Sukses

Legalisasi 3,3 Juta Hektare Lahan Sawit, Jubir Anies: Jangan Langgengkan Pelanggaran

Pemerintah sedang berupaya menyelesaikan persoalan 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sedang berupaya menyelesaikan persoalan 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut jalan penyelesaiannya dengan legalisasi atau pemutihan lahan tersebut melalui Undang-Undang Cipta Kerja.

"Mau kita apakan lagi? Masa mau kita copot (sawit), ya kan tidak? Logika saja, ya kita putihkan terpaksa," kata Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di kantornya di Jakarta, Jumat (23/6/2023).

Luhut menyebut mekanisme legalisasi lahan tersebut dilakukan sesuai Pasal 110 a dan b UU Cipta Kerja, yang intinya pengelola harus taat hukum dengan melengkapi setiap persyaratan administrasi dan membayar denda atau pajak sesuai aturan yang berlaku.

Mantan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional yang juga jubir Anies Baswedan, Surya Tjandra, mengatakan bahwa upaya penyelesaian pelanggaran lahan sawit itu tidak boleh dilakukan dengan melanggengkan pelanggaran. Menurut dia, harus diperjelas di mana saja lokasi lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan tersebut serta status izin atau hak pengelolaannya.

“Apakah sudah ada izin atau hak yang diberikan di atasnya, atau memang pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang? Tidak bisa serta-merta semuanya seenaknya saja diputihkan, meski diiming-imingi pembayaran pajak dan perbaikan tata kelola sekali pun,” ujar Surya Tjandra dalam keterangannya, Selasa (27/6/2023).

Kalau pun mau diputihkan, kata Surya, harus dipilah dulu sesuai dengan kriteria yang ada di Peraturan Pemerintah No. 43/2021, termasuk di dalamnya terkait ketidaksesuaian atau tumpang tindih antara hak dan perizinan, keterlanjuran karena perubahan regulasi, atau memang pelanggaran yang karena itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Menurut dia, dua kriteria pertama terjadi akibat ketidaktelitian pemerintah sendiri, jadi mestinya pemerintah juga ikut bertanggung jawab.

Surya juga menyinggung adanya masyarakat yang terlebih dulu mengelola dan memanfaatkan lahan di kawasan hutan. Mereka, sambungnya, semestinya bisa mendapatkan hak melalui redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan dalam program reforma agraria yang juga prioritas nasional, sama dengan sawit.

“Semoga Pak Luhut tidak lupa bahwa di dalam 3,3 juta hektare lahan tersebut juga ada masyarakat yang sudah menguasai dan menggunakan tanah. Sudah semestinya mereka juga mendapat prioritas pertama atau perhatian pemerintah, tidak hanya pengusahanya,” kata juru bicara Anies Baswedan ini.

2 dari 2 halaman

Syarat Tata Kelola Perkebunan Sawit

Tata kelola perkebunan sawit yang baik mensyaratkan adanya data pertanahan dan kawasan hutan yang akurat. Surya merujuk pengalamannya saat menjadi Wamen ATR/BPN, di mana sering terjadi ketidaksinkronan data antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Berbagai upaya mendorong kebijakan satu peta juga belum memberikan hasil konkret. Padahal, lanjut Surya, upaya itu bisa dipercepat melalui pemanfaatan teknologi dan partisipasi.

Tetapi menurutnya dua cara itu masih terhambat karena ketiadaan anggaran, dan terutama karena keengganan pemerintah sendiri untuk membuka data hak, khususnya hak guna usaha dan perizinan, sesuai rekomendasi Komisi Informasi Pusat (KPI).

“Karena hanya dengan keterbukaan informasi dan data hak guna usaha serta perizinannya itu, perkebunan sawit dan industri yang berada di dalamnya bisa senantiasa diperiksa apakah betul-betul memberi manfaat bagi rakyat, atau hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan penguasa yang melindunginya,” pungkasnya.