Liputan6.com, Jakarta DPR RI bersama pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR masa persidangan V tahun sidang 2022-2023, Selasa 11 Juli 2023. Meski demikian, masih banyak yang menimbulkan polemik serta protes khususnya dari kalangan kesehatan.
Founder dan CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih mengatakan, penyusunan RUU Kesehatan dilakukan terburu-buru dan tidak transparan. Beberapa indikasinya adalah dengan proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada publik secara resmi sebelum pengesahan.
Selain itu, pengesahan ini juga mengabaikan rekomendasi masyarakat sipil terkait aspek formil dan materiil dalam RUU Kesehatan.
Advertisement
Diah mencatat setidaknya empat masalah dalam draf dan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan yang kini telah disahkan. Beberapa ketentuan bermasalah, diantaranya:
- Perihal penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10% dari APBN dan APBD,
- Beberapa kebijakan yang belum inklusif gender dan kelompok rentan,
- Belum dilembagakannya peran kader kesehatan,
- Hingga belum dimasukkannya pasal pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship tembakau dalam RUU Kesehatan.
"Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti," kata Diah dalam keterangannya, Rabu (12/7/2023).
Selepas Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan RUU Kesehatan bersama pemerintah di Gedung DPR Senin 19 Juni 2023, lanjut dia, naskah terbaru masih tak jelas keberadaannya. Di samping itu, publik juga belum mendapatkan penjelasan terkait diterima atau tidaknya masukan dalam proses penyusunan rancangan undang-undang ini.
"Kami melihat proses yang tidak transparan dan inklusif dalam penyusunan RUU Kesehatan. Di sisi lain, proses konsultasi publik pun sangat singkat, minim, dan tertutup. Seluruh rangkaian proses tersebut menyulitkan seluruh masukan masyarakat sipil terefleksi dalam undang-undang ini," ungkap Diah.
Menurut dia, platform yang dibuat oleh pemerintah dan DPR RI hanya bersifat satu arah dan sementara, tidak pernah ada platform menetap yang memungkinkan masyarakat sipil memantau masukan dan mendapatkan umpan balik dari masukan yang mereka berikan selama proses penyusunan RUU Kesehatan ini.
Padahal, jika merujuk Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi publik bermakna, disebutkan tiga prasyarat pelibatan masyarakat secara bermakna, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
"Menurut kami, situasi ini mencederai prinsip partisipasi publik yang bermakna sesuai Putusan MK," jelas Diah.
Karena itu, pihaknya mengecam keras pemerintah dan DPR RI yang tidak melibatkan publik secara bermakna, inklusif, partisipatif, dan berbasis bukti dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Kesehatan.
"Mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI," kata Diah.
Sementara, terkait rencana mogok kerja dari anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin buka suara.
Menkes Budi mengatakan bahwa wajar saja perbedaan pendapat. Walau begitu, sebaiknya dapat disampaikan dengan cara yang sehat.
"Di alam demokrasi ini saya sangat menerima perbedaan pendapat," kata Budi Gunadi usai Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa, 11 Juli 2023.
"Saya tidak ingin mundur balik. Yang beda pendapat itu wajar, sampaikanlah dengan cara sehat dan intelektual. Saya enggak akan menutup pintu, WhatsApp juga akan saya balas.”
Disampaikan kembali oleh Budi Gunadi, setiap orang belum tentu memiliki kesamaan argumen dalam perubahan Undang-Undang Kesehatan.
“Saya welcome sekali (dengan perbedaan pendapat),” tutur Budi.
Melansir dari laman sehatnegeriku.kemkes.go.id, ada sejumlah aspek yang disempurnakan dalam UU Kesehatan, yaitu:
1. Dari fokus mengobati menjadi mencegah.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI, pentingnya layanan primer yang mengedepankan layanan promotif dan preventif berdasarkan siklus hidup. Untuk mendekatkan layanan kesehatan ke masyarakat, pemerintah menekankan pentingnya standardisasi jejaring layanan primer dan laboratorium kesehatan masyarakat disleuruh pelosok indonesia
2. Dari akses layanan kesehatan yang susah menjadi mudah.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI bahwa diperlukan penguatan pelayanan kesehatanrujukan melalui pemenuhan infrastruktur SDM, sarana prasarana, pemanfaatan telemedisin, dan pengembangan jejaring pengampuan layanan prioritas, serta layanan unggulan nasional berstandar internasional.
3. Industri kesehatan dan sistem kesehatan
A. Dari industri kesehatan yang bergantung ke luar negeri menjadi mandiri di dalam negeri.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI bahwa diperlukan penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan melalui penguatan rantai pasok dari hulu hingga hilir. Memprioritaskan penggunaan bahan baku dan produk dalam negeri, pemberian insentif kepada industri yang melakukan penelitian, pengembangan, dan produksi dalam negeri.
B. Dari sistem kesehatan yang rentan di masa wabah menjadi tangguh menghadapi bencana.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI bahwa diperlukan penguatan kesiapsiagaan pra bencana dan penanggulangan secara terkoordinasi dengan menyiapkan tenaga kesehatan yang sewaktu-waktu diperlukan dapat dimobilisasi saat terjadi bencana.
4. Dari pembiayaan yang tidak efisien menjadi transparan dan efektif.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI untuk menerapkan penganggaran berbasis kinerja. Ini mengacu pada program kesehatan nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang kesehatan yang menjadi pedoman yang jelas bagi pemerintah dan pemerintah daerah.
5. Tenaga kesehatan, perizinan, dan perlindungan nakes
A. Dari tenaga kesehatan yang kurang menjadi cukup dan merata.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI bahwa diperlukan percepatan produksi dan pemerataan jumlah dokter spesialis melalui penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit.
B. Dari perizinan yang rumit dan lama menjadi cepat, mudah dan sederhana.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI bahwa diperlukan penyederhanaan proses perizinan melalui penerbitan STR yang berlaku seumur hidup dengan kualitas yang terjaga.
C. Dari tenaga kesehatan yang rentan dikriminalisasi menjadi dilindungi secara khusus.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan memerlukan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya, baik dari tindak kekerasan, pelecehan, maupun perundungan. Secara khusus bagi tenaga medis yang diduga melakukan tindakan pidana dan perdata dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan harus melalui pemeriksaan majelis terlebih dahulu.
6. Sistem informasi, teknologi kesehatan
A. Dari sistem informasi yang terfragmentasi menjadi terintegrasi.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI bahwa diperlukan integrasi berbagai sistem informasi kesehatan ke sistem informasi kesehatan nasional yang akan memudahkan setiap orang untuk mengakses data kesehatan yang dimilikinya tanpa mengurangi jaminan perlindungan data individu.
B. Dari teknologi kesehatan yang tertinggal menjadi terdepan.
Pemerintah sepakat dengan DPR RI perlunya akselerasi pemanfaatan teknologi biomedis untuk pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kedokteran presisi.
RUU Kesehatan Dianggap Tidak Pro Publik dan Tenaga Kesehatan
Senada, Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang oleh DPR menjadi momen betapa tidak aspiratifnya lembaga perwakilan rakyat tersebut. DPR tidak lagi melayani kepentingan publik luas, namun DPR menjadi pelayan kepentingan ketua umum parpol yang menghamba kepada kepentingan pemilik modal.
"Padahal RUU Kesehatan menentukan kualitas kesehatan publik dan masa depan tenaga kesehatan. Draf terakhir menunjukan betapa RUU Kesehatan tidak pro kepada publik luas dan organisasi profesi kedokteran. Faktanya, Draf RUU Kesehatan mendapat penolakan dari 5 organisasi profesi kesehatan utama di Indonesia dan 200 guru besar," kata dia dalam keterangannya, Rabu (12/7/2023).
Dia meyakini, UU Kesehatan yang baru disetujui tersebut diyakini akan mendapatkan Judicial Review ke MK karena UU tersebut tidak aspiratif.
Selain itu, Achmad menilai, RUU Kesehatan yang baru merupakan bentuk sentralisasi kesehatan karena peran lembaga profesi terlemahkan dan peran pemerintah menjadi dominan. Profesionalisme kesehatan melalui penguatan lembaga profesi dicabut dalam RUU tersebut. "Wajar, bila seluruh lembaga profesi kesehatan menolak draf tersebut," jelas dia.
Achmad memandang, RUU kesehatan yang disahkan tersebut menempatkan peran pemerintah sangat dominan daripada organisasi profesional. Selain itu, Bukti lain bahwa RUU Kesehatan hanya memudahkan oligarki adalah RUU tersebut menghilangkan mandatory kesehatan yang sangat melindungi layanan publik bagi masyarakat bawah.
"Mandatory hilang artinya anggaran minimal kesehatan sudah tidak ada lagi sebagai mandatory politik anggaran bagi rakyat kecil," ungkap dia.
Karena itu, Achmad menilai, RUU Kesehatan yang sudah disahkan jelas tidak memberikan manfaat besar bagi sistem kesehatan nasional. Sistem kesehatan nasional rawan dibajak oleh pemilik modal kesehatan besar karena mereka tidak perlu berkomunikasi dengan organisasi profesi namun cukup terkoneksi dengan pengambil keputusan yaitu Menteri Kesehatan.
"RUU Kesehatan tersebut juga mengandung unsur liberalisasi yang memiliki resiko tinggi bagi kesehatan publik Indonesia. Liberalisasi melalui hadirnya dokter asing tanpa memenuhi standar lembaga profesi nasional dapat menyebabkan maraknya malpraktek dan kematian seperti yang terjadi di Inggris," jelas dia.
IDI Akan Melakukan Uji Materi di Mahkamah Konstitusi
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan empat organisasi profesi kesehatan lain siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi setelah Rancangan Undang-Undang Kesehatan sah menjadi Undang-Undang Kesehatan pada Selasa, 11 Juli 2023.
"Kami bersama empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas kami masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review lewat Mahkamah Konstitusi RI," kata Ketua PB IDI Adib Khumaidi dalam keterangan video ke awak media di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Empat organisasi profesi yang lain yang bakal mengajukan judicial review yakni Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Ada beberapa alasan yang membuat PB IDI dan empat organisasi lain ajukan judicial review terkait pengesahan RUU Kesehatan.
Pertama, belum mencerminkan partisipasi yang bermakna. "Belum memperhatikan aspirasi dari semua kelompok termasuk profesi kesehatan dan kelompok yang memberikan aspirasi terkait kesehatan di Indonesia," kata Adib.
Kedua, pembuatan UU Kesehatan yang baru ini dinilai tidak transparan. Hal ini lantaran, sampai kemarin, Selasa, 11 Juli 2023 PB IDI dan empat organisasi profesi lain belum dapat rilis resmi soal RUU Kesehatan final yang kemudian disahkan.
"Sebuah cacat prosedural dalam pembuatan regulasi," tutur Adib lagi.
IDI juga menyorot pencabutan sembilan undang-undang lama yang diselesaikan dalam UU Kesehatan Omnibus Law dalam waktu enam bulan. Meski pembuatan Undang-undang lewat omnibus law tidak dilarang tapi dalam hal ini terkesan buru-buru.
"Kami melihat ketergesa-gesaan, keterburuan juga menjadi cerminan bahwa regulasi ini dipercepat. Apakah kemudian ada konsekuensi kepentingan lain kami tidak paham," katanya lagi.
Keempat, IDI juga menyorot mengenai ketiadaan monetary spending atau anggaran wajib dalam UU Kesehatan yang baru. Besaran anggaran kesehatan yang tidak dicantumkan lagi batas standarnya membuat masyarakat tidak dapat kepastian hukum dalam pembiayaan kesehatan.
"Komitmen negara baik pusat maupun daerah berarti masyarakat rakyat secara kuantitas tidak mendapatkan kepastian hukum dalam aspek pembiayaan kesehatan," kata Adib.
Adib mengatakan keputusan itu membawa konsekuensi privatisasi sektor kesehatan yang komersial melalui sumber dana pinjaman dari luar negeri.
"Bukan tidak mungkin, melalui pinjaman privatisasi sektor kesehatan, komersialisasi, dan bisnis kesehatan, yang ini sekali lagi akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan kesehatan Bangsa Indonesia," katanya.
Advertisement
Suara DPR Pun Terbelah
Anggota Komisi IX Fraksi NasDem Irma Chaniago mengklaim, pembahasan RUU Kesehatan sudah lama dilakukan dan sudah mendengarkan aspirasi seluruh pihak.
"Kan naskah akademiknya sudah kita siapkan sebelumnya bukan baru tiba-tiba kita bikin naskah akademiknya ketika kita melakukan rapat-rapat,," kata Irma di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (12/7/2023).
Irma menilai demo dan penolakan RUU Kesehatan bukan langkah tepat alias keliru.
"Jadi mereka (demo) keliru, harusnya yang begini-begini didengar teman-teman yang ada di sini, sampaikan juga ke kawan-kawan yang temen-temen kenal juga, sudahlah cukuplah demo-demonya," kata dia.
Politikus NasDem itu mempersilahkan pihak yang tidak puas dengan UU Keseharan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau judicial review itu dibenarkan, silakan saja lakukan judicial review enggak ada masalah, karena memang itu diperbolehkan. Tapi harus tau juga yang mana yang harus di judicial review," ucapnya.
Irma menegaskan tak ada liberalisasi tenaga kesehatan pada UU tersebut. Menurutnya, UU Kesehatan tidak bertujuan untuk memperbanyak tenaga kesehatan dari luar.
"Kemarin disampaikan soal liberalisasi, liberalisasi yang mana? Coba kasih saya contohnya, enggak pernah bisa ngasih contoh, aneh kan? Ngotot bicara liberalisasi tapi enggak bisa kasih contoh apa yang dimaksud liberalisasi di sini," kata dia.
Sementara, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak UU Kesehatan menjadi Undang-Undang. PKS menilai UU tersebut telah menghapus mandatory spending tenaga kesehatan.
Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani menegaskan penghapusan pengaturan alokasi wajib anggaran atau mandatory spending kesehatan adalah kemunduran.
"Dalam UU kesehatan nomor 36 tahun 2009 sebelumnya, mengatur alokasi dana kesehatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebesar masing-masing 5 persen. Kebutuhan dana kesehatan Indonesia, sebagai negara berkembang, justru meningkat waktu ke waktu, karena semakin kompleksnya masalah kesehatan di masa mendatang," tegas Netty.
Dia menegaskan mandatory spending sangat penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan dan agar alokasi anggaran kesehatan adil dan merata.
"Dengan adanya mandatory spending maka jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat," ucapnya.
Sementara itu, Anggota Fraksi PKS Alifudin menyatakan UU Kesehatan sudah berpolemik dan ditolak oleh para tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, apoteker dan para guru besar kesehatan dari berbagai universitas.
"Seharusnya pemerintah dan Pimpinan DPR RI, mendengar lebih dalam masukan dari para tenaga kesehatan, dokter dan guru besar, karena mereka inilah yang sangat memahami seluk beluk dunia kesehatan, kan aneh jadinya, pemerintah buat RUU tapi yang nantinya terlibat secara langsung malah menolak," tambahnya.