Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 14 warga negara Indonesia (WNI) korban penjualan ginjal tertahan di rumah sakit di luar negeri. Mereka adalah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang ginjalnya dijual.
"Masih saya dapat info tadi dari Polri, itu di suatu negara masih ada 14 orang masih tertahan di rumah sakit dengan jual ginjal itu," kata Menko Polhukam Mahfud Md saat jumpa pers di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa, (4/7/2023).
Baca Juga
Mahfud mengatakan, mereka adalah korban perdagangan orang yang ginjalnya diambil dan dijual. Sementara saat ini mereka masih berada di berbagai rumah sakit di luar negeri dan tidak mendapat perawatan yang memadai.Â
Advertisement
Â
Mahfud menjelaskan, para korban berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Tetapi, sesampainya di sana mereka menandatangani kontrak penjualan ginjal.
"Waktu berangkat dari sini bilang mau bekerja di restoran, di mana begitu. Sampai di sana kontrak jual ginjal. Itu jenisnya," ungkapnya.
Mahfud melanjutkan, hingga kini sebanyak 698 orang sudah dijadikan tersangka TPPO. Langkah ini juga diikuti dengan penyelamatan korban sebanyak 1.943 orang.
"Jadi dalam satu bulan ini sudah dijadikan tersangka 698 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Kedua, langkah ini diikuti dengan penyelamatan terhadap 1.943 korban. Mungkin masih banyak yang belum bisa diselamatkan, tapi ini tidak pernah terjadi sebelumnya satu bulan menyelamatkan sekian," tutupnya.
Mahasiswa Jadi Korban TPPO dengan Modus Magang di Jepang
Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) telah mengungkap kasus perdagangan orang dengan modus program magang ke luar negeri Jepang dengan korban mahasiswa. Dalam kasus ini, dua orang diduga tersangka diamankan polisi.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dir Tipidum) Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, pengungkapan kasus ini diawali dengan laporan dari korban berinisial ZA dan FY kepada pihak KBRI Tokyo, Jepang.
Saat itu dilaporkan korban bersama sembilan orang mahasiswa lainnya dikirimkan oleh Politeknik untuk melaksanakan magang di perusahaan Jepang. Akan tetapi, korban dipekerjakan sebagai buruh.
"Pada awalnya korban tertarik untuk kuliah di Politeknik tersebut, karena tersangka G yang menjabat sebagai Direktur Politeknik periode 2013-2018 menerangkan keunggulan dari Politeknik tersebut berupa program magang ke Jepang untuk beberapa jurusan yaitu Teknologi Pangan, Tata Air Pertanian, Mesin Pertanian, Holtikultura, dan Perkebunan," kata Djuhandani kepada wartawan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/6/2023).
Djuhandani menyebut, sekira tahun 2019 korban mendaftar untuk mengikuti program magang di Jepang selama satu tahun. Kemudian, korban mengikuti seleksi di program studi dan seleksi di tingkat kampus atau akademik.
Hasil seleksi tersebut korban lulus untuk mengikuti program magang di Jepang yang diputuskan oleh EH sebagai direktur pada salah satu Politeknik periode 2018-2022.
"Selama 1 tahun magang, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang akan tetapi bekerja seperti buruh," ujarnya.
Ia menjelaskan, beberapa hal yang dialami korban yakni bekerja selama 14 jam dari jam 8 pagi sampai dengan jam 10 malam selama 7 hari tanpa libur. Untuk istirahat, korban hanya diberikan waktu 10-15 menit untuk makan dan tidak diizinkan untuk melaksanakan ibadah.
Padahal, dalam aturan Permendikbud 03 Tahun 2020, Pasal 19 yang berbunyi untuk pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran berupa jamnya seharusnya 170 menit perminggu, per semester.
"Korban mendapatkan upah sebesar 50.000 Yen (Rp5.000.000/bulan) dan korban harus memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen atau setara sekira Rp2 juta per bulan," jelasnya.
Â
Reporter:Â Muhammad Genantan Saputra/Merdeka
Advertisement