Liputan6.com, Jakarta Chuck Putranto, terpidana kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yoshua telah bebas dari penjara Lapas Salemba usai mendapatkan asimilasi atau pengurangan hukuman karena Covid-19.
Mantan Spri Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo diketahui telah divonis satu tahun kurungan penjara dan denda Rp 10 juta.
Bukan hanya itu saja, dia yang sempat dijatuhkan hukuman sanksi administratif pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) melalui putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), kini bisa menjadi polisi lagi usai bandingnya diterima.
Advertisement
Adapun, Komisi Sidang KKEP pada saat itu menjatuhkan sanksi administratif pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH). Namun, putusan itu belum berlaku karena Kompol Chuck mengajukan banding sebagai mana diatur dalam Pasal 69 dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
Sidang KKEP banding Kompol Chuck setelah Sekretariat KKEP Banding menerima memori banding pada akhir September tahun lalu. Permohonan banding Kompol Chuck Putranto diterima oleh Komisi KKEP Banding dan menjatuhkan sanksi berupa demosi selama 1 tahun.
Pengamat kepolisian sekaligus peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto sudah memprediksi hal ini. Bahkan saat pemberian demosi untuk Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.
Diketahui, yang bersangkutan menjalani hukuman 1 tahun 6 bulan atau lebih ringan 8 kali dari tuntutan 12 tahun penjara.
“Terkait vonis banding Chuck Putranto, sebenarnya sudah bisa diprediksi saat sidang KKEP juga memutuskan vonis demosi pada Bharada Richard Eliezer yang sudah terbukti melakukan penembakan pada Brigadir Joshua,” kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (30/6/2023).
Karena itu, Bambang memprediksi, Richard Eliezer segera bebas dalam waktu dekat. Namun, dia mengkritisi putusan dari KKEP terlebih dalam kasus perintangan penyidikan tersebut.
“Bila melihat hasil banding Chuck Putranto maupun vonis Richard Eliezer tak perlu heran bila para terpidana kasus obstruction of justice yang lain pun nantinya juga akan divonis sama seperti keputusan banding Chuck Putranto,” ungkap dia.
Dampak dari sidang yang hanya prosesi (sekedar prosedural) saja, dan vonis yang lemah adalah tidak adanya efek jera bagi yang lain di kemudian hari.
“Akibatnya peraturan etik dan disiplin di internal hanya macan kertas saja,” jelas Bambang.
“Di sisi lain, ini juga akan melemahkan mental dan spirit personel yang masih menjaga marwah etik dan disiplinnya,” sambungnya.
Menurut Bambang, KKEP seharusnya mempunya aturan baku. Sehingga hasilnya tak seperti sekarang ini.
“Harus memiliki landasan aturan, sehingga keputusan tersebut bukan diambil berdasar like or dislike saja, yang ke depan bisa memunculkan masalah bila ada pelanggaran serupa. Ini penting agar sidang KKEP memiliki marwah, dan wibawa yang tinggi dalam penegakan etik profesi anggota Polri,” ungkap dia.
“Sidang KKEP bukan seremonial atau prosesi sekedar memenuhi desakan publik terkait pelanggaran hukum maupun etika yg dilakukan anggota,” katanya.
Saat ditanya apakah ini bisa membuat suasana Polri kembali sedikit menghangat atau ada kekisruhan baru, Bambang hanya menjawab dengan kelakarnya.
“Memanas apanya? jangan-jangan anda yang memanasi. Sekarang waktunya masak daging sapi, bukan anti sapi,” kelakarnya.
Senada, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh santoso, mengatakan, memang banyak catatan terkait sidang kode etik terkait obstruction of justice, di mana yang teranyar adalah putusan atas Chuck putranto yang dalam putusan banding dibatalkan PTDH-nya dan hanya dikenakan demosi 1 tahun.
“Terkait materi putusan adalah kewenangan majelis Etik akan tetapi prosedural juga harus ditaati karena putusan tersebut bisa dikatakan cacat prosesural berdasarkan waktu,” kata Sugeng kepada Liputan6.com, Jumat (30/6/2023).
Menurut dia, seharusnya perkara tersebut diputus menurut Perpol Nomor 7 tahun 2022 tentang Kode etik Polri.
“Semestinya selama-lamanya putusan tersebut harus sudah keluar Desember 2022,” ungkap Sugeng.
Sikap Polisi Terkait Chuck Putranto
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan mengatakan Kompol Chuck Putranto masih berstatus sebagai anggota Polri berdasarkan putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tingkat banding.
"Iya dengan putusan banding tersebut yang bersangkutan masih menjadi anggota Polri," kata Ramadhan.
Mantan Ps Kasubbag Audit Baggak Etika Rowabprof Divisi Propam Polri Kompol Chuck Putranto diketahui mengajukan banding atas putusan sidang KKEP pada hari Kamis, 1 September 2022.
Komisi Sidang KKEP pada saat itu menjatuhkan sanksi administratif pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH). Namun, putusan itu belum berlaku karena Kompol Chuck mengajukan banding sebagai mana diatur dalam Pasal 69 dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
"Putusan banding yang bersangkutan tidak di-PTDH," kata Ramadhan.
Sidang KKEP banding Kompol Chuck setelah Sekretariat KKEP Banding menerima memori banding pada akhir September tahun lalu.
Permohonan banding Kompol Chuck Putranto diterima oleh Komisi KKEP Banding dan menjatuhkan sanksi berupa demosi selama 1 tahun.
"Demosi 1 tahun," ujar Ramadhan.
Kompolnas Akan Awasi dan Pelajari Kasus Chuck Putranto
Anggota Kompolnas Yusuf Warsyim menegaskan, terkait hukuman kurungan penjaranya, hal itu sudah selesai karena memang yang bersangkutan sudah menjalani vonisnya.
Hanya memang ada perbedaan terkait sanksi etiknya, yang akhirnya tak diberlakukan PTDH namun hanya demosi satu tahun.
“Kita akan membaca dulu apa yang menjadi pertimbangan komisi banding sehingga mengabulkan permohonan Chuck. Apakah karena vonis pengadilan atau ada penerapan norma dari komisi kode etik yang lalu terhadap yang bersangkutan sehingga diputuskan PTDH,” kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (30/6/2023).
“Kami akan mempelajari dan memberikan masukan dengan melihat bagaimana pertimbangannya. Apakah ada novum atau ada pertimbangan dan fakta lain yang seharusnya tidak PTDH,” sambungnya.
Yusuf pun tak mau berandai-andai, bebasnya Chuck ini ada kaitannya dengan Bharada E. “Kalau soal itu kita pantau dulu baru nanti diberikan masukan ke depannya,” jelas dia.
Yusuf menyadari putusan KKEP dan komisi banding ada perbedaan. Sehingga, pihaknya tak mau terburu-buru melihat siapa yang salah dalam mengambil keputusan terhadap nasib Chuck di kepolisian.
“Ranah kode etik itu Polri yang memberikan sanksi ptdh sedangkan banding yang memberi sanksi demosi adalah komisi banding, jadi berbeda. Jadi keduanya ini berbeda orang. Karenanya kita akan melihat mempelajari terlebih dulu, karena kita tahu kesalahan Chuck kan melihat video almarhum saat masih hidup kesalahan dia kan itu,” kata dia.
Advertisement