Liputan6.com, Jakarta Ancaman anomali iklim berdampak pada sektor pertanian. Untuk itu, Indonesia perlu menyiapkan strategi mitigasi agar produksi pertanian tidak terganggu dampak perubahan iklim.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) Andi Muhammad Syakir saat monthly focus group discussion di Bogor, Jumat (7/07/2013).
Baca Juga
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan pada Agustus 2023 Indonesia akan mengalami puncak anomali iklim lebih kering atau puncak El Nino hingga menjelang akhir 2023. BMKG juga menyatakan sebagian besar wilayah Indonesia telah mengakhiri iklim yang cenderung basah atau La Nina pada akhir Juni 2023.
Advertisement
"Pada lingkup lokal ada daerah yang menjadi lebih kering dari biasanya, tetapi ada yang tetap biasa, bahkan pada daerah tertentu basah. Intensitas yang berbeda-beda ini yang harus dipahami oleh pemerintah dari level pusat hingga lokal," kata Syakir.
Dengan demikian, diperlukan aksi mitigasi dan adaptasi secara komprehensif di setiap sektor, termasuk pertanian, agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat diubah menjadi peluang. Setiap sektor memiliki dampak spesifik sehingga mitigasi dan adaptasinya berbeda-beda tergantung karakteristik setiap sektor.
Salah satu contoh spesifik adalah produksi padi irigasi dan tadah hujan kemungkinan mengalami defisit di saat El Nino. Sebaliknya, padi di lahan rawa berpeluang mengalami surplus.
Karena itu, kabupaten yang memiliki pertanian lahan rawa yang luas harus diperkuat agar dapat menopang pertanian tidak hanya di level regional, tetapi juga di level nasional.
"Jika tidak dilakukan mitigasi dan adaptasi, maka El Nino dapat menghambat upaya meningkatkan produksi padi nasional," kata dia.
Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi gabah kering giling (GKG) Indonesia dalam 3 tahun terakhir memang sudah surplus, tetapi berada pada kondisi yang cenderung stagnan di angka 54,5-juta ton.
Produksi GKG Nasional berturut turut-turut 54,6-juta ton pada 2020, lalu sedikit menurun 54,4-juta ton pada 2021, kemudian meningkat kembali 54,7- juta ton pada 2022.
Pencapaian produksi beras pada 3 tahun La Nina dengan kondisi iklim yang relatif baik tersebut ternyata belum memperlihatkan peningkatan yang signifikan.
"Dengan mitigasi adaptasi yang tepat, pemerintah paling tidak harus mampu mempertahankan produksi nasional karena jumlah penduduk terus meningkat," kata Syakir.
Â
Sektor Pertanian Rentan Terkena Dampak El Nino
Sementara itu, Pakar Sumberdaya Lahan dari Peragi, Husnain mengatakan sektor pertanian rentan terkena dampak El Nino seperti kekeringan, gangguan musim tanam, ledakan hama dan penyakit tertentu, penurunan kuantitas dan kualitas panen yang dapat bermuara pada ketidakstabilan pasokan dan harga produk pertanian.
"Karena itu diperlukan langkah cerdas untuk mitigasi agar dampak buruk tersebut dapat dihindari," kata Husnain.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah pemantauan pola cuaca secara spasial, konservasi tanah dan air, diversifikasi tanaman, dan manajemen penyakit dan hama, serta pemanfaatan teknologi dan informasi.
"Yang juga penting adalah dukungan pemerintah dan lembaga terkait kepada petani," kata Husnain.
Ketua Peragi II, Dedi Nursyamsi, menambahkan beragam fakta dan masukan yang diberikan narasumber menjadi bahan penting untuk pemerintah melakukan mitigasi dan adaptasi secara menyeluruh.
"Fakta dan masukan tersebut memperkaya strategi yang tentunya pemerintah juga sudah siapkan. Strategi berbasis data riset dan teori, pengalaman lapangan, dan kearifan lokal diramu sesuai konteks daerah masing-masing." kata Dedi yang juga Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian itu.
Dedi bahkan mengerahkan para penyuluh untuk siap sedia bersama petani melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap anomali iklim tahun ini.
Advertisement