Liputan6.com, Jakarta Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta Mahkamah Agung memberikan ketetapan status secara hukum kenegaraan anak dari perkawinan beda agama.
Hal ini dikatakan Ma'ruf Amin usai MA mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang menjadi legitimasi perkawinan beda agama tidak boleh lagi disahkan.
"Tentang nasib anak-anaknya nanti, saya nanti meminta kepada pihak Mahkamah Agung untuk menetapkan statusnya secara hukum kenegaraan, itu nanti kita seperti apa," ujar Ma'ruf Amin dalam keterangannya, dikutip Senin (24/7/2023).
Advertisement
Sementara untuk perkawinan beda agama yang sudah dicatatkan, Ma'ruf meminta MA membuat putusan khusus dan mengacu pada aturan dasar yang dipegang MA.
"Apa yang sudah terlanjur, itu saya minta MA membuat keputusan khusus terhadap yang sudah mendapatkan pencatatan itu. Apakah diberi pengukuhan atau justru dibatalkan karena tidak sesuai penafsiran yang dipegang atau yang dijadikan dasar oleh MA," ujar Ma'ruf.
Namun, terkait keabsahan perkawinan beda agama, menurutnya diatur oleh masing-masing agama, mengingat setiap agama memiliki majelis agama.
"Itu ada pada masing-masing agama ya. Mungkin dari Agama Islam ada Majelis Ulama, nanti agama Kristen ada KWI, PGI, dan juga agama-agama lain,” pungkasnya.
MA Larang Hakim Tetapkan Perkawinan Beda Agama, MUI Jelaskan Filosofi Pernikahan dalam Islam
Mahkamah Agung (MA) akhirnya melarang hakim pengadilan untuk mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama.
Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 diterbitkan setelah ada desakan dari banyak kalangan yang menyoroti sering dikabulkannya permohonan penetapan kawin beda agama oleh Pengadilan Negeri (PN). Penetapan hakim pengadilan itu dianggap mereduksi hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, walaupun dalam pertimbangannya hakim dalam memutuskan perkara itu menggunakan dasar hukum yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengapresiasi langkah Mahkamah Agung yang menerbitkan aturan tentang larangan pencatatan pernikahan beda agama.
"Penerbitan SEMA ini sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan dan upaya menutup celah bagi pelaku perkawinan antaragama yang selama ini bermain-main dan berusaha mengakali hukum," ujar Niam di Jakarta, dikutip dari Antara, Sabtu (22/7/2023).
Niam menjelaskan Undang-Undang Perkawinan sudah secara gamblang menjelaskan bahwa perkawinan itu sah jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama.
Advertisement
Pernikahan Adalah Peristiwa Keagamaan
Dengan demikian, kata dia, peristiwa pernikahan pada hakikatnya adalah peristiwa keagamaan. Sementara negara hadir untuk mengadministrasikan peristiwa keagamaan tersebut agar tercapai kemaslahatan lewat pencatatan.
"Pencatatan perkawinan itu merupakan wilayah administratif sebagai bukti keabsahan perkawinan. Kalau Islam menyatakan perkawinan beda agama tidak sah, maka tidak mungkin bisa dicatatkan," ujar dia.
Namun, menurut Niam, selama ini ada orang yang mengakali hukum dengan mengajukan penetapan putusan pengadilan, dengan dalih UU Administrasi Kependudukan memberi ruang.
Sementara, pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas mengatur perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Selanjutnya, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dalam Islam, kata Niam, perkawinan beda agama itu terlarang.
"Jadi, tidak ada celah untuk praktik perkawinan beda agama. Islam mengharamkan, dan UU melarang. SE ini menegaskan larangan tersebut untuk dijadikan panduan hakim. Karenanya, pelaku, fasilitator, dan penganjur kawin beda agama adalah melanggar hukum," kata Niam.
Sebelumnya, dalam proses penyusunan SEMA, Mahkamah Agung mengundang wakil lembaga-lembaga agama untuk dimintai pendapatnya.
Niam sempat hadir dalam pertemuan tersebut guna mendiskusikan berbagai permasalahan seputar perkawinan beda agama, kasus-kasus putusan peradilan yang beragam, dan pentingnya memberikan panduan agar dipedomani para hakim.
"Aturan ini wajib ditaati semua pihak, terutama bagi hakim yang selama ini tidak paham atau pura-pura tidak paham terhadap hukum perkawinan," ujarnya.