Sukses

HEADLINE: Prediksi Puncak El Nino di Indonesia Agustus-September 2023, Seberapa Parah?

Fenomena musim kemarau panjang atau El Nino tengah menghantui situasi iklim Indonesia pada Agustus-September 2023. Kondisi ini disebut juga akan berdampak pada ketersediaan air dan pangan di tanah air. Lantas, seberapa besar dampak dan bagaimana pencegahannya?

Liputan6.com, Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan puncak fenomena El Nino akan terjadi pada bulan Agustus hingga September 2023. Fenomena ini disebut akan berdampak pada ketahanan pangan dan ketersediaan air di wilayah Indonesia.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menuturkan, El Nino sesuai hasil prediksi sudah mulai terjadi di Indonesia sejak Juli. Dalam hal ini dampak El Nino pada awal Juli masih kurang signifikan atau kurang terasa karena El Nino masih lemah. Namun, beberapa hari lalu, indeks El Nino semakin menguat dari yang awalnya masih lemah mulai menjadi moderat.

“Ini baru mulai menjadi moderat. Makanya kami terus gencar mengimbau, mengingatkan, dengan El Nino yang semakin moderat atau semakin menguat, tentunya dampaknya akan menguat juga,” ujar dia.

Dia menuturkan, jika kondisinya semakin kering, dampak lanjutnya adalah lahan dan hutan menjadi mudah terbakar.

“Itu yang kemudian harus diantisipasi, dicegah, jangan mudah membuang puntung rokok atau menyulut di lahan atau di hutan,” tutur dia.

Selain itu, Dwikorita mengingatkan, meski akan memasuki musim kemarau, wilayah Indonesia kemungkinan akan juga berpotensi mengalami hidrometeorologi yang dipengaruhi oleh dua samudra dan topografi yang bergunung-gunung di sepanjang khatulistiwa.

"Di mana satu wilayah mungkin mengalami kekeringan, sementara tetangganya mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi," kata dia.

Oleh sebab itu, dia menimbau agar masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan fenomena ini dan mempersiapkan diri menghadapi potensi dampaknya. Menurutnya, semua masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan dan bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim yang dinamis ini.

"Kami menghimbau masyarakat untuk terus menjaga lingkungan, mengatur tata kelola air dengan bijak, dan beradaptasi dengan pola tanah yang ada. Selain itu, memantau perkembangan informasi cuaca dan iklim yang terus berubah dari waktu ke waktu sangatlah penting dan dapat diakses melalui BMKG," ucapnya.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengungkapkan, Indonesia harus bersiap menghadapi ancaman puncak El Nino pada Agustus hingga September 2023 mendatang. Fenomena El Nino ini disebutnya dapat membuat musim kemarau terjadi lebih panjang dan lebih ekstrem. Sehingga, perlu adanya langkah antisipatif untuk mengurangi dampak kekeringan di beberapa wilayah Indonesia.

"Indonesia sendiri, tentunya kita harus bersiap menghadapi ancaman El Nino ini, Karena temperatur kita sudah meningkat, ditambah lagi El Nino. Di mana El Nino ini juga ternyata membuat kemarau di Indonesia datang dengan durasi yang lebih panjang dan lebih ekstrem. Sehingga kita sudah melihat sekarang dampaknya ada krisis air di beberapa wilayah," kata Adila kepada Liputan6.com, Jumat (21/7/2023).

Menurutnya, krisis air akibat kemarau panjang nantinya juga bisa berpotensi mempengaruhi sektor pertanian di Indonesia, salah satu dampaknya yakni adanya gagal panen. Selain itu, berbagai dampak lain juga diprediksi akan mempengaruhi penurunan PDB Indonesia karena adanya kerugian sektor ekonomi dan pertanian.

"Jadi ketika gagal panen pasti akan ada kenaikan bahan lain seperti beras. Dan jika dilihat saat ini di India pemerintahnya sudah melarang ekspor beras karena mengalami cuaca ekstrem seperti ini. Dan ini juga akan berdampak ke Indonesia karena kita akan impor beras gara-gara cuaca ekstrem ini," ujarnya.

Adila menambahkan, situasi ini kemudian semakin diperparah dengan adanya fenomena El Nino, terlebih puncaknya diprediksi akan berlangsung pada Agustus hingga September nanti. Maka, bukan tidak mungkin hal ini akan memperparah kondisi sektor pertanian dalam negeri Indonesia.

"Jadi dari situ saja kita bisa lihat ada dampak kenaikan harga, di Indonesia sendiri ketika gagal panen kita bisa melihat kenapa PDB nya berkurang, karena ternyata pertanian itu menyumbang 15 persen PDB di Indonesia dan 30 juta rakyat Indonesia adalah petani. Jadi ini adalah orang-orang yg akan terdampak krisis iklim dan El Nino yang semakin parah, apalagi puncaknya agustus september ini. Kalau kita tarik pasti ada permasalahannya, ada masalah temperatur baru, krisis air, pangan yang dialami masyarakat kita," ucapnya.

Selain itu, Adila memaparkan dampak luas yang ditimbulkan dari adanya krisis iklim dan fenomena El Nino ini yakni perihal kekeringan dan perubahan temperatur laut. Ternyata peningkatan temperatur ini tidak hanya terjadi di daratan saja melainkan juga di lautan.

"Adanya perubahan temperatur laut dapat menyebabkan coral bleaching, perubahan migrasi ikan dan tempat hidup ikan itu sendiri. Dan imbasnya yakni sektor perikanan," terang dia.

 

 

Dia menambahkan, selain di sektor perikanan dampak lain yang juga bisa menjadi momok bagi Indonesia yakni soal kebakaran hutan. Menurutnya, fenomena El Nino sangat membuka peluang terjadinya kebakaran hutan akibat naiknya temperatur suhu sehingga dapat mempermudah terjadi kebakaran.

"Dan juga yang perlu kita antisipasi kebakaran hutan juga. Pasti itu akan semakin besar peluang kita terjadi kebakaran hutan, dan di luar juga sudah terjadi," tambah dia.

Untuk itu, Adila mendorong pemerintah untuk terus melakukan monitoring terhadap perubahan iklim yang terjadi. Hal ini agar seluruh masyarakat Indonesia khususnya yang berprofesi sebagai petani dapat beradaptasi dengan situasi yang terjadi.

"Perlunya Adaptasi, bagaimana sistem early warning kita apakah itu cukup misalnya untuk para petani mempetakan kapan perubahan cuacanya. Kemudian dalam mengadapi krisis air dan pangan bagaimana sebenarnya mungkin di pertanian ini persediaan airnya, benih pertanian diadaptasi karena tanah semakin kering," pungkasnya.

Sementara itu, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian mengungkapkan, perlunya langkah antisipasi dan mitigasi dalam menghadapi ancaman fenomena El Nino. Salah satunya yakni pengawasan terhadap aktivitas ekstraktif yang dilakukan sejumlah perusahaan terhadap perkebunan atau hutan taman industri di Indonesia.

"Fenomena El Nino tentu memerlukan langkah mitigasi yang baik. Khusus yang menyangkut proses monitoring ataupun controling terhadap banyaknya aktivitas izin ekstraktif yang ada di Indonesia. Contohnya di perkebunan sawit atau hutan taman industri. Hal ini dilakukan agar dampak El Nino tersebut tidak menyasar pada kebakaran hutan atau lahan yang ada di Indonesia," kata Uli kepada Liputan6.com, Jumat (21/7/2023).

Uli menyebut, adanya langkah monitoring tersebut dilakukan guna memperkecil potensi adanya dampak lanjutan dari puncak ancaman El Nino terhadap kondisi hutan yang ada. Mengingat, dampak cuaca panas atau kemarau dari El Nino sendiri dapat memacu adanya kebakaran hutan besar apabila langkah-langkah antisipatif tersebut tidak dilakukan.

"Apabila langkah yang diambil pemerintah masih biasa-biasa saja, maka dampak El Nino akan sama saja menimbulkan dampak kebakaran hutan seperti di tahun 2019 atau bahkan mungkin tahun 2015," ucapnya.

Selain itu, Uli menambahkan, perlu juga memastikan bahwa sumber air untuk masyarakat dapat terpenuhi ketika terjadi puncak El Nino. Terlebih, kekeringan atau kemarau panjang akibat El Nino bisa mempengaruhi ketersediaan air masyarakat, khususnya di wilayah-wilayah yang terdampak.

"Pemerintah juga perlu memastikan bahwa sumber-sumber air baik untuk irigasi maupun untuk kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi. Apabila ancaman El Nino sampai di titik puncak dan ketersediaan air itu menipis. Maka, tidak bisa terbayangkan bahwa masyarakat itu harus menghadapi dan menahan beban akibat El Nino ini, pungkasnya.

2 dari 4 halaman

Perlindungan Terhadap Masyarakat

  1. Sedangkan Pakar Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, pentingnya upaya penyiapan pelindungan terhadap masyarakat yang berada dalam wilayah risiko tinggi terdampak fenomena El Nino.

Menurutnya, besar tidaknya dampak dari El Nino bukan hanya terletak pada besar kecilnya intensitas bahaya. Melainkan juga pada kerentanan warga yang ada di wilayah yang terdampak.

"Parah tidaknya dampak, bukan hanya dari besar kecilnya intensitas bahaya, tetapi juga dari kerentanan warganya. Di kawasan miskin, risiko nya akan lebih besar. Karena itu upaya penyiapan perlindungan harus dilakukan di kawasan itu," kata Eko kepada Liputan6.com, Jumat (21/7/2023).

Eko menuturkan, iklim dan lingkungan, akan berisiko pada keberadaan aset penghidupan warga. Oleh karenanya, besarnya risiko tergantung atas kapasitas warga atas aset yang bisa diakses dan dikontrol.

"Semakin mampu mengontrol dan mengakses, maka semakin aman. Jadi, jangan ada generalisasi se-Indonesia," ucapnya.

Selain itu, puncak ancaman El Nino dapat meningkatkan risiko lingkungan secara langsung dan turunannya di sektor-sektor seperti pertanian, perikanan dan peternakan.

"Risiko-risiko lingkungan itu yang selanjutnya berujung pada peningkatan kerentanan warga," ujar dia.

Lebih lanjut, Eko membeberkan, pencegahan adanya fenomena El Nino sejatinya tidak bisa dilakukan. Yang dapat dilakukan hanya memperkuat adaptasi bagi para pihak yang berisiko tinggi, khususnya mereka yang dalam atau di posisi rentan terdampak.

"Bisa dengan memberikan peluang untuk mendapatkan ruang akses sumberdaya yang lain, atau memang betul, memberikan perangkat tambahan untuk meningkatkan ketangguhan," lanjutnya.

Untuk itu, Ia mendorong semua pihak seperti pemerintah, warga, lembaga usaha hingga akademisi perlu meningkatkan peran untuk meningkatkan proses adaptasi untuk dapat mengurangi risiko atau dampak dari fenomena El Nino ini.

"Sehingga risiko yang tidak dapat diterima bisa dikelola sampai dapat dipertimbangkan dan diterima," pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Jokowi Minta Menteri Serius Antisipasi Dampak El Nino

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta para menteri untuk serius dalam mengantisipasi dampak El Nino, yang puncaknya diprediksi akan terjadi pada bulan Agustus hingga September 2023. Jokowi mengingatkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memperhatikan produksi beras, menjelang El Nino.

"Presiden mengumpulkan semua menteri dan Menko dalam mengantisipasi El Nino yang menurut BMKG kita puncaknya akan ada di Agustus-September," kata Syahrul Yasin usai rapat di Istana Kepresidenan Jakarta.

"Oleh karena itu, perintah presiden ini harus di seriusi kita tidak boleh bersoal, khususnya dengan beras dan lain lain agar benar antisipasi sejelek mungkin harus dipersiapkan," sambungnya.

Dia menyampaikan kementeriannya diminta untuk memetakan daerah-daerah yang berstatus hijau atau kondisi airnya sangat cukup. Nantinya, daerah-daerah tersebut akan dioptimalisasi untuk pertanaman.

Sementara daerah yang berstatus zona kuning atau kondisi airnya pas-pasan, akan dilakukan intervensi. Misalnya, mengendalikan air irigasi, embung, hingga kerja sama dengan pemerintah daerah.

Kemudian, Syahrul menyampaikan pemerintah akan mempersiapkan lumbung pangan khusus di daerah zona merah. Menurut dia, kementeriannya juga telah menyiapkan 6 provinsi sebagai penyangga utama El Nino.

"3 (provinsi) di Jawa, kemudian Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan kurang lebih. Daerah daerah yang kita berharap yang masih ada lahan gambutnya ada harus menjadi. Karena daerah situ masih daerah air," tutur Syahrul.

Dia menegaskan bahwa mulai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga pemerintah pusat harus terlibat maksimal dalam mengantisipasi El Nino.

Semua pihak harus berkomitmen untuk memastikan berbagai agenda dan program berjalan efektif di lapangan.

“Memang tidak boleh PD (Percaya Diri) berlebihan, tapi saya optimistis kita bisa menjaga pangan lebih dari 280 juta jiwa masyarakat Indonesia secara baik, kita bisa bersama-sama melewati ini,” ucapnya.

Adapun terkait dengan berbagai strategi Kementan dalam menghadapi El Nino, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Suwandi, mengatakan sebagai upaya antisipasi kekeringan yang panjang, Gerakan percepatan tanam (Gertam) di Jawa Barat akan dilaksanakan di setiap kabupaten masing masing minimal 1.000 hektar.

"Jawa Barat sebagai sentra produksi diharapkan mampu menyangga produksi dan berkontribusi secara nasional" jelasnya saat mendampingi Mentan SYL.

Gelar Rapat Koordinasi dengan Pemerintah Provinsi

Selain itu, Kementerian Pertanian juga terus menggelar rapat koordinasi bersama pemerintah provinsi (Pemprov) seluruh Indonesia untuk dalam rangka mengantisipasi dampak fenomena El Nino yang diprediksi akan melanda Indonesia pada Agustus mendatang. salah satunya dengan Pemprov Banten.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan bahwa Banten merupakan salah satu wilayah penyangga produk pertanian ibu kota. Untuk itu, sektor pertanian harus dipastikan aman dan terus berproduksi, terlebih di bawah ancaman perubahan iklim.

"Selama tiga tahun pandemi Covid-19, Banten menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang positif. Produksi padi juga terus meningkat, bersama Sumsel, Kalsel dan provinsi lainnya," katanya.

"Pengalaman menghadapi Covid-19 bisa dijadikan bekal mengatasi kemarau panjang yang sedang dihadapi dan sejumlah langkah sudah disiapkan untuk mengamankan kebutuhan pangan nasional," tambah Mentan SYL.

Dirinya menyebut, sektor pertanian tumbuh sebesar 16,2 persen dan di tahun 2022, nilai ekspor sektor tersebut meningkat capai Rp658 triliun atau naik 6,79 persen dibanding tahun 2021.

Sementara itu, Pj Gubernur Banten, Al Muktabar mengungkapkan bahwa Provinsi Banten berkomitmen mengembangkan sektor pertanian sebagai sektor unggulan.

"Sektor agro di Banten ke depan akan terus dikembangkan apalagi sekarang akses jalur selatan Banten semakin mudah dengan adanya pembangunan infrastruktur jalan tol, Serang-Panimbang," ungkapnya.

"Kami sedang mengupayakan lahan-lahan yang terlantar atau HGU habis untuk dikembalikan ke negara dan jika memungkinkan dikembalikan dan pengoptimalannya bagi masyarakat untuk mendukung sektor pertanian," tambah Al Muktabar.

4 dari 4 halaman

Tentang El Nino

Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Dalam artian lain, Indonesia hanya mengalami dua musim; musim hujan dan musim kemarau.

Idealnya, musim kemarau di Indonesia dimulai pada bulan April hingga bulan Oktober. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa hal itu dapat berubah atau bergeser.

Faktor yang mempengaruhi waktu musim kemarau di Indonesia sendiri adalah sebuah fenomena yang dinamakan El Nino. Tahun ini, El Nino diprediksi berkunjung ke Indonesia hingga memunculkan musim kemarau kering.

Lalu sebenarnya apa itu El Nino?

Melansir laman BMKG, Jumat (20/7/2023), El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.

Istilah El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang artinya "anak laki-laki". El Nino awalnya digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador saat menjelang natal.

Kondisi yang muncul berabad-abad lalu ini dinamai oleh para nelayan Peru sebagai El Nino de Navidad yang disamakan dengan nama Kristus yang baru lahir.

Menghangatnya perairan di wilayah Amerika Selatan ini ternyata berkaitan dengan anomali pemanasan lautan yang lebih luas di Samudera Pasifik bagian timur, bahkan dapat mencapai garis batas penanggalan internasional di Pasifik tengah.

Iklim di Samudera Pasifik dapat bervariasi dalam tiga kondisi (fase):

Fase Netral: angin pasat berhembus dari timur ke arah barat melintasi Samudra Pasifik menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat dan disebut dengan Sirkulasi Walker. Selama fase Netral, suhu muka laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dari bagian timur Pasifik.

Fase El Nino: angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia mengalami peningkatan risiko kekeringan.

Fase La Nina: hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Bagi Indonesia, hal ini berarti risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.

Dalam istilah ilmu iklim saat ini, El Nino menunjukkan kondisi anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah yang lebih panas dari normalnya, sementara anomali suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian barat dan perairan Indonesia yang biasanya hangat (warm pool) menjadi lebih dingin dari normalnya.

Pada saat terjadi El Nino, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah sehingga menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.

Dampak El Nino

Dampak yang terjadi dari badai El Nino terlihat pada penurunan debit sungai serta berkurangnya tinggi muka air waduk dan muka air tanah. El Nino dapat memiliki dampak yang signifikan bagi sektor pertanian di Indonesia