Sukses

Praktik Korupsi di Indonesia Sejak Ratusan Tahun, Alami Pola yang Sama?

Berbagai kasus korupsi hingga saat ini masih jadi sorotan dan diperbincangkan masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak orang tahu, gedung bekas perusahaan milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, kini telah berubah fungsi. Gedung yang berlokasi di Jalan Warung Buncit Nomor 21, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan itu diubah jadi Pusat Studi Arsip Pemberantasan Korupsi milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Gedung lima lantai itu merupakan hasil tindak pidana pencucian uang dari sejumlah kasus korupsi Nazaruddin. Saat ini ANRI menyelenggarakan pelayanan arsip statis tindak pidana korupsi dari masa kolonial hingga kemerdekaan.

Kepala ANRI, Imam Gunarto menyebut, permasalahan terbesar di Indonesia, kasus korupsi terjadi mulai tingkat terendah pemerintahan hingga yang tertinggi. Bahkan, permasalahan terkait korupsi sudah tercatat sangat panjang dan tersimpan rapi di kantor ANRI. Mulai bukti pelaksanaan korupsi, teknis, metode, hingga penanganannya.

Sejarah mencatat, korupsi telah terjadi sejak masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur pada tahun 1602 atau 343 tahun sebelum Indonesia merdeka. Saat itu VOC yang berjaya pun hancur karena praktik korupsi.

Imam juga mencontohkan praktik korupsi yang tercatat oleh VOC dalam arsip yang tersimpan di ANRI. Pada Hoge Regering atau pemerintah agung VOC tercatat, di Padang, Sumatera Barat, yang banyak menghasilkan lada telah terjadi manipulasi perhitungan timbangan.

Berdasarkan catatan tersebut, seharusnya lada dilaporkan sebanyak 150 pikulan. Namun, yang dilaporkan hanya 15 pikulan. Catatan tersebut dilakukan oleh juru timbang di sebuah pabrik pada tahun 1702.

"Jadi, 100 tahun kemudian, administrasi VOC mencatat adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pegawainya, entah itu di gudang dan sebagainya. Ini kebetulan kaitannya dengan laporan di gudang. Ini contoh saja. Masih banyak ini contoh-contoh arsip VOC yang menggambarkan bagaimana korupsi dan jenis-jenisnya yang dilakukan," kata Imam kepada Liputan6.com.

Berdasarkan arsip yang ada, Imam menyebut, korupsi pada masa lampau diakibatkan karena sistem pemerintahan menggunakan sistem adat. Raja kecil setiap wilayah atau penguasa lokal memperoleh hadiah semacam upeti dari rakyatnya. Upeti pada saat itu salah satu bentuk adat istiadat yang bukan dimaknai sebagai korupsi namun sebagai bentuk pengabdian.

Saat itu pengabdian yang sering kali diberikan dapat berupa benda atau tenaga. Untuk tenaga misalnya, masyarakat berkewajiban bekerja di tempat si penguasa wilayah tersebut. Mulai dari tukang bersih-bersih hingga memberikan makan ternak peliharaan.

Tetapi kemudian adat istiadat ini digunakan pemerintah Belanda untuk mengatur para pribumi. Jadi, Belanda menjajah tidak langsung ke masyarakat.

"Belanda itu menguasai dulu para pembesar pribumi. Pembesar pribumi yang punya kewenangan mengatur rakyatnya, karena rakyatnya bekti ya, mengabdi. Kalau di beberapa budaya kita, raja itu wakil Tuhan, jadi pengabdian kepada mereka sangat tinggi," ujar Imam.

Pengumpulan Arsip Korupsi Zaman Hindia Belanda

Sebenarnya, arsip yang tersimpan itu terdiri dari berbagai macam koleksi. Namun, dalam pengumpulannya tetap menggunakan prinsip kearsipan.

Untuk kasus korupsi dilakukan secara lembaga atau pencipta arsip, mulai sejak kolonial hingga saat sekarang. Saat masa Hindia Belanda, mereka mendirikan Lands Archief pada tahun 1892 yang setelah kemerdekaan diwariskan kepada Indonesia.

Kemudian ANRI melakukan assessment, penilaian, dan menarik arsip-arsip yang bernilai kebangsaan dari kementerian, lembaga, organisasi, perusahaan, bahkan perorangan untuk menjadi memory collective bangsa. Lalu menjadi arsip yang bernilai kebangsaan.

Pengumpulan tersebut dilakukan secara mengakuisi berdasarkan Undang-Undang 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Undang-Undang ini memerintahkan semua kementerian, lembaga dan perusahaan untuk menyerahkan arsip yang bernilai sejarah kepada ANRI.

"Untuk arsip-arsip perorangan, arsip keluarga, biasanya kami dekati. Ada tokoh-tokoh besar yang punya peranan pada satu peristiwa tertentu, kami datangi, kami wawancarai, kemudian arsipnya kami tarik kalau diperbolehkan," ujar Imam. "Jika tidak, kami digitalisasi, kami selamatkan di sini. Jadi cara pengumpulannya bisa bermacam cara, nantinya dikumpulkan di Depo Penyimpanan Arsip."

Untuk arsip terkait permasalahan dan pencegahan korupsi juga tercatat dari setiap lembaga yang melaporkan. Untuk saat ini, lembaga yang paling banyak menyerahkan dokumen sebagai arsip adalah KPK.

Karena itu, Imam mengharapkan Pusat Studi Arsip Pemberantasan Korupsi yang diresmikan pada 20 Desember 2020 tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah korupsi berdasarkan masa lalu.

Sebab, kata Imam, pemberantasan korupsi tidak hanya harus dilakukan oleh KPK, Kejaksaan Agung, atau Polisi saja, namun semua pihak. "Orang agar tahu bahwa korupsi bisa sangat membahayakan. Bangsa kita bisa hancur karena korupsi kalau tidak kita tangani dengan baik. Nah, itu belajarlah dari arsip yang kita simpan," Imam menandaskan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Sudah Terjadi Sejak Masa Kolonial

Sejarawan Bonnie Triyana menyebut praktik korupsi di Indonesia sudah terjadi sejak masa kolonial. Berdasarkan sejarah praktik korupsi, nominal atau besaran kerugian bukanlah ukuran pertama. Namun yang terpenting yakni seberapa keras dan kuat bangsa ini untuk memeranginya.

"Bahkan VOC sebagai perusahaan multinational milik Belanda juga bangkrutnya gara-gara korupsi sampai," kata Bonnie kepada Liputan6.com. Sampai-sampai, kata Bonnie, dalam istilah Bahasa Belanda ada plesetan dari kepanjangan VOC itu, Verhand Onder Corruptie yang artinya hancur dalam korupsi. "Jadi, praktiknya sudah banyak, sudah lama," Bonnie menambahkan.

Kata Bonnie, pada tahun 1978, Bung Hatta pernah membuat sindiran terkait praktik korupsi yang menjadi kebudayaan di masyarakat. Kebudayaan yang sering kali dikaitkan dengan suatu hal yang luhur itu dilekatkan dengan korupsi. Artinya, praktik korupsi sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, masyarakat tidak sadar bahwa suatu hal yang kita praktikkan itu adalah korupsi.

"Kita pernah enggak sih dalam keseharian dengar istilah uang bensin, uang rokok. Kemudian ada istilah dulu, pegawai negeri katanya gajinya sedikit tapi sampingannya banyak. Itu sebenarnya perilaku-perilaku koruptif yang diadopsi menjadi permisif. Jadi itu semacam kayak excuse gitu ya sehingga korupsi menjamur," ujarnya.

Pemberantasan Korupsi Saat Indonesia Merdeka

Dalam penyelenggaraan negara, korupsi merupakan usaha untuk memperkaya orang lain dan memperkaya diri sendiri. Bahkan, tindakan korupsi merupakan bentuk salah alokasi yang bukan seharusnya.

Untuk mengurangi korupsi sejumlah langkah telah dilakukan sejak pemerintahan Orde Lama. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan).

Lembaga yang diketuai Sri Sultan Hamengkubuwono IX itu bertugas mengawasi setiap aktivitas aparatur negara dan pengawasan keuangan. Kemudian Soekarno menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Lembaga tersebut diprakarsai dan diketuai AH Nasution.

Setelah itu ada Komando Retooling Aparatur Negara (Kotrar) yang juga ditunjuk untuk membersihkan praktik-praktik korupsi.

"Namun, sejauh apa bisa berhasil akan kita uji dalam diskusi kita. Ketika masa Orde Lama berakhir, kritik dari mereka yang mendirikan Orde Baru di bawah rezim Soeharto juga sama. Kritiknya, rezim Soekarno tidak mampu membersihkan korupsi. Kemudian peraturan Prp Nomor 24 Tahun 1960 dianggap tidak efektif, tidak efisien, dalam memerangi korupsi," ucapnya.

Bentuk TPK

Beberapa tahun kemudian, di masa Orde Baru, kata Bonnie, Presiden Soeharto sempat membentuk Tim Pemberantasan Korupsi atau TPK yang Tim tersebut diketuai Jaksa Agung Soegih Arto pada 16 Agustus 1967. Kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Waktu itu juga diikuti pendirian tim pemberantasan korupsi. Sejumlah tokoh bangsa diikutsertakan.

"Kalau kita lihat dari sejarah, baik dari Masa Orde Lama, seperti Orde Baru zaman Soeharto, ternyata tidak lebih baik daripada zaman Soekarno dalam pemberantasan korupsi. Malah lebih marak dan menjamur lagi praktik korupsi. Itu membuktikan ikhtiar untuk menindak para koruptor melakukan tindak korupsi ini juga enggak pernah berhasil, dalam arti mencapai satu detik yang memuaskan," paparnya.

Bonnie menyebut, dalam persoalan korupsi berdasarkan sejarahnya tidak adanya kemauan politik pemerintah secara tulus dan ikhlas. Kemudian tidak adanya ketegasan penegakkan hukum yang rumit untuk diatasi. Selain itu, pengawasan pun dinilai masih kurang sehingga perilaku koruptif itu mendapatkan satu celah untuk terus berlanjut.

"Jadi, kalau kita bicara pengawasan, kemudian ke penindakan, ada kalanya itu up and down, naik-turun. Ada kalanya pengawasannya bagus kemudian apalagi namanya, pencegahannya juga bagus. Tapi ketika ada kasus penindakannya kurang bagus. Akhirnya jadi kayak lingkaran setan tuh sepanjang sejarah kita," ujar Bonnie lagi.

3 dari 5 halaman

Ada Rasa Maklum dari Masyarakat?

Di masa reformasi, Indonesia memiliki UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian ada pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan UU yang ada tersebut sejumlah kasus yang menyeret menteri dan pejabat lainnya terbogkar dibandingkan saat pemerintahan Orde Baru.

"Saya pikir sepanjang perjalanan kita sebagai bangsa selalu menghadapi persoalan yang sama. Tapi ukurannya seberapa kencang dan seberapa kuat kita memerangi korupsi itu sendiri," ujar Bonnie.

Sementara itu, terdapat sejumlah hal yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan korupsi di Indonesia. Pertama, adanya pendidikan yang dapat memberikan kesadaran kepada semua pihak. Kedua, sistem yang jelas dari pemerintah. Ketiga, penegakan dan pengawasan yang sesuai sistem yang tidak memberikan kemungkinan orang untuk main-main. Sehingga memberikan efek jera. Sebab saat ini vonis para koruptor tidak membuat jera.

"Sekarang misalkan di pemerintahan sudah ada e-catalogue mengenai barang di mana orang nggak bisa main mark up meninggikan harga seenak dia. Dan seberapa kuat kita memerangi korupsi enggak bisa juga melibatkan hanya pemerintah tapi juga society, semua pihak," dia menandaskan.

ICW: Korupsi Bukan Budaya 

Sementara itu, peneliti ICW Nisa Rizkiah tidak setuju bila tingginya angka kasus korupsi di Indonesia dianggap sesuatu hal yang sudah membudaya di masyarakat. Sebab, korupsi merupakan perilaku rendah sehingga tidak tepat jika disebut sebagai budaya.

Kemungkinan, istilah budaya yang dimaksudkan masyarakat karena sudah terjadi di hampir semua sektor dalam kehidupan sehari-hari. Menurut dia, masyarakat Indonesia pada umumnya memahami dampak dari praktik korupsi.

Namun di sisi lain, masyarakat tidak sadar banyak hal-hal kecil di masyarakat juga masuk dalam kategori korupsi. Contoh bentuk korupsi dalam kehidupan sehari-hari misalnya, ketika masyarakat datang ke kantor pemerintahan untuk mengurus surat atau dokumen tertentu kadang dihadapkan pada situasi yang sulit.

Beberapa orang berpikiran petugas harus diberikan uang untuk mempercepat proses tersebut. Di sisi lain, ketika terdapat pelayanan yang bagus, beberapa kalangan masyarakat merasa segan atau tidak enak dan berujung memberikan sejumlah uang kepada petugas karena merasa terbantu.

Contoh lainnya adalah pemberian hadiah kepada guru atau wali kelas di sekolah yang telah membantu anaknya. Pada akhirnya, hal tersebut menyebabkan perilaku koruptif.

"Padahal itu tidak perlu dilakukan. Itu adalah contoh dari tindakan koruptif yang hadir dari diri kita sendiri. Karena para petugas pelayanan masyarakat ini sudah digaji negara. Tugas mereka memang melayani masyarakat," kata Nisa kepada Liputan6.com.

Sedangkan untuk kasus yang dipersulit petugas layanan publik, Nisa melarang masyarakat memberikan uang atau hadiah dalam bentuk apapun. "Jadi ada dua sisi nih, satu sisi masyarakat sudah paham membenci tindakan korupsi, tapi di sini yang lain kadang masih ada pemakluman-pemakluman," ucapnya.

Nisa menilai pemakluman masyarakat dikarenakan adanya beberapa oknum yang sengaja memproses surat lumayan lama demi diberikan uang ucapan terima kasih. Selain itu, sering kali masyarakat berpatokan pada nominal atau angka kerugian negara akibat korupsi.

Padahal cara pandang seperti itu harusnya diubah. Sebab besar kecilnya angka korupsi tetap akan merugikan semau pihak. Misalnya bayar pajak kepada negara yang harusnya masyarakat mendapatkan imbalan dengan adanya pelayanan publik yang bagus.

"Jadi jangan lagi melihat uang kita yang tidak hilang yang ada di dompet. Tapi coba lihat uang kita yang sudah masuk ke negara yang harusnya kembali lagi ke kita untuk mendapatkan akses layanan publik," ucapnya.

 

4 dari 5 halaman

Korupsi Membunuh Masyarakat

Nisa membandingkan Indonesia dengan negara Skandininavia yang paling rendah tingkat korupsinya. Masyarakatnya mendapatkan pelayanan publik, akses rumah, hingga kualitas pendidikan yang bagus. Sedangkan hal tersebut belumlah dirasakan di negeri ini.

"Korupsi itu sebetulnya juga sangat merugikan dan bisa membunuh kita. Dalam artian membunuh, ada cerita di Sulawesi Selatan, seorang ibu yang akan melahirkan, tapi kesulitan akses, karena tinggal di desa terpencil dan untuk menuju ke rumah sakit itu jauh," lanjut Nisa.

Nisa melanjutkan, "Jalannya tidak tersedia untuk mobil makanya dia harus ditandu selama tujuh jam untuk mencapai ke jalanan. Dari situ baru dia bisa naik mobil ke rumah sakit utama. Sampai di rumah sakit, dia melahirkan, setelah melahirkan ibu dan anak meninggal. Dugaan dokter di rumah sakit karena terlalu lama ditandu."

Nisa pun menyebut terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, tidak ada efek jera yang diterima oleh koruptor. Sebab regulasi atau aturan yang dimiliki belum efektif. Misalnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang belum banyak digunakan untuk menjerat para koruptor.

Belum Ada UU Perampasan Aset

Lalu hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU terkait perampasan aset. Nisa juga menyebut vonis yang diberikan masih terlalu ringan, antara 3-5 tahun. Kemudian faktor lain adalah individu yang mempunyai sikap rakus terkait peluang yang ada.

"Karena kalau kita bicara soal korupsi itu kan dalam teorinya dilakukan biasanya karena dua hal, karena kebutuhan dan kerakusan. Kalau kita lihat pelaku-pelaku korupsi yang ada di Indonesia, apakah mungkin mereka korupsi karena kebutuhan? Karenaa yang melakukan korupsi adalah pejabat publik yang gajinya sudah lebih dari cukup," paparnya.

Karena itu, Nisa meminta adanya kerja sama semua pihak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dan tidak hanya membebankan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena, berbagai praktik korupsi sudah mengakar.

Sebab cikal-bakal mengenai korupsi sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka atau saat masa perdagangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Bahkan perusahaan sebesar VOC kala itu hancur juga karena korupsi.

Saat masa kolonial, masyarakat mengenal budaya upeti yang diberikan kepada raja setiap wilayahnya. Upeti biasanya berupa hasil bumi atau panen. Jika dilihat dalam konteks saat ini, upeti merupakan tindakan suap. Sebab masyarakat memberikan sesuatu kepada pejabat publlik.

 

Nisa menyebut, praktik serupa terus terjadi setelah merdeka hingga saat ini. Saat masa Orde Lama pun sejumlah korupsi yang dilakukan pejabat negara juga sudah terjadi, meskipun saat itu keadaan ekonomi Indonesia pasca merdeka masuk kategori negara miskin.

Modus yang dilakukan yaitu penyalahgunaan wewenang hingga penerimaan suap. Misalnya yakni pada tahun 1955 yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman pada kabinet Ali Sastroamidjojo I, Djody Gondokusumo. Saat itu dia menerima suap dari seorang pengusaha agar mendapatkan visa. Djody menerima suap sebesar Rp 40 ribu. Kemudian ada pula Menteri Perekonomian Iskhak Tjokroadisurjo, yang memberikan izin lisensi impor pada kerabat dekatnya.

"Jadi, berdasar contoh-contoh tadi, korupsi sebenarnya bukan barang baru di Indonesia, Modus-modusnya kan sekarang juga banyak ya pejabat-pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang. Kemudian misalnya memasukkan keluarganya jadi apa jadi apa, sebagai apalah kan banyak," ujar Nisa.

Pada masa Orde Baru, sejumlah kasus di sejumlah institusi mengemuka. Mulai dari Pertamina, Bulog hingga PN Telekomunikasi. Bahkan, kata Nisa berdasarkan laporan dari Transparansi Internasional tajun 2004 disebutkan jika Presiden Soeharto ditempatkan sebagai salah satu presiden terkorup. Dugaan perkiraan korupsinya sebesar 15-25 miliiar dolar AS.

"Tapi, ini kan lagi-lagi secara hukum kan tidak ada pembuktian. Namun, reformasi itu sebenarnya menjawab, kenapa Soeharto diminta turun? Karena salah satunya kan korupsi yang sudah merajalela di lingkaran pemerintah," ujar Nisa lagi.

 

5 dari 5 halaman

Kolaborasi Semua Pihak

Usai reformasi sejumlah kasus mega korupsi mulai terkuak, misalnya kasus korupsi Bantuan Likuiditas Nak Indonesia (BLBI) yang merugikan negara ratusan triliun rupiah sejak lebih dari dua dekade. Lalu kasus proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang tercatat menjadi salah satu kasus korupsi besar yang pernah ada dengan nilai kerugian mencapai Rp 706 miliar.

Kemudian dari Kejaksaan Agung (Kejagung) juga terungkap adanya kasus dugaan tindak pidana korupsi. Ini terkait pengelolaan dana pensiun pada Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan (DP4) tahun 2013 sampai dengan 2019 dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp148 miliar lebih.

Kemudian ada pula kasus E-KTP yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang bergulir sejak 2011 dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Juga Kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya menjerat delapan orang dan 13 korporasi sebagai tersangka dan berdasarkan temuan BPK, kasus tersebut merugikan negara mencapai Rp16,81 triliun.

Bahkan, yang terbaru, dugaan kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung BAKTI Kominfo dengan kerugian keuangan negara mencapai Rp 8 triliun. Kendati begitu, Nisa tetap optimistis korupsi dapat diberantas.

"Paling penting, yang paling urgent adalah konsolidasi, kerja sama, kolaborasi semua pihak, kesadaran semua pihak untuk satu, tidak berbuat korupsi minimal-minimalnya dimulai dari diri sendiri. Selanjutnya, ikut serta dengan cara apa pun untuk memberantas korupsi," Nisa menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.