Sukses

Pimpinan Komisi I DPR: Upaya Penyelamatan Pilot Susi Air Tak Boleh Rendahkan Harga Diri Bangsa

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengatakan, pemerintah harus memastikan keselamatan sandera. Di samping itu juga jangan merendahkan harga diri bangsa.

Liputan6.com, Jakarta - L Komisi I DPR RI meminta pemerintah terus mengutamakan proses negosiasi dalam proses penyelamatan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens yang disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengatakan, pemerintah harus memastikan keselamatan sandera. Di samping itu juga jangan merendahkan harga diri bangsa.

"Negoisasi harus diutamakan. Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia harus bisa memastikan keselamatan sandera, tapi sekaligus tidak boleh merendahkan harga diri bangsa," kata Meutya dalam keterangannya, Kamis (6/7/2023).

Selain itu, Meutya meminta pemerintah jangan hanya berhenti dengan membayar tebusan. Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah negosiasi lanjutan untuk meredakan aksi kelompok kriminal bersenjata (KKB).

"Pemerintah jangan berhenti pada pemenuhan tuntutan uang tebusan kepada KKB dalam membebaskan pilot Susi Air. Harus ada pertimbangan langkah negosiasi lanjutan untuk meredakan aksi KKB yang masih terus terjadi sampai saat ini di Papua," jelasnya.

Urgensi pemerintah dan aparat keamanan untuk memenuhi uang tebusan itu bisa dipahami. Namun, Meutya meyakini pemerintah sudah melakukan berbagai upaya strategis untuk menyelamatkan sandera.

"Keselamatan nyawa manusia memang paling penting, apalagi ini juga terkait dengan persoalan diplomatik dengan negara asal pilot yang disandera," jelas politikus Golkar ini.

"Kami di DPR juga percaya Pemerintah bersama pihak keamanan telah memiliki pertimbangan yang matang dengan keputusan pemberian uang tebusan. Karena masalah ini juga telah melebar dari urusan keamanan menjadi menyangkut hubungan dengan negara lain," paparnya.

2 dari 3 halaman

Cari Cara Penyelesaian Komprehensif

Meutya meminta Pemerintah mencari penyelesaian yang komprehensif dalam menghadapi KKB. Sebab aksi-aksi kejahatan kemanusiaan KKB sudah tidak dapat ditolerir.

"Masalah KKB di Papua harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Perlu pendekatan-pendekatan tepat yang komprehensif agar tuntas sampai ke akar-akarnya mengingat kekerasan yang dilakukan KKB terus berkepanjangan," tegasnya.

Legislator dari Dapil Sumatera Utara I ini pun menilai, penyelesaian masalah KKB perlu melibatkan masyarakat lokal di Papua. Sebab, kata Meutya, warga Papua memiliki pendekatan dari sisi kearifan lokal.

"Selagi memperkuat personel keamanan di Papua, Pemerintah juga perlu mencari tambahan kekuatan lain. Kekuatan dari TNI/Polri bisa ditambah dengan bantuan warga atau komunitas lokal di Papua yang memahami struktur daerah, kondisi budaya serta adat istiadat di sana," paparnya.

3 dari 3 halaman

Tingkatkan Pembangunan Wilayah Terpencil

Lebih lanjut, Meutya mengingatkan Pemerintah untuk terus meningkatkan pembangunan di daerah terpencil. Hal ini guna mengurangi ketidakpuasan sosial yang dimanfaatkan oleh KKB dalam melakukan aksi kekerasan.

"Untuk meredam upaya KKB merekrut warga, peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar adalah sebuah keharusan. Dengan meningkatkan kualitas hidup rakyat, kita berharap tidak ada masyarakat yang berpaling dari Ibu Pertiwi," ungkap Meutya.

Selain itu, Pemerintah juga diminta membangun program rehabilitasi dan reintegrasi yang menyeluruh untuk mantan anggota KKB yang ingin meninggalkan bentuk-bentuk kekerasan.

Menurut Meutya, Pemerintah bisa fokus terhadap pemberian akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemulihan psikologis kepada eks anggota KKB.

"Dengan mengikis sedikit demi sedikit anggota KKB, maka aktivitas kekerasan mereka akan berkurang. Tentunya ini berkesinambungan dengan tindakan penegakan hukum dan keamanan yang harus dilakukan secara terukur," sebutnya.

"Tapi yang pasti, kita tidak boleh kalah dengan gangguan keamanan yang diciptakan oleh KKB di Papua. Tindak tegas pihak-pihak yang mengancam kedaulatan negara," tutup Meutya.

 

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka.com