Sukses

Megawati Dukung Pengembangan Indonesia Berbasis Paradigma Maritim, Bukan Kontinental

Presiden Kelima RI yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Megawati Soekarnoputri merasa bersyukur soal adanya peningkatan kesadaran akan keunggulan Indonesia sebagai maritim, bukan negara kontinental yang dibangun dengan wawasan daratan.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Kelima RI yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Megawati Soekarnoputri merasa bersyukur soal adanya peningkatan kesadaran akan keunggulan Indonesia sebagai maritim, bukan negara kontinental yang dibangun dengan wawasan daratan.

Hal itu diungkapnya saat menjadi pembicara kunci dalam acara seminar internasional Hari Hidrografi Dunia 2023 dengan tema “Hydrography; Underpinning The Digital Twin of The Ocean” yang digelar di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (21/6/2023). 

“Syukur alhamdulillah bahwa kesadaran akan Indonesia unggul sebagai bangsa bahari semakin meningkat jadi kerja sama antar Badan Riset Inovasi Nasional dengan Pusat Hindro Oseanografi TNI Al menjadi bukti. Pushidrosal telah berhasil menempatkan tanggung jawab Indonesia melalui ekspedisi Jala Citra satu, dua, dan tiga," kata Megawati.

Ketua Umum PDI Perjuangan ini mengingatkan jika perubahan dinamika peradaban harus selalu dijadikan sebuah dasar pikir. 

Ia lantas menilai bahwa anak-anak muda Indonesia yang pergi ke luar negeri. Tapi tak banyak mengadaptasikan pikirannya untuk negara, terutama soal Indonesia merupakan negara kepuluan.

"Sebagai contoh ketika saya presiden, saya bertanya pada para dirjen yang terutama mereka yang ada kaitannya dengan perhubungan. Saya tanya, coba tolong, dari tiga transportasi darat, laut, udara, mana yang paling utama? Rata-rata pada waktu itu mengatakan darat. Jadi saya ketawa saja dan saya suruh ulang 'berati kamu belum beradaptasi dengan negaramu'. Sebetulnya seperti apa? (Karena) Masih berpikir secara kontinen," kata Megawati.

Dia pun mengingatkan, jika Indonesia merupakan negara kepuluan terbesar di Dunia. Ia kemudian menceritakan bagaimana Indonesia di jaman Bung Karno.

Kala itu, kata dia, Indonesia juga belum memiliki aturan kedaulatan wilayah sebuah negara berdasar batas zona lautannya. Dari dasar itu lah kemudian muncul deklarasi Djuanda yakni hukum internasional untuk pengakuan kedaulatan wilayah berdasarkan batas lautan.

"Pada waktu itu saya ingat karena belum ada suatu aturan maka kapal asing pun bisa masuk ke selat-selat kita. Oleh sebab itu ketika itu digodok pada waktu jaman Bung Karno yang akhirnya disebut deklarasi Djuanda. Itu lah yang menutup ruang lingkup seluruh tanah air kita ini. Jangan salah, tanah air kita ini itu menjadi sebuah negara," kata Megawati.

"Negara yang tertutup, tidak bisa kapal kapal yang datang bebas melalui selat-selat dan lain sebagainya. Dan demikian juga hal-hal yang harusnya menjadi wilayah kita seperti pulau-pulau terluar dan sebagainya," sambungnya.

Karena adanya deklarasi Djuanda, mau tak mau setiap negara wajib memiliki penguasaan akan hidrografi dan hidro-oseanografi.

 

2 dari 2 halaman

Selalu Ada Pembaharuan di Dunia Maritim

Megawati kemudian meminta untuk ke depannya selalu ada pembaharuan, terlebih dalam dunia maritim Indonesia.

"Jadi apa dengan adanya deklarasi Djuanda ini konsekuensinya menempatkan hindrologi dan oseanografi tadi saya berbicara pada bapak bapak berdua bahwa selalu harus ada updating (pembaharuan)," tuturnya.

Megawati menceritakan, di era pemerintahan Proklamator dan Presiden Pertama RI, Soekarno, cara pandang Indonesia sebagai negara maritim itu sudah mengedepan. Ia lantas menceritakan bagaimana pertama kali Universitas Pattimura didirikan.

Kala itu, perguruan tinggi tersebut didirikan oleh Bung Karno dengan tujuan agar menjadi pusat oseanografi terbesar di Asia Tenggara. Namun, saat ini Megawati tak yakin jika universitas tersebut masih memiliki tujuan yang sama atau tidak.

"Tapi apakah sudah tidak disesuaikan seperti apa yang seharusnya? Padahal menurut saya ide itu sangat baik oleh Bung Karno. Yaitu Universitas Pattimura itu sebenarnya seharusnya dijadikan pusat oseanografi terbesar di Asia Tenggara. Sekarang pasti tidak seperti itu lagi," katanya.