Liputan6.com, Jakarta Pemprov DKI Jakarta mewaspadai adanya penurunan kualitas udara akibat musim kemarau. Nantinya bakal memperketat penerapan kebijakan uji emisi dan ganjil genap untuk mengurangi sumber polusi dari sektor transportasi.
"Polusi udara di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi yang menyebabkan polusi baik yang berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto melalui keterangannya, Jumat (16/6/2023).
Baca Juga
Menurut dia, di wilayah DKI Jakarta mulai memasuki musim kemarau sejak bulan Mei hingga Agustus 2023. Selama musim kemarau tersebut juga akan ada penurunan kualitas udara yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi partikel udara.
Advertisement
Hal tersebut terjadi karena curah hujan dan kecepatan angin rendah mengakibatkan partikel udara akan terakumulasi dan melayang di udara dalam waktu yang lama.
"Dengan adanya tren memburuknya kualitas udara pada saat musim kemarau ini, Pemprov Jakarta semakin memperketat upaya-upayanya untuk mengurangi sumber polusi di Jakarta," jelas Asep.
Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta mempunya sejumlah aturan sebagai upaya pengurangan sumber emisi polusi udara.
Adapun diantaranya, Peraturan Gubernur Nomor 66 tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, Pergub Nomor 76 tahun 2020 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil Genap, dan Instruksi Gubernur Nomor 66 tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara.
Sehingga nantinya akan ada kebijakan untuk memperketat penanganan penurunan kualitas udara salah dengan meningkatkan kegiatan uji emis kendaraan, pengawasan emisi dari sektor industri, dan juga berkoordinasi untuk pengetatan kebijakan ganjil genap di Jakarta.
Â
Pergerakan Angin
Disisi lain, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan terkait dengan proses pergerakan partikel di udara karena dipengaruhi oleh pergerakan angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain.
"Angin yang membawa PM2.5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain, sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi PM2.5," kata dia.
Selain itu, adanya kelembaban udara yang relatif tinggi sehingga dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan.
Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.
"Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring," kata Ardhasena.
Â
Reporter: Rahmat Baihaqi/Merdeka.com
Advertisement