Itu dilakukan Bung Karno, Bu Mega, Presiden Jokowi, dan Pak Ganjar," kata Hasto.

Hasto pun menceritakan bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga banyak mendapat rintangan saat dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta kemudian menjadi capres 2024.

"Ketika kita lihat pengalaman dari Pak Jokowi. Ketika dari gubernur melangkah menjadi calon presiden dan kemudian terpilih menjadi presiden, begitu banyak penjegalan. Tetapi sikap dari Pak Jokowi, Pak Ganjar, dan PDI Perjuangan itu kan selalu percaya pada jalan keyakinan. Bahwa ketika politik itu berbasis kinerja, ketika politik itu mampu menyerap aspirasi rakyat, dan dituangkan di dalam narasi kemajuan, maka itu mendorong rakyat untuk bergerak bersama," beber Hasto.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Wajar Hadapi Ujian Jelang Pemilu

Menurut Hasto, wajar jika setiap pemimpin akan menghadapi segala bentuk ujian. Terlebih jika sosok pemimpin itu mempunyai prestasi. Namun bisa saja muncul upaya pencitraan ‘seakan-akan diganjal padahal faktanya tidak’ agar mendapat perhatian.

"Pemimpin yang berprestasi selalu dihadapkan dengan ujian, tapi pemimpin yang tidak berprestasi menciptakan ganjalan-ganjalan seolah-olah seperti ujian," ungkap Hasto.

Politikus Yogyakarta ini menyampaikan, PDIP tak akan melakukan upaya penjegalan tersebut. Karena sebenarnya rakyat sendiri yang akan menilai sosok calon pemimpin ke depannya, kualitas kerja dan ketulusan hatinya.

"Ya buat apa kami melakukan ganjalan? Karena rakyat sudah menceritakan kinerjanya (Anies). Sumur resapan yang tidak membawa manfaat, misalnya. Lalu apa yang dilakukan Presiden Jokowi begitu baik di Jakarta, tidak dilanjutkan (Anies)," pungkas Hasto.

 

3 dari 4 halaman

Denny Indrayana Sebut Anies Baswedan Dijegal Maju Pilpres 2024, Pembisiknya Sosok Wapres

Sebelumnya, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menyatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendesain agar hanya ada dua pasangan calon (paslon) yang maju Pilpres 2024 dan menjegal langkah Anies Baswedan. Informasi itu disebutnya berasal dari sosok wakil presiden RI.

“Sebagai bukti awal, saya tuliskan kesaksian seorang tokoh bangsa, yang pernah menjadi wakil presiden, bahwa Presiden Jokowi sedari awal memang mendesign hanya ada dua capres dalam Pilpres 2024, tanpa Anies Baswedan,” tutur Denny dalam akun Twitter pribadinya, Rabu 7 Juni 2023.

Lewat surat terbuka untuk pimpinan DPR RI, dia meminta agar segera dimulai proses pemakzulan Presiden Jokowi. Salah satunya sikap cawe-cawe terkait kontestasi Pilpres 2024.

“Saya bertanya kepada Rachland Nashidik kenapa Presiden Keenam SBY di pertengahan September 2022 menyatakan akan turun gunung mengawal Pemilu 2024. Menurut Rachland, hal itu karena seorang Tokoh Bangsa yang pernah menjadi Wakil Presiden menyampaikan informasi yang meresahkan kepada Pak SBY. Sebelumnya, sang tokoh bertemu dengan Presiden Jokowi dan dijelaskan bahwa pada Pilpres 2024 hanya akan ada dua capres, tidak ada Anies Baswedan yang akan dijerat kasus di KPK,” terang dia.

Denny menegaskan, kesaksian tersebut tentu harus divalidasi kebenarannya sebagai bukti awal. Dia pun kembali menyarankan DPR melakukan investigasi melalui hak angket yang memang dijamin oleh UUD 1945.

“Meski sadar bahwa konfigurasi politik di DPR saat ini sulit memulai proses pemakzulan, sebagai warga negara yang mengerti konstitusi, saya berkewajiban menyampaikan laporan ini. Saya tidak rela UUD 1945 terus dilanggar oleh Presiden Joko Widodo demi cawe-cawenya, yang bukanlah untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi dalam pandangan saya adalah semata untuk kepentingan pribadi dan demi oligarki bisnis di belakangnya,” Denny Indrayana menandaskan.

 

4 dari 4 halaman

Jokowi Biarkan Moeldoko Ganggu Demokrat

Denny juga meminta DPR RI memulai proses pemakzulan Presiden Jokowi. Salah satu alasan lantaran kepala negara membiarkan anak buahnya mengganggu kedaulatan partai politik, dalam hal ini Partai Demokrat.

"Presiden Jokowi membiarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, mengganggu kedaulatan Partai Demokrat, dan ujungnya pun menyebabkan Anies Baswedan tidak dapat maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024,” tutur Denny.

Menurut Denny, tidak mungkin Jokowi tidak mengetahui Moeldoko mengganggu Partai Demokrat, salah satunya lewat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).

Anggaplah Presiden Jokowi tidak setuju, sambungnya, dengan adanya langkah dugaan pembegalan partai yang dilakukan oleh KSP Moeldoko itu, maka Jokowi telah terbukti membiarkan pelanggaran Undang-Undang Partai Politik yang menjamin kedaulatan setiap parpol.

"Lucu dan aneh bin ajaib ketika Presiden Jokowi membiarkan saja dua anak buahnya berperkara di pengadilan, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko menggugat keputusan yang dikeluarkan Menkumham Yasonna Laoly. Jika tidak bisa menyelesaikan persoalan di antara dua anak buahnya sendiri, Jokowi berarti memang tidak mampu dan tidak layak menjadi Presiden,” jelas dia.

Atas dasar itu, Denny mendorong DPR RI segera menggunakan hak angket untuk menyelidiki dan memulai proses pemakzulan Presiden Jokowi.

"Hak Angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi membiarkan atau bahkan sebenarnya menyetujui-lebih jauh lagi memerintahkan-langkah KSP Moeldoko yang mengganggu kedaulatan Partai Demokrat?,” Denny menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.