Sukses

Marsius Sitohang dan Musik Tradisional Batak Toba

Marsius membangun jati diri musik tradisional Batak Toba melalui pentas demi pentas. Begitu pula menjadi dosen luar biasa di Kampus Etno-Musikologi, Universitas Sumatra Utara.

Liputan6.com, Medan: Tubuhnya kurus. Pakaian yang dikenakan pun biasa saja. Memang, tak ada yang menonjol dari penampilan fisik Marsius Sitohang. Yah, memang begitulah dia. Tetap sederhana. Padahal, prestasi bermusik Marius tak remeh-temeh. Lelaki berkumis ini bisa dibilang bapaknya musik tradisional Batak Toba. Dia juga pernah melanglang buana ke berbagai negara untuk mempertunjukkan kebolehannya bermusik.

Hidup mungkin yang mengajarkan Marius tetap demikian. "Dulunya aku bukan apa-apa," kata Marsius kepada SCTV, baru-baru ini. Marsius mengatakan, pencapaian yang sekarang pun bukan tanpa perjuangan. Dia mesti jungkir balik dulu untuk menggapainya. Dari panggung ke panggung. "Mulanya saya hanya sebagai pengambil kayu dan penarik layar pertunjukkan. Main suling pun aku belum bisa," ungkap suami Desma Boru Naibaho ini.

Bermain musik dari pesta ke pesta bersama kelompoknya, Sokonauli sudah menjadi bagian dari hidup Marsius. Tuntutan profesi ini pula yang menyebabkan Marius harus rela tak bertemu keluarga dalam waktu panjang. Pilihan ini seperti tak bisa ditawar, meski dia sangat sadar dengan kondisi tersebut. "Beginilah cara kita bartahan di tengah persaingan," ungkap ayah sembilan putra ini.

Ide kreatif juga perlu bagi Marsius dan kelompoknya. Mereka dituntut untuk bisa mengkolaborasikan instrumen gondang sabangunan dengan, seperti tanganing, asapi, ogun, dan suling dengan alat musik modern saat pentas. Sebab, persaingan makin tajam dan terbuka. "Begitulah kita bertahan di tengah persaingan," papar warga Marto Badua, Medan, Sumatra Utara, ini.

Selain bermusik keliling kota, Marsius juga pernah mengayuh becak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sebuah perjuangan hidup yang penuh pengorbanan, tentunya. Kini, Marius tak lagi mengayuh becak meski masih tetap bertahan dari satu pentas ke pentas lain, dia menjadi staf pengajar di Kampus Etno-Musikologi, Universitas Sumatera Utara. Dengan wawasan akademisnya yang terbatas, ia tawarkan keunikan musik tradisional Batak Toba kepada para mahasiswanya.

Marsius menjadi bagian dari kehidupan akademis kampus ini sejak 1985. Sebagai dosen luar biasa, ia hanya mendapat honor Rp 170 ribu per bulan. Namun, dia tak pernah mengeluhkan jumlah honor atau statusnya sebagai staf pengajar. Di mata mahasiswanya, Marsius yang biasa disapa Tulang Marsius adalah sosok yang langka. Dia bisa memperkenalkan bahasa musik kepada mahasiswanya tanpa mengalami hambatan. Marsius memang layak menerima pujian. Tapi, hidup memang keras. Dia masih harus terus bertahan dari satu pentas ke pentas lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.(ICH/Saiful Halim dan Satya Pandya)