Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa sebenarnya banyak tenaga kesehatan dan dokter yang mendukung Undang-Undang Kesehatan. Namun, banyak dari mereka yang tak mau bicara.
"Sebenarnya banyak tenaga kesehatan yang mendukung cuma mereka selama ini kan tidak bicara. Tapi yang tidak mendukung ndak apa-apa. Saya rasa ini kan negara demokrasi. Mereka boleh memberikan pendapat, misalnya mereka ga setuju," ujar Budi saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (14/7/2023) kemarin.
Oleh sebab itu, Budi mengatakan pemerintah telah berupaya membuka dialog kepada para nakes maupun dokter. Untuk menjelaskan apa yang menjadi perbaikan pada aturan baru ini.
Advertisement
"Ya gapapa lah beda pendapat ya sudah. Banyak sekali sebenarnya yang mendukung kita terutama yang muda-muda. Cuma mereka tidak berani mengeluarkan pendapatnya," kata dia.
"Nah suasana dimana banyak anak muda yang tidak berani berbicara itu kan menunjukkan sesuatu. Contohnya kita lihat juga di media sosial dua hari terakhir ini. Begitu ini UU dibuka makin banyak kita melihat hal-hal yang seharusnya diperbaiki sejak lama," tambah dia.
Semisal, UU Kesehatan saat ini telah menetapkan Surat Tanda Registrasi (STR) kini berlaku seumur hidup. Termasuk perbaikan perpanjangan Surat Izin Praktek (SIP) melalui pemenuhan Satuan Kredit Poin (SKP) seperti yang berlaku saat ini, sehingga kualitas dokter dan nakes akan tetap terjaga.
Dimana sebelumnya ini dokter dan tenaga kesehatan wajib mengurus perpanjangan STR dan SIP setiap 5 tahun sekali melalui banyak tahapan birokrasi, validasi, dan rekomendasi. Sehingga melalui RUU Kesehatan menyederhanakan proses tersebut menjadi lebih mudah.
"Banyak yang merasa bahwa harus ada perbaikan terutama dari tata cara pemberian izin, cara memperoleh SKP yang dibuka. Udah 2 hari berturut-turut jadi halaman media utama itu banyak yang harus diperbaiki mengenai tata kelola mengenai tenaga kesehatan dan perizinan," jelasnya.
Budi pun menyatakan pemerintah telah siap apabila harus meladeni gugatan UU Kesehatan. Sebagai upaya konstitusional bagi pihak yang menolak.
"Kita sudah, anytime itu diajukan ke MK, kita juga siap kok kita dan itu normal proses mereka mau ajukan ke MK," kata Budi.
Pasalnya, Budi mengklaim dari disahkannya UU Kesehatan itu banyak juga nakes maupun dokter yang mendukung. Sehingga gelombang penolakan terhadap aturan baru itu disikapinya sebagai bentuk demokrasi.
Pada lokasi yang sama, Ketua MK Anwar Usman juga menanggapi soal rencana gugatan UU Kesehatan. Mempersilahkan bila ada pihak yang ingin melayangkan JC terhadap UU tersebut.
"Oh iya, ya belum ada komentar. Ya kalau ada kita harus menerima dan memeriksa dan harus memutuskan bagaimana nanti putusannya," kata Anwar.
Â
Rencana Gugatan
Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan empat organisasi profesi kesehatan lain siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi setelah Rancangan Undang-Undang Kesehatan sah menjadi Undang-Undang Kesehatan pada Selasa, 11 Juli 2023.
"Kami bersama empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas kami masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review lewat Mahkamah Konstitusi RI," kata Ketua PB IDI Adib Khumaidi dalam keterangan video ke awak media di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Empat organisasi profesi yang lain yang bakal mengajukan judicial review yakni Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Ada beberapa alasan yang membuat PB IDI dan empat organisasi lain ajukan judicial review terkait pengesahan RUU Kesehatan.
Pertama, belum mencerminkan partisipasi yang bermakna. "Belum memperhatikan aspirasi dari semua kelompok termasuk profesi kesehatan dan kelompok yang memberikan aspirasi terkait kesehatan di Indonesia," kata Adib.
Kedua, pembuatan UU Kesehatan yang baru ini dinilai tidak transparan. Hal ini lantaran, sampai kemarin, Selasa, 11 Juli 2023 PB IDI dan empat organisasi profesi lain belum dapat rilis resmi soal RUU Kesehatan final yang kemudian disahkan.
"Sebuah cacat prosedural dalam pembuatan regulasi," tutur Adib lagi
IDI juga menyorot pencabutan sembilan undang-undang lama yang diselesaikan dalam UU Kesehatan Omnibus Law dalam waktu enam bulan. Meski pembuatan Undang-undang lewat omnibus law tidak dilarang tapi dalam hal ini terkesan buru-buru.
"Kami melihat ketergesa-gesaan, keterburuan juga menjadi cerminan bahwa regulasi ini dipercepat. Apakah kemudian ada konsekuensi kepentingan lain kami tidak paham," katanya lagi.
Keempat, IDI juga menyorot mengenai ketiadaan monetary spending atau anggaran wajib dalam UU Kesehatan yang baru. Besaran anggaran kesehatan yang tidak dicantumkan lagi batas standarnya membuat masyarakat tidak dapat kepastian hukum dalam pembiayaan kesehatan.
"Komitmen negara baik pusat maupun daerah berarti masyarakat rakyat secara kuantitas tidak mendapatkan kepastian hukum dalam aspek pembiayaan kesehatan," kata Adib.
Adib mengatakan keputusan itu membawa konsekuensi privatisasi sektor kesehatan yang komersial melalui sumber dana pinjaman dari luar negeri.
"Bukan tidak mungkin, melalui pinjaman privatisasi sektor kesehatan, komersialisasi, dan bisnis kesehatan, yang ini sekali lagi akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan kesehatan Bangsa Indonesia," katanya.
Â
Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka
Advertisement