Sukses

Polusi Udara Jakarta Menggila, Rentetan Penyakit Mengintai

Isu polusi udara untuk kota-kota besar dunia seringkali menjadi perhatian. Seperti halnya yang terjadi di Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Sudah hampir enam tahun, Dito memilih sepeda sebagai alat transportasi utama sehari-hari. Mulai dari bekerja hingga bepergian, nongkrong bersama temannya. Saat bertemu dengan Liputan6.com, sepedanya terparkir di sudut halaman rumah di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Dia mengaku perjalanan dari rumahnya di sekitar Pondok Bambu, Jakarta Timur menuju Salemba hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit.

Dito merupakan salah satu warga Jakarta yang ikut menggugat pemerintah terkait polusi udara. Dia mengaku memiliki alasan tersendiri. Sebagai pengguna sepeda untuk beraktivitas, Dito seringkali terganggu dengan polusi udara Jakarta.

"Salah satu syarat dari bersepeda ya minimal udara bersih kan. Karena, kalau misalnya kita bersepeda kena asap, pengap juga tuh paru-paru, enggak sehat juga," kata Dito kepada Liputan6.com.

Dia pun membandingkan udara Jakarta dari sebelum, saat pandemi, dan keadaan saat ini. Sebelum pandemi, ketika dia melintasi kawasan Jalan Gatot Subroto, debu proyek pembangunan dan polusi udara jadi sahabat perjalanannya. Hal itu membuat pernapasannya saat bersepeda terganggu. Bahkan debu yang menempel di permukaan wajahnya juga lumayan tebal dan bisa dicolek dengan jari.

"Itu baru debu yang terlihat oleh mata, belum lagi debu mikro ya yang lebih kecil lagi (yang masuk dari saluran pernapasan) yang lebih berbahaya," ucapnya.

Kemudian saat pandemi dan ada pembatasan mobilitas, Dito mengaku udara Jakarta lebih baik. Saat melakukan aktivitas, udara yang terhirup tak membuat sesak dada. Namun, setelah ada pelonggaran, mobilitas udara Jakarta kembali seperti sebelumnya.

"Tapi begitu enggak masa pandemi, kembali lagi sudah lebih banyak mobil-mobilnya. Jadi, sekarang kembali nyesek," ujar dia.

Cerita lain terkait dampak polusi udara Jakarta juga dirasakan Khalisah Khalid, yang biasa disapa Alin. Sejak enam tahun lalu dia berjuang menemani sang putri yang masih duduk di bangku sekolah dasar sebagai kelompok rentan. Sang putri yang saat itu berusia enam tahun didiagnosis dokter mengalami alergi debu.

Masker sudah menjadi sahabatnya sehari-hari. Parahnya, setiap musim kemarau tiba atau saat polusi udara Jakarta memburuk, selain bersin-bersin putrinya mengalami mimisan. Bahkan, intensitas mimisan bisa sampai tiga kali dalam sehari dengan durasi bisa sampai satu jam.

"Intensitas dia seperti itu dari sejak umur 6 tahun dia masuk SD sampai sekarang usianya 12 tahun. Nah, itu salah satu alasan mengapa saya bergabung sebagai penggugat dari polusi udara," kata Alin kepada Liputan6.com.

Dari gugatan tersebut Alin hanya menuntut pemerintah dapat membuat suatu regulasi untuk memastikan adanya pengendalian udara di DKI Jakarta. Hal tersebut untuk memberikan jaminan bagi semua warga negara dan terutama kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, lansia, hingga masyarakat yang memiliki riwayat penyakit.

Alin hanya membayangkan ada anak di luar sana yang memiliki riwayat seperti anaknya namun tidak mampu untuk berobat. Sebab, untuk pengendalian alergi sang anak, pengobatan dan berbagai langkah pendukung harus dilakukannya.

"Saya harus mengeluarkan biaya berobat ke dokter. Kami pasang air purifier di kamar, dan lain-lain bisa membuat dia bernapas lebih baik dan seterusnya gitu. Ada biaya yang harus kami keluarkan, ada kerugian ekonomi di sana," ujarnya.

Dia menambahkan, "Tapi, kami tidak menuntut kerugian dan tidak menuntut ganti rugi dari polusi udara yang menimbulkan kerugian kami secara kesehatan dan juga secara ekonomi."

2 dari 5 halaman

Kolaborasi Perlu untuk Mengendalikan Polusi Udara

Beberapa hari terakhir cuaca Jakarta lumayan cerah meski kadang tampak berkabut. Namun, tiba-tiba turun hujan. Kendati begitu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu menyebut langit Jakarta tak tampak biru. Bahkan meskipun turun hujan pada malam hari, saat pagi udara juga tak kunjung bersih. Bondan menilai hal itu diakibatkan adanya peningkatan polutan yang signifikan saat musim kemarau.

Berdasarkan data, Bondan menyebut tingginya polutan kerap terjadi saat musim kemarau. Seperti halnya yang terjadi di DKI Jakarta dengan adanya korelasi peningkatan PM2.5 pada hari-hari tertentu. Artinya, ketika curah hujan tinggi akan terjadi penurunan PM2.5 dan begitu sebaliknya saat musim kemarau.

"Karena di bulan-bulan itulah terjadi panas tertentu yang membuat reaksi kimia antara beberapa polutan berupa gas seperti SO2, yang dari industri NOx, dari transportasi juga hasil penggunaan bahan bakar. Semua yang berupa gas itu ketika menguap ke udara gitu ya pada temperatur dan uapan tertentu akan terbaca menjadi PM2.5. Sehingga ketika musim kemarau terjadi doubling pollutants atau polutan hasil pembakaran dan juga hasil reaksi kimia gas-gas yang ada di Jakarta dan sekitarnya," kata Bondan kepada Liputan6.com.

Selain bersumber dari transportasi, pencemaran di Jakarta juga terjadi karena adanya polusi udara lintas batas dari daerah sekitar. Karena itu dia mendorong adanya koordinasi dan kolaborasi Pemprov DKI Jakarta dengan Jawa Barat, dan Banten.

Jakarta sering menjadi sorotan akibat tingginya polusi udara. Bondan memperkirakan hal tersebut diakibatkan karena Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki alat pantau lebih banyak dibandingkan daerah sekitar.

"Andai saja Jawa Barat punya alat yang lebih banyak dibandingkan Jakarta, bisa saja angkanya lebih terbalik. Jawa Barat dan Banten lebih tinggi karena bisa jadi, industri ada di Jawa Barat dan Banten gitu. Itulah kenapa transboundary air pollution itu perlu dilihat jadi satu strategi utuh untuk menangani polusi udara," ucapnya.

Karena itu dia mendorong pemerintah agar berupaya memperingatkan dan melindungi warganya dari udara yang tidak sehat yang berdampak pada kesehatan. Bondan menilai saat ini pemerintah seolah-olah tidak punya langkah nyata sebagai antisipasi dampak polusi kepada masyarakat. Misalnya sosialisasi ataupun edukasi untuk penggunaan masker saat udara dianggap tidak sehat.

Dibandingkan dengan daerah sekitar, Pemprov DKI Jakarta memiliki data terkait sumber pencemaran yang terjadi. Yakni dari transportasi, industri, dan pembakaran sampah terbuka. Namun, untuk pengendaliannya diperlukan edukasi dan hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Contohnya untuk industri yang sudah melebihi standar emisi.

"Transportasi, misalnya. Jika dalam uji emisi ditemukan ada yang melebihi standar baku mutunya, harus ada sanksi. Dan ini belum kita temukan nih yang ada kan data diuji emisi sekian juta motor, tapi berapa yang diberikan sanksi karena melebihi baku mutu emisi hasil uji emisinya," tutur Bondan.

Kemudian, terkait pembakaran sampah juga perlu ada pengaturan. Sebab pembakaran merupakan salah satu sumber pencemaran udara. Untuk masyarakat, Bondan mengimbau agar membiasakan diri menggunakan moda transportasi massal dan berjalan kaki atau bersepeda untuk jarak dekat.

"Sehingga kita tidak membakar bahan bakar yang mencemari udara lagi. Ketika sudah banyak individu yang sadar itu, sejatinya masyarakat sudah punya kesadaran. Dan level selanjutnya adalah pemerintah juga menyediakan haknya pada masyarakat, dengan melakukan upaya sanksi. Misalnya industri-industri yang masih mencemari. Sebab, masih ditemukan nih industri yang ternyata jelas-jelas cerobongnya hitam gitu tapi tidak ada sanksi dari pemerintah," papar dia.

Pemerintah Diminta Jalankan Putusan Hakim atas Polusi Udara

Selain itu, Bondan meminta agar pihak pemerintah segera menjalankan perintah hakim dalam putusan sidang gugatan polusi udara 2021 lalu yang dimenangkan oleh warga. Pemerintah dalam hal ini terdiri dari Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta. Selain itu ada pula Gubernur Banten dan Jawa Barat.

Para tergugat tersebut dinyatakan melawan hukum. Misalnya Presiden dihukum untuk mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional untuk melindungi kesehatan masyarakat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta untuk melakukan pengawasan kepada Pemprov DKI, Banten, dan Jawa Barat untuk melakukan inventarisasi emisi lintas wilayah.

Kemudian Menteri Kesehatan harus melakukan penghitungan terkait penurunan kesehatan akibat pencemaran udara. Namun berdasarkan putusan tersebut hanya Pemprov DKI Jakarta yang tidak melakukan banding hingga tingkat kasasi yang direncanakan diputuskan pada September 2023.

Usai putusan hakim pada 2021, terdapat sejumlah perbaikan meskipun masih jauh dari yang diharapkan. Misalnya jika mengacu pada putusan hakim, Baku Mutu Udara Ambien yang dapat melindungi para kelompok sensitif harus berdasarkan standar WHO untuk PM2.5 per 24 jam adalah 15 µm/m3 dari sebelumnya 25 µm/m3.

"Memang ada perbaikan di tahun 2021. Tapi perbaikannya dari 65 µm/m3 menjadi 55. Jadi angka 55 itu sangat jauh dari 15 µm/m3, standarnya WHO," ujar dia.

Jika bicara mengenai dampak polusi udara untuk kesehatan, Pemprov DKI Jakarta belum melakukan pengetatan Baku Mutu Udara Ambien. Kemudian, alat pengukur kualitas udara juga belum memadai. Terlepas dari hal itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta berkomitmen untuk menurunkan persentase polutan paling fatal, yakni PM2.5 hingga 41 persen pada 2030.

Bondan menilai target tersebut tidak akan berdampak besar. Berdasarkan kajiannya, jika tingkat PM 2,5 di Jakarta rata-rata 30-40 µm/m3 per tahun dan ditargetkan turun 41 persen. Artinya masih di kisaran 15-20 µm/m3 atau masih melebihi Baku Mutu Udara Ambiennya.

"Sebenarnya, standar atau target yang ditetapkan Jakarta hingga 2030 itu bisa dijamin Baku Mutu Udara Ambiennya masih melebihi. Artinya kita masih akan menghirup udara tercemar hingga 2030 dengan strategi yang sudah DKI Jakarta lakukan," Bondan melanjutkan.

 

3 dari 5 halaman

Masalah Kesehatan Menghantui Masyarakat

Sementara itu, Bondan menilai penggunaan kendaraan listrik bukanlah cara pengendalian akar masalah dari polusi udara di Jakarta atau sebagai bentuk solusi palsu pemerintah. Meskipun salah satu sumber polusi di Ibu Kota merupakan transportasi, menurut Bondan kendaraan listrik hanya memindahkan polusi yang berumber dari knalpot ke cerobong PLTU.

"Listrik yang kita pakai, untuk ngecas mobil listrik itu berdasar dari PLTU batu bara yang masih mencemari polusi di Jakarta juga," kata Bondan.

Sumber kedua polisi udara di Jakarta adalah industri dan pembangkit listrik batu bara. Sebab, berdasarkan riset yang ada disebutkan jika ditemukannya pencemaran udara lintas batas terjadi di Jakarta yang bersumber dari PLTU.

"Riset yang kita temukan ini transboundary pollution ada PLTU batu bara di Suralaya itu yang polusinya sampai di Jakarta. Karena itu polutan PM2.5 itu bentuknya kecil, 1/30 itu travelnya bisa ketika tertiup angin di musim kemarau. Itu bisa mencapai 100 kilometer. Jadi sangat mungkin PLTU di Suralaya itu polusinya sampai di Jakarta. Atau yang di Babelan, Bekasi, sampai Jakarta juga," papar dia.

Bondan mencontohkan pengendalian polusi udara di Kota Beijing, Tiongkok. Hal pertama yang dilakukan yaitu penggunaan listrik yang langsung diganti hingga 95 persen menjadi energi surya. Setelah berjalan, ada pengalihan kendaraan yang digunakan menggunakan listrik.

"Jadi, listriknya dulu diperbaiki untuk menggunakan kendaraan listrik. Sumber listriknya dulu dibersihkan, baru pakai kendaraan yang berenergi bersih. Jadi, struktural penyelesaian masalahnya gitu bukan yang lagi laris aja. Sekarang mobil listrik kan lagi laris dari sisi penjualan. Tapi, masalahnya masih belum terselesaikan," Bondan menandaskan.

Polusi udara juga memiliki dampak terhadap kesehatan masyarakat. Peneliti Riset Kesehatan BRIN, Dede Anwar Musadad menyatakan, berdasarkan analisis penelitian ditemukan, obat untuk penyakit karena pencemaran udara itu tinggi. Kata dia, penyebab penyakit sebenarnya multikausal, namun kontribusi dari pencemaran udara cukup tinggi.

"Kontribusi pencemaran udara itu tinggi, kalau infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) jelas, itu pengaruhnya terlihat ya, jadi dirasakan langsung. Tapi kalau misalnya jantung, stroke, kan multikausal, penyebabnya banyak. Jadi kontribusi dari pencemaran udara itu kalau dilihat dari beban penyakitnya itu nomor satu stroke itu risikonya tinggi, karena pencemaran udara," kata Anwar Musadad kepada Liputan6.com.

Selain itu, polusi udara juga dapat mengakibatkan masalah kesehatan seperti jantung, penyakit paru ostruktif kronis (PPOK), gangguan reproduksi hingga kanker. Kendati begitu Anwar belum dapat merincikan secara khusus berbagai jenis penyakit yang dialami warga Jakarta akibat polusi udara.

Namun, mengingat tingginya mobilitas masyarakat menggunakan kendaraan sangat tinggi dan padatnya populasi mengakibatkan beban penyakit akibat polusi udara di Jakarta tidak dapat diabaikan.

Ketika terjadi polusi udara beberapa kalangan masyarakat dapat secara langsung merasakannya seperti dalam permasalahan pernapasan, mual, hingga pusing. "Jadi kalau secara statistik memang kalau pencemaran udara itu tentu berpengaruh atau berperan besar pada penyakit saluran pernapasan," ucapnya.

Karena hal itu, Anwar mendorong pemerintah untuk melakukan sejumlah upaya penanggulangan secara nasional. Salah satunya yaitu kebijakan mengenai energi, bagaimana pembakaran-pembakaran yang terjadi dapat masuk kategori aman untuk masyarakat. Untuk Jakarta, pemerintah dapat menerapkan transportasi ramah lingkungan mengingat pencemaran udara paling besar bersumber dari kendaraan bermotor.

Kemudian pengaturan lalu lintas di dalam kota dan pengaturan transportasi untuk warga atau pekerja dari kota penyangga Jakarta. Lalu adanya upaya adaptasi ketika adanya peningkatan polusi udara dengan penggunaan masker. "Tentu yang ketiga adalah bagaimana meningkatkan daya tahan tubuh kita dengan mengonsumsi gizi yang baik, vitamin yang baik, supaya kita terhindar," ujar Anwar.

 

Kualitas Udara Bersih Penting untuk Kesehatan 

Sementara itu, Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Universitas Griffith University Australia Dicky Budiman menjelaskan keterkaitan antara polusi udara dan harapan hidup seseorang. Sebenarnya, pentingnya isu polusi udara tak hanya di DKI Jakarta namun secara global.

Dia menuturkan, kualitas udara yang sehat merupakan salah satu kontributor dalam perbaikan di segala aspek. Salah satunya pada kesehatan manusia. Jika berbicara soal udara, tentu menyertakan soal patogen-patogen atau organisme kecil yang menyebabkan gangguan kesehatan.

"Jadi polutan itu kan yang mencemarinya. Polutan itu bisa menjadi wahana atau alat nebeng-nya patogen," kata Dicky kepada Liputan6.com.

Oleh karena itu, polusi dapat memicu dampak buruk pada kesehatan, bukan hanya terkait dengan polutan yang terhirup manusia. Tak heran, jika WHO merekam data, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian per tahun atau setara dengan 1 persen dari jumlah penduduk dunia

"Satu persen itu tentunya tidak bisa diremehkan karena kalau kita berbicara populasi Indonesia yang besar, satu persen itu besar. Kita itu bukan penduduk seperti Singapura atau negara kecil di Pasifik yang di bawah satu juta," tuturnya.

Hanya saja, pendataan di Indonesia soal kolerasi polusi udara pada kematian, masih terburuk di dunia. Sehingga tidak terdata berapa jiwa yang meninggal karena polusi udara. Berdasarkan data-data dan penelitian di tingkat global telah membuktikan adanya korelasi antara kualitas buruk udara dengan harapan hidup penduduk.

"Kalau mengatakan bahwa di tengah kualitas udara di Jakarta yang tidak baik-baik saja, kemudian dikatakan harapan hidupnya tidak terganggu, itu jelas dipertanyakan," Dicky menandaskan.

4 dari 5 halaman

Strategi Pengendalian ala Pemprov DKI Jakarta

Isu polusi udara untuk kota-kota besar dunia memang sering menjadi perhatian. Seperti halnya yang terjadi di Jakarta. Beberapa hari terakhir masyarakat mengeluhkan kondisi polusi Jakarta yang terlihat berkabut meskipun cuaca cerah.

Berdasarkan situs pemantauan kualitas udara dunia IQAir pada Sabtu, 24 Juni 2023 AQI US Jakarta mencapai angka 145 termasuk kategori tidak sehat. Sedangkan sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP 45/MENLH/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara telah ditetapkan bahwa untuk mengukur kualitas udara di berbagai daerah di Indonesia berdasarkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Parameter baik buruknya kualitas udara dibagi menjadi lima kategori yaitu sebagai berikut:

- Baik (0-50), tingkat kualitas udara tidak memberi efek buruk bagi kesehatan manusia atau hewan, serta tidak mempengaruhi tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika.

- Sedang (51-100), tingkat kualitas udara tidak memberi efek buruk bagi kesehatan manusia dan hewan, namun mempengaruhi tumbuhan yang sensitif, serta nilai estetika.

- Tidak sehat (101-199), tingkat kualitas udara merugikan manusia dan kelompok hewan yang sensitif, serta menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.

- Sangat tidak sehat (200-199), tingkat kualitas udara merugikan manusia dan kelompok hewan yang sensitif, serta menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.

- Berbahaya (300-lebih), tingkat kualitas udara berbahaya secara umum dan menimbulkan kerugian kesehatan yang serius.

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Erni Pelita Fitratunnisa menyatakan untuk mengetahui kondisi kualitas udara Jakarta, pihaknya menggunakan acuan dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) yang tersebar di lima kota administrasi dan tiga mobile station. Selain itu Pemprov DKI Jakarta juga berkolaborasi dengan pihak mitra terkait pengukuran kualitas udara yang tersebar di 14 titik.

Untuk periode akhir Mei-awal Juni 2023, konsentrasi rata-rata harian PM2.5 di Jakarta berada pada level 47,33- 49,34 µg/m3. Ambang batas PM 2.5 yang ditetapkan oleh WHO yaitu sebesar 15 mikrogram per meter kubik, sedangkan standar pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebesar 55 mikrogram per meter kubik.

Fitri, sapaan Erni Pelita Fitratunnisa, menyatakan, ada sejumlah faktor yang memengaruhi kondisi kualitas udara di Jakarta, yakni alam dan aktivitas manusia. Untuk faktor alam seperti cuaca, arah angin, kelembaban. Saat musim kemarau seringkali ada faktor kenaikan suhu hingga pergerakan angin yang lambat. Sedangkan aktivitas manusia terdiri dari sektor transportasi dan industri.

Berdasarkan penghitungan inventarisasi emisi polusi udara yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Vital Strategies menunjukkan bahwa sumber polusi terbesar di Ibu Kota adalah dari sektor transportasi untuk polutan PM2.5, NOx, dan CO. Sementara kontributor kedua adalah industri pengolahan terutama untuk polutan SO2.

"Jadi kalau disampaikan di bulan Juni-Juli kita mulai memasuki musim kemarau, artinya kondisi kualitas udara kita juga menunjukan tingkat kosentrasi yang dikatakan mungkin tidak seperti pada bulan di musim penghujan," kata Fitri kepada Liputan6.com.

Kendati begitu biasanya penurunan konsentrasi polutan akan terjadi saat musim hujan. Fitri menyebut Pemprov DKI Jakarta telah mempersiapkan sejumlah strategi untuk penanggulangan polusi udara tersebut. Pertama yaitu penyusunan regulasi pengendalian udara yang telah dilakukan sejak tahun 2005 atau Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Berdasarkan aturan tersebut Pemprov DKI Jakarta juga menurunkan sejumlah aturan sebagai upaya percepatan pengendalian pencemaran udara. Salah satunya melalui Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dalam aturan itu terdapat tujuh aksi yang harus dilakukan, yaitu uji emisi dan peremajaan kendaraan umum melalui program Jak Lingko pada tahun 2020.

Lalu, kedua, perluasan kebijakan ganjil genap, peningkatan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum, dan congestion pricing. Ketiga, pengetatan uji emisi untuk kendaraan pribadi.

Keempat, peralihan moda transportasi umum dan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki. Kelima, pengendalian terhadap sumber penghasil polutan tidak bergerak khususnya pada cerobong industri aktif. Keenam, penghijauan pada sarana dan prasarana publik dan ketujuh adalah peralihan energi terbarukan.

 

5 dari 5 halaman

Uji Emisi, Langkah Pengendalian Polusi Udara

Selain itu juga diterbitkannya Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Kendati begitu, Fitri menyebut jika persoalan pencemaran udara tidak mengenal batas wilayah administrasi. Karena hal itu bersama Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong wilayah kota penyangga untuk menerapkan kebijakan yang sama untuk pelaksanaan uji emisi kendaraan.

Lalu juga berkoordinasi dengan Kepolisian untuk menerapkan sanksi tilang terhadap kendaraan bermotor yang tak melakukan uji emisi, tidak luus, dan masih bermobilisasi di wilayah DKI Jakarta. Penerapan sanksi tilang ini mengacu Undang-undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebab berdasarkan data yang ada kendaraan yang sudah melakukan uji emisi baru 5,44 persen.

"Penerapan uji emisi ini nanti dikaitkan dengan pajak kendaraan bermotor dan ini yang sedang diproses oleh Kementerian Lingkungan Hidup," ujar dia.

Selanjutnya Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan disinsentif parkir terhadap kendaraan yang tidak dan/atau belum melakukan uji emisi kendaraan. Untuk mekanisme penetapan tarif disintensif bagi kendaraan lulus emisi dikenakan normal berlaku progresif sebesar Rp 5.000 per jam. Sedangkan yang tidak lulus uji emisi dikenakan tarif tertinggi Rp 7.500 per jam.

Sanksi tersebut akan diberikan ketika kendaraan parkir di fasilitas milik Pemprov DKI Jakarta. Untuk sementara tarif parkir disinsentif diterapkan berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tarif Layanan Parkir. Untuk saat ini sudah diterapkan di 11 lokasi parkir antara lain sebagai berikut:

- Pelataran parkir IRTI Monas, Jakarta Pusat

- Lingkungan parkir Blok M, Jakarta Selatan

- Pelataran parkir Samsat, Jakarta Barat

- Lingkungan pasar Mayestik, Jakarta Selatan

- Plaza Interkon, Jakarta Barat

- Park and Ride Kalideres, Jakarta Barat

- Gedung parkir Istana Pasar Baru, Jakarta Pusat

- Gedung parkir Taman Menteng, Jakarta Pusat

- Park and Ride Lebak Bulus, Jakarta Selatan

- Pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat

- Park and Ride Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur

"Kemudian terakhir kami sudah menyusun grand design pengendalian pencemaran udara pada tahun 2022 dan akan dituangkan dalam Keputusan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) yang saat ini sedang dalam tahap penandatanganan gubernur," papar dia.